Sedang Membaca
Kisah Bersejarah Martin Lings di Makkah
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Kisah Bersejarah Martin Lings di Makkah

  • Dialah seorang penulis biografi Sang Nabi yang susunan kalimatnya mengakibatkan efek kimiawi. Rindu akan Nabi.

Haji di masa lalu membutuhkan perjuangan, seringkali nyawa jadi taruhan. Kapal digunakan untuk mengantarkan mereka yang rindu akan Rumah Tuhan.

Perjalanan memakan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Karena itu, seorang haji di masa itu harus benar-benar punya harta untuk perbekalan. Juga niat ikhlas beribadah untuk Tuhan.

Persiapan rohani tak kalah serius. Karena haji seringkali adalah sebuah pengalaman religius. Kisah-kisah penuh misteri terjadi. Makna darinya tak pantas dipahami dengan otak, kanan-kiri. Hakikat terdalam kemanusian yang didapat lewat haji hanya bisa dipahami oleh mereka yang memiliki kondisi jiwa tertentu.

Percaya pada kasunyatan adalah salah satu. Yaitu yakin bahwa di balik materi lahiriah ada hakikat-hakikat tak terlihat yang batiniah.

Kisah haji tak henti-hentinya selalu menarik untuk dituturkan. Apalagi bagi dia yang memilih Islam setelah beragama lain, bagi dia yang berasal dari negeri yang mayoritas warganya bukan muslim, dan bagi dia yang menjalaninya setelah memilih jalan sufi.

Dia adalah Martin Lings, seorang Inggris yang dikenal pula dengan nama Abu Bakar Sirajuddin. Pada 1948 ia menjadi saksi akan perjalanan pertama pergi haji. Sepuluh tahun setelah dia dan istri masuk Islam di Mesir.

Dialah seorang penulis biografi Sang Nabi yang susunan kalimatnya mengakibatkan efek kimiawi. Rindu akan Nabi. Sedih akan perlakuan Quraisy. Bahagia akan kemenangan Islam. Geli pada kecemburuan Aisyah.

 

Awal Perjalanan

“Kami pergi dengan kereta api ke pelabuhan. Setelah itu kami pergi dengan kapal dari Laut Merah ke Jedah. Butuh waktu empat hari pada masa itu.”

Awal perjalanan tampak biasa. Kereta api dan kapal hanya alat transportasi buatan manusia. Namun segera apa yang terjadi di kapal adalah karunia-Nya. “Malam ini kita akan melewati mikat, Anda semua memasuki ihram”, seseorang berkata.

Perubahan besar terjadi di sana. Manusia hendak menghadap Tuhan tentu harus siap sedia. Bekal duniawi rupa uang dan pakaian sudah selesai. Bekal rohani harus terus disemai.

“Sangat mengesankan, setelah hari itu bagaimana orang-orang berubah. Kehidupan setiap orang telah berubah… Saya berkata kepada istri saya, “Anda kenal orang-orang ini. Dan seolah-olah mereka menjadi Sufi sebatas pada periode ketika haji”… Mereka benar-benar menjadi orang yang serius berpikir tentang surga, tentang Tuhan, dan berbicara dengan cara yang sama.”

Baca juga:  Muslim dan Dunia Sains (3): Ibnu Haitsam dan Renaissance di Eropa

Mengunjungi Baitullah mengubah cara hidup, idealnya. Surga, neraka, dan kematian jadi begitu nyata di depan mata. Sejak di awal, para haji mengerti. Bahwa haji adalah perjalanan suci. Banyak orang kini menilai haji jadi biasa. Karena bekal rohani memang tidak disemai sejak di rumah. Perjalanan haji jadi hanya wisata, hanya ziarah.

 

Jedah

Dari lautan ke pelabuhan Jedah di masa Martin Lings pergi haji bisa mengambil nyawa seseorang. Melompat dari kapal ke perahu besar tidak mudah dilakukan. Apalagi jika ombak bergejolak hebat, tubuh berat, dan jarang berjalan.

“Ketika kami sampai di Jedah, di sana laut cukup bergejolak… Oleh sebab itu, perahu-perahu kecil dikirim ke kapal besar di mana kami berada. Para perempuan ini harus menuruni tangga tali, lalu keluar, atau melompat dari tangga dan naik ke perahu kecil yang bergerak naik dan turun di ombak. Itu tentunya menjadi pengalaman hidup-mati bagi mereka”.

Seorang kulit putih di tahun 1948 bukanlah hal yang lumrah dijumpai di Makkah. Oleh karenanya, tes harus dilakukan untuk mengetahui keislaman seseorang, karena Makkah adalah kota suci untuk orang muslim. Non-muslim dilarang masuk ke sana. Martin Lings bercerita:

“Sebagai orang Inggris, saya dan istri saya, mereka ingin memastikan bahwa kami benar-benar Muslim. … kami punya sertifikat bahwa kami berdua masuk Islam sepuluh tahun sebelumnya. Akan tetapi mereka tidak memperhatikan sertifikat Islam itu. Mereka bilang ‘Tidak. Kami tetap memeriksa Anda’.

Baca juga:  Tafsir Kerinduan (3): Kontempelasi Ketuhanan Melalui Perempuan

Jadi kami harus menunggu di Jedah sampai mereka bisa kumpulkan tiga lelaki tua yang bertanya kepada kami. Pertanyaan tentang Islam. Untuk melihat apakah kami benar-benar muslim, baru kemudian kami diizinkan pergi.

Mereka bertanya pertanyaan sangat sederhana pada kami. Seperti berapa banyak sembahyang setiap harinya. Misalnya. Dan berapa banyak rakaat yang harus Anda kerjakan pada saat sembahyang asar. Hal-hal semacam itu. Anda tahu. Dan dapatkah Anda membaca surah al-Fatihah. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat sederhana.”

 

Berkah Makkah

Perjalanan dilanjutkan menuju Makkah. Tahun 1948 menjadi saksi akan penghormatan tradisional yang masih kuat di Makkah. Kakbah masih menjadi bangunan paling dimuliakan. Arafat masih menjadi lahan suci yang terbuka tanpa apa-apa.

“Pada waktu itu, Tanah Haram dikelilingi dengan tembok rendah dengan sembilan belas gerbang di dalamnya. Dan dari segala arah Anda mendekat, Anda dengan jelas bisa melihat Kakbah … dinding itu rendah karena penghormatan kepada Kakbah. Dan bangunan di sekeliling Haram semuanya adalah bangunan yang cukup rendah, sekali lagi, untuk menghormati Kakbah sehingga Kakbah harus menjadi bangunan tertinggi di bagian kota Makkah itu.”

Hal ini mengingatkan saya pada aturan yang sama di Bali. Bahwa bangunan-bangunan di Bali tidak boleh lebih tinggi dari bangunan sucinya.

Lima belas meter batasannya. Hanya bangunan fasilitas umum tertentu yang bisa lebih tinggi dari itu. Sekarang di Makkah, hotel-hotel dan pusat-pusat perbelanjaan menjulang tinggi. Ketertutupan menjadi tanda pengenal Kakbah. Dahulu, dari segala penjuru orang bisa melihat Rumah Tuhan. Kini, orang-orang melihat hijab-hijab duniawi. Seorang pernah berkata, “Makkah sudah seperti Las Vegas”.

Baca juga:  Toko Kitab Sapakira Ampenan, NU, dan Sebuah Kota

“Ketika saya haji pada 1976, lembah Mina telah berubah menjadi seperti pinggiran kota seperti yang ada setiap kota di Eropa. Lengkap dengan semua noda kemodernan. … Arafat itu sendiri, Anda tidak mendapatkan kesan lagi bahwa ia merupakan tempat yang sangat suci.”

Tahun 1948 adalah tahun-tahun terakhir tradisi pemuliaan secara nyata ditujukan kepada Kakbah. Bahkan pada hampir seluruh situs suci yang seorang temui ketika haji. Pada 1976, Martin Ling haji lagi untuk kedua kalinya dan dia menyaksikan sesuatu yang menyedihkan hatinya. Safa dan Marwa telah dihancurkan sedemikian rupa. Seorang hanya bisa melihat batu-batu kerikil sisa-sisanya.

Bagaimanapun haji tetap dilakukan ke Kakbah di Makkah. Rumah Tuhan paling tua yang dibangun umat manusia. Di sanalah berkah tetap kuat dan sama sekali tidak berubah.

“Memang benar bahwa dalam Sa’i, yaitu perjalanan antara Safa dan Marwa, sekarang Anda tidak lagi pergi keluar dari masjid. Anda pergi dari sumur Zamzam, yaitu jarak cukup pendek, ke sisa-sisa Bukit Safa yang terlingkupi di dalam masjid. Hanya sebagian dari itu. [Bukit Safa] itu banyak atau sedikit sudah hancur. Saya merasa sulit untuk memaafkan solusi atas masalah itu, yang mana muncul dengan meningkat jumlah orang.” (atk)

*Saya sarikan dan terjemahkan dari Reflections on Hajj

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top