Sedang Membaca
Fragmen Syekh Arsyad Al-Banjari
Nur Hidayatullah
Penulis Kolom

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Alumnus Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai Kalsel.

Fragmen Syekh Arsyad Al-Banjari

al banjari

Dalam catatan sejarah perjalanan mazhab Syafi’i dari masa ke masa. Tersebutlah nama Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, sebagai ulama terkemuka mazhab Syafi’i abad ke-12 hijriyah.

Suatu ketika Al-Kurdi ditanya suatu persoalan agama oleh muridnya, di suatu majelis di Haramain. Persoalan itu dianggap pelik. Beliau terdiam sejenak. Kemudian menawarkan kepada para murid untuk menjawabnya.

Namun tak satupun murid yang menjawab. Hingga akhirnya ada sepucuk surat dari seorang murid yang duduk di depan.

Surat itu adalah jawaban dari persoalan agama yang ditanyakan. Syekh Al-Kurdi pun senang dan memuji kepada muridnya yang menjawab.

Beliau berkata, “Siapa yang memberikan jawaban ini?”

Yang mengantar surat tadi bilang, “Saya dapatnya dari belakang.”

Ditanya lagi murid yang di belakang, jawabannya sama. Hingga terus sampai di shaf yang paling belakang.

Yang di belakang adalah Syekh Muhammad Arsyad. Beliaulah yang menulis jawaban tersebut.

Maka Syekh Al-Kurdi bertanya, “Dari mana kamu?”

Syekh Arsyad menjawab, “Saya dari Banjar”

“Anta Banjari,” sahut Syekh Al-Kurdi.

Dari sinilah asal usul gelar “Al-Banjari”. Riwayat ini diceritakan oleh Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani.

Selain menonjol di bidang fiqh, beliau juga dikenal sebagai Khalifah Mutlaq Syekh Muhammad Samman Al-Madani, pendiri tarekat Sammaniyah. Itulah sebabnya syiar tarekat Sammaniyah di Indonesia nampak adanya di Kalimantan.

Baca juga:  Ulama Banjar (1): Biografi Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

Kata KH Muhammad Bakhiet, orang yang bisa menghimpun fiqh dan tasawuf, layak disebut ‘Abdul Jami’ (yang maha menghimpun).

Di Asia Tenggara, nama Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dikenal sebagai ahli fiqh, karena beliau menulis kitab “Sabilal Muhtadin lit Tafaqquh fi Amrid Din”, kitab fiqh Mazhab Syafi’i terlengkap pada abad 17 masehi berbahasa Melayu, melanjutkan kitab Shiratal Mustaqim karangan Syekh Nuruddin Raniry yang berbahasa Aceh.

Kitab Sabilal Muhtadin dijadikan rujukan utama di Negeri-negeri Melayu, Asia Tenggara. Karena berbahasa Melayu dan cakupannya luas mendalam, disarikan dari kitab-kitab mu’tabar yang ditulis oleh ulama Syafi’iyah.

Guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Prof. Azyumardi Azra menyebutkan dalam bukunya Jaringan Ulama Nusantara – Timur Tengah, bahwa ulama Nusantara yang paling menonjol keilmuan falaknya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Beliau lah orang yang mempelopori pengecekan dan pengukuran arah kiblat di Indonesia pada tahun 1777 M, sewaktu mampir Batavia di kediaman Syekh Abdurrahman Al-Mishri, sepulangnya dari Haramain menuju Negeri Banjar.

Hal ini diamini oleh peneliti Barat Kareel Steenbrink, bahwa Syekh Arsyad telah mempelopori pengecekan kiblat, seperti Masjid Al-Manshur Jembatan Lima Jakarta. Mihrab Masjid itu tertulis, telah dibetulkan oleh Syekh Arsyad Banjar sebesar 25 derajat ke arah kanan pada tahun 1777 M.

Baca juga:  Gus Muwafiq: Yang Banyak dan Tak Banyak Diketahui

Guru beliau di bidang falak adalah Syekh Ibrahim Ar-Rais.

Setidaknya ada tiga karangan Syekh Arsyad Al-Banjari di bidang Ilmu Falak, yaitu:

1) Risalah Ilmu Falak (tentang gerhana matahari dan bulan). Saya dapatkan copy manuskripnya dari Tuan Guru Muhammad Irsyad Zein, Dalam Pagar Martapura Kalsel.

2) Risalatul Qiblah (tentang perhitungan arah kiblat). Saya temukan keterangannya dari kitab Mizanul I’tidal karangan Syekh Muhammad Manshur Al-Batawy, kakek Ustadz Yusuf Mansur.

3) Kur al-Ardhi wa Khath al-Istiwa (Peta Bumi dan Garis Katulistiwa). Kitab ini disimpan oleh seorang dzuriat Syekh Arsyad yang ada di Malaysia.

 

Penjelasan lainnya bisa kita temukan dapat kitab Sabilal Muhtadin yang beliau tulis. Ketika membahas soal kiblat, Syekh Arsyad merujuk pada kitab-kitab induk yang ditulis ulama falak.

Istilah yang digunakan pun adalah mustholah falakiyah, yang tentu tidak semua orang bisa memahaminya.

Dalam kitab tersebut yang menjadi mabda’ thul atau titik nol derajat bujur bukanlah Greenwich, di London, tapi berpatokan pada Jazairul Khalidat, yang kini berada di kepulauan Canary, Spanyol.

Jazairul Khalidat berarti pulau yang kekal. Ini merupakan “tasybih” dalam istilah Ilmu Balaghoh, karena faktanya di pulau itu ada banyak perempuan cantik bagaikan bidadari. Bidadari itu tempatnya di surga, dan kekal (khalidat fiha) di dalamnya. Itulah sebabnya disebut Jazairul Khalidat.

Baca juga:  Al-Ajwibatus Syafiyah: Himpunan Fatwa KH. Raden Muhammad Nuh Cianjur (1966)

Semoga kita yang menghadiri haul beliau dan yang berniat menghadirinya mendapatkan keberkahan, dimudahkan setiap urusan di dunia dan di akhirat, serta dikumpulkan bersama beliau di surga-Nya kelak. Amin ya rabbal alamin. (RM).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
3
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top