Bermain film sejak SMA, namanya mencuat ke panggung internasional saat membintangi “Tjoet Nja’ Dhien” (1988). Ia bahkan sempat menjadi salah satu juri di Cannes Film Festival yang bergengsi. Saat ini ia sedang resah dengan situasi global dan jengah dengan istilah ‘film Islam’. Mengapa demikian? Simak perbincangan eksklusif Alif.ID dengan Christine Hakim berikut ini.
Film terbarunya, “Sukma” sedang tayang di layar-layar bioskop Indonesia. Ini menjadi film bergenre horor kedua setelah “Perempuan Tanah Jahanam” yang disutradarai oleh Joko Anwar. Saya berbincang dengan sang legenda, di sela-sela peresmian “Arts Lumiere Indonesia Festival: Muslim World Movie Screenings”, yang memutar 45 film dari 16 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Jakarta. Acara ini digelar oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, pada 19-21 September 2025 di Jakarta.
Christine memuji inisiatif pemerintah melalui Kemlu. Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa sinema Islam juga harus terbuka untuk semua pihak, termasuk publik penonton non-Muslim. Esensi ajaran Islam seperti kejujuran, cinta kasih, perdamaian, dan toleransi sepatutnya menjadi jantung dalam penceritaan film.
“Kita tahu nilai-nilai Islam tapi itu yang kita sering lupa. Jangan sampai Festival ini menjadi eksklusif karena nanti pesannya tidak sampai ke publik. Bahkan pengertian Islam sebagai rahmatan lil alamin juga jangan dilihat secara sempit, semua yang diinterpretasikan di dalam sinema harus berhati-hati,” ujar Christine.
Perbincangan kami berlanjut mengenai kondisi global yang semakin membuat resah akhir-akhir ini. Mulai dari genosida Gaza hingga kekerasan aparat dan sesama warga di Indonesia. Ada ‘benang kusut’ yang sulit dipahami, karena ada ketidaksinkronan antara ajaran Islam dengan perilaku sehari-hari kaum Muslim. Ia sendiri tak sepakat dengan tindak penjarahan di rumah-rumah pejabat.
“Apakah dalam Islam yang namanya menjarah itu dibenarkan? Saya kira semua ajaran agama tidak akan membenarkan tindakan itu. Di dalam ajaran Islam menjarah pampasan perang itu memang halal, tapi kita sekarang kan tidak dalam situasi perang dan pelaku serta korbannya sebagian besar adalah muslim,” kata Christine.
Film Horor dan Karakter-Karakter Baru yang Menantang
Pada Desember mendatang, perempuan kelahiran Jambi ini akan berusia 69 tahun. Alih-alih mengurangi kesibukan, Christine justru makin giat berkarya. Sejak 1976 hingga sekarang, ia telah membintangi sekitar 53 film. Tahun ini saja, masih ada tiga film baru yang sedang dalam proses produksi. Betapa produktifnya!
“Kalau Tuhan masih memberikan amanah maka saya harus menjalankan peran itu seberat apapun,” kata Christine menanggapi kekaguman saya.
“Saya baru saja kembali dari Gunungkidul untuk pengambilan gambar. Kisahnya tentang ibu dari anak yang bekerja sebagai pekerja migran. Naskahnya sangat menyentuh hati. Ada adegan di mana saya harus menapaki bukit untuk membuat saluran air, saya panjat sendiri,” ungkap Christine.
Ia belum ingin membocorkan judulnya, namun kisahnya mengenai seorang ibu yang ingin meninggalkan warisan yang bisa bermanfaat bagi warga desa, saat anaknya dihukum mati di Arab Saudi.
“Kita selama ini hidup seperti tidak bersyukur, padahal Gunungkidul hanya beberapa jam dari Jakarta, betapa kemiskinan itu terpampang nyata di depan mata,” tambah Christine tentang film terbarunya.
Fakta menarik lainnya adalah Christine mengaku tak pilih-pilih peran, termasuk menjajal karakter antagonis dalam film horor “Sukma” (2025) yang disutradarai oleh Baim Wong, serta “Perempuan Tanah Jahanam” (2019) garapan Joko Anwar.
“Sejujurnya, saya tak punya alasan untuk menolak peran-peran itu. Saya tahu Joko Anwar dan Shanty Harmayn (produser ‘Perempuan Tanah Jahanam), mereka bukan pembuat film sembarangan. Mereka memberikan saya peran antagonis, seorang perempuan hantu yang menjadi iblis. Saya sampai sholat Istikharah waktu itu, bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa saya harus bermain film horor, bagaimana peran ini bisa sampai ke saya?” ungkap Christine.
Ini jelas suatu pergulatan pikiran yang tak main-main, karena selama puluhan tahun ia berperan dalam karakter ‘aman’ film-film drama yang telah banyak memberinya penghargaan dari dalam dan luar negeri.
“Tapi Anda puas nggak dengan hasilnya?” tanya saya penasaran, sebab “Perempuan Tanah Jahanam” sebetulnya film yang sangat bagus secara sinematik, bahkan mewakili Indonesia dalam seleksi Piala Oscar untuk Film Asing Terbaik tahun 2021.
“Dalam prosesnya saya seperti diingatkan bahwa di dalam salah satu hadis yang saya baca itu mengatakan jika sudah di dalam hati kita sudah banyak bintik hitam, seperti niat untuk perbuatan yang tak baik, seperti benci dan dendam, itu semua bisa menghilangkan logika. Energi menjadi negatif. Pikiran jadi tak sehat lagi. Saya diingatkan Tuhan saat itu untuk menjaga kejernihan hati,” jelas Christine. Akhirnya ia mengiyakan tawaran dari Joko Anwar.
Tuhan rupanya belum mau berhenti memberikan kejutan lain. Tak lama ia mendapatkan tawaran untuk membintangi satu episode serial ‘The Last of Us’ dari Amerika Serikat, yang berkisah tentang dunia diserang wabah penyakit mengerikan dan mematikan.
“Saya ditawarkan untuk membintangi “The Last of Us” yang pengambilan gambarnya di Kanada. Setelah sempat saya tolak akhirnya saya mengambil keputusan untuk terlibat di dalam produksinya,” kisah Christine.
Apa pesan moralnya? Menurut Christine, kedua film tersebut sebetulnya bergenre sama. Namun, “Perempuan Tanah Jahanam” dibuat dengan pendekatan relijius mistis karena dibuat oleh orang Indonesia. Sementara, “The Last of Us” dibuat dalam format ilmiah barat oleh sineas Amerika.
“Sasarannya adalah otak manusia, yang kalau sudah terinfeksi virus-virus sosial maka siapapun perilakunya bisa berubah seperti zombie. Kalau teknologi sudah dijalankan, maka akal sehat tidak ada. Zombie atau iblis di dalam film adalah metafora untuk berbagai situasi,” ujar Christine.
Dari karakter-karakter film-film inilah ia seperti menemukan bentuk lain dari misi film yang sejalan dengan esensi ajaran Islam. Kekacauan pikiran akibat hati yang kotor hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang saling menghancurkan satu sama lain.
“Film Islam itu tak selalu harus memekikkan “Allahu Akbar”, ada beragam bentuk pendekatan yang bisa dilakukan,” katanya menutup perbincangan kami malam itu. Christine Hakim memang tak sekedar melakukan seni peran, namun ia ikut menyiarkan Islam dan beradaptasi dengan perubahan global.