Imam al-Ghazali adalah contoh ilmuwan Islam yang mampu menyatukan pemahaman teologi, filsafat dan tasawuf secara mendalam di dalam dirinya.
Sang imam dikenal sebagai pengarang beberapa kitab yang meliputi bidang teologi, ushul fikih, filsafat, dan tasawuf, yang hingga hari ini diapresiasi secara luas oleh berbagai kalangan keagamaan, utamanya tentu Islam.
Kebangkitannya, dari seorang anak yatim yang dititipkan kepada seorang guru sufi yang miskin, hingga menjadi Hujjatul Islam yang berpengaruh besar dan luas pada masa kekhalifahan Abasiyah, tidak lepas dari dukungan tokoh-tokoh penguasa dan agamawan, juga kultur keilmuan yang semarak di bawah patronase Nizhamul Mulk, wazir (perdana menteri) dinasti Bani Saljuk.
Wazir yang bijaksana ini berani mengambil resiko “dikucilkan” sultan Saljuk masa itu, Malik Syah, karena telah membelanjakan uang negara hingga mencapai 600 ribu dinar emas tiap tahunnya, untuk menggaji para ilmuwan dan membiayai pembelajaran di Madrasah Nizhamiyah yang terkenal itu.
Ia juga mendirikan majlis seminar yang mengumpulkan para tokoh cendikiawan untuk saling berdebat dan berdiskusi dalam tradisi kelimuan yang semarak.
Bani Saljuk sendiri adalah penguasa militer kekhalifahan Bani Abasiyah, yang sebenarnya lebih terkenal karena kemampuan kemiliteran dan kedisiplinannya. Kecuali dengan dukungannya pada Madrasah Nizhamiyah, lewat wazirnya, zaman keemasan keilmuan Islam yang bercahaya pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan anaknya, al-Makmun, tengah beriring surut pada masa itu.
Pendiri daulah Bani Saljuk, Thugril Bek, memasuki Baghdad pada tahun 1055 M, tiga tahun sebelum kelahiran al-Ghazali, atas undangan Khalifah Abasiyah untuk “membersihkan” rongrongan Bani Buwaih atas kekhalifahan.
Daulah ini sempat berkuasa di daerah-daerah seperti Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, al-Jazirah, Parsi dan Ahwaz selama 90 tahun lebih (429 – 522 H/ 1037 – 1127 M). Rezim ini mencapai kejayaannya pada masa Sultan Alp Arslan (1063 – 1072 M) dan puteranya, Sultan Malik Syah (1072 – 1092 M), dengan wazirnya yang terkenal Nizhamul Mulk (1063 – 1092 M).
Jauh sebelum itu, Saljuk ibnu Duqaq (nenek moyang Bani Saljuk) memimpin pasukannya keluar dari stepa asia tengah, karena kecemburuan permaisuri rajanya. Ketaatan (kesetiaan) dan pengabdiannya (disiplinnya) yang tinggi membuatnya dipercayai kaumnya dan para penguasa Islam masa itu.
Kepemimpinan Bani Saljuk yang berdisiplin tinggi, ditambah dengan kecerdasan para wazir Persianya yang bijaksana, membuat kharisma mereka mampu menunda kejatuhan kekhalifahan Abasiyah hingga serangan bangsa Mongol ke jantung kota Baghdad pada tahun 1258 M.
Pada masa al-Ghazali, disintegrasi politik dan sosial keagamaan begitu kentara. Umat Islam ketika itu terpecah-pecah dalam beberapa golong mazhab fikih dan aliran ilmu kalam (teologi) masing-masing dengan tokoh ulamanya yang dengan sadar menanamkan fanatisme golongan kepada umat.
Hebatnya al-Ghazali, saat memberikan kuliah teologi dan fikih (mazhab Syafi’iyah) di Nizhamiyah Baghdad, kuliah-kuliahnya dihadiri oleh ratusan tokoh ulama yang tekun mengikutinya, termasuk di antaranya beberapa pemuka (mazhab) Hanbali, seperti Ibnu Aqil dan Abu al-Khaththab, suatu hal yang sangat langka mengingat perseteruan antarmazhab terjadi sangat meruncing.
Karenanya, dengan cepat nama al-Ghazali terkenal di wilayah Irak, hampir saja mengalahkan kepopuleran para penguasa dan panglima di ibukota Abasiyah itu.
Faktor kedisiplinan yang didukung kecerdasan dan kebijaksanaan merupakan pendorong terbesar bagi kebangkitan suatu masyarakat. Begitu juga terhadap individu.
Dalam contoh al-Gazhali dan Bani Saljuk, saya kira kita bisa berkaca bagaimana mematut diri di tengah “kelesuan” pikiran dan gerak yang stagnan. Untuk keluar dari belenggu “hegemoni” menuju kesadaran diri dan berbangsa, cerita-cerita tentang orang atau bangsa yang besar seringkali efektif untuk “mengejutkan” seseorang, sehingga bisa saja di pojok kota yang gelap tumbuh “cendawan” yang akan subur tak sekadar berbilang hari.
Hanya tentu saja, tak ada kebangkitan yang tak beralasan. Dan tak ada cahaya tanpa “dukungan” kegelapan.
Menurut hemat saya Al Imam Al Ghazali bersinar karena Beliau moderat. Pemikirannya bisa diterima dan mudah dipahami orang awam. Sehingga membuat masyarakat adem.