Media dan pesantren bukanlah dua kutub yang berlawanan, tetapi dua kekuatan yang mampu menjaga marwah kebenaran dan peradaban bangsa.
Setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Peringatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk menegaskan kembali semangat Resolusi Jihad 1945—fatwa historis dari para ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan.
Namun, di era digital, medan jihad telah berubah. Perjuangan tak lagi di medan tempur bersenjata, melainkan di ruang media dan informasi. Kini, hoaks, ujaran kebencian, dan konten yang memelintir nilai-nilai pesantren menjadi tantangan baru bagi dunia keilmuan Islam.
Di tengah gempuran arus informasi tanpa filter, muncul generasi baru santri yang tidak hanya mengaji kitab, tetapi juga mengaji media. Mereka belajar menulis berita, membuat konten dakwah digital, dan memahami etika jurnalistik sebagai bagian dari tanggung jawab keagamaan.
Momentum Hari Santri tahun ini pun mengajak kita merefleksikan makna jihad secara lebih kontekstual: jihad untuk menjaga kebenaran, adab, dan martabat kemanusiaan di tengah derasnya arus informasi global. Santri Gen Z tampil sebagai penjaga nilai, mengubah ruang digital menjadi ladang dakwah dan peradaban baru.
Dalam Islam klasik, jihad tidak semata berarti perang fisik, tetapi juga perjuangan moral dan intelektual. Imam Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya’ Ulum al-Din menulis bahwa “pena seorang ulama lebih tajam daripada pedang seorang pejuang,” menegaskan pentingnya jihad melalui ilmu dan tulisan.
Di era modern, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur, 1940–2009) menegaskan bahwa jihad umat Islam kontemporer adalah melawan ketidakadilan, kebodohan, dan penyebaran informasi menyesatkan. Dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), Gus Dur menilai media seharusnya menjadi ruang pembebasan dan kemanusiaan, bukan alat pembentuk opini sepihak.
Sementara itu, Jürgen Habermas (1981) melalui teori public sphere menjelaskan bahwa ruang publik harus berfungsi sebagai arena diskusi rasional dan etis. Ketika ruang publik dikuasai oleh kepentingan ekonomi dan politik, maka kebenaran menjadi kabur. Prinsip ini sejalan dengan nilai adab al-hiwar dalam tradisi pesantren, yakni berdialog dengan santun dan bertanggung jawab.
Dari perspektif ini, jihad di era digital harus dimaknai sebagai upaya menjaga integritas ruang publik. Santri Gen Z yang memahami teknologi sekaligus berpegang pada nilai-nilai moral pesantren, memegang peran penting sebagai penjaga etika media dan peradaban informasi.
Santri Gen Z menghadapi dua tantangan besar di era digital: banjir informasi dan degradasi moral digital. Informasi berseliweran begitu cepat, tanpa sempat diverifikasi. Di sisi lain, media sosial seringkali menampilkan kebenaran parsial yang didorong oleh algoritma popularitas, bukan objektivitas.
Bagi santri, tantangan ini tidak hanya menyangkut literasi, tetapi juga akhlak. Pesantren yang selama ini menjadi benteng moral bangsa, kini dihadapkan pada dilema baru: bagaimana menanamkan nilai-nilai etik di tengah kebebasan digital yang nyaris tanpa batas?
Namun, dari tantangan itu lahirlah kontribusi nyata. Santri kini tak lagi hanya duduk di serambi masjid, tetapi juga aktif di ruang redaksi digital. Banyak pesantren di Banyuwangi seperti Blokagung dan Darussalam mulai mengintegrasikan pelatihan jurnalistik, literasi media, dan konten dakwah digital dalam program pendidikannya.
Dengan cara ini, santri Gen Z menjelma menjadi “mujahid literasi”—berjuang menegakkan kebenaran, memperhalus narasi dakwah, dan menanamkan kesantunan dalam berkomunikasi. Mereka menjawab tantangan zaman dengan pena, adab, dan kecakapan digital.
Salah satu contoh konkret dapat ditemukan di Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi. Melalui Darussalam Media Center (DMC), para santri dilatih menulis berita, membuat buletin, hingga mengelola kanal media sosial pesantren. Pelatihan ini tidak sekadar fokus pada kemampuan teknis, tetapi juga pada etika jurnalistik dan prinsip tabayyun (verifikasi).
Setiap tulisan yang dibuat santri diwajibkan melewati tahap pengecekan sumber dan bahasa agar tidak menimbulkan fitnah. Prinsip ini diambil dari nilai Al-Qur’an: “fa tabayyanu an tushibu qawman bijahalah”—periksa dulu agar tidak menzalimi pihak lain karena ketidaktahuan.
Selain itu, kontribusi juga datang dari Universitas KH. Mukhtar Syafaat (UIMSYA) Banyuwangi melalui gerakan “Pojok Literasi”, yang digagas oleh mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Divisi Intelektual. Program ini menjadi ruang diskusi terbuka bagi mahasiswa dan santri untuk mengaji media, membedah wacana publik, dan menulis opini dengan perspektif keislaman progresif. Kegiatan tersebut memperkuat sinergi antara dunia pesantren dan perguruan tinggi Islam dalam membangun ekosistem literasi etis.
Santri dan mahasiswa tidak hanya diajak kritis terhadap media, tetapi juga kreatif dalam menulis narasi alternatif. Banyuwangi pun menjadi saksi tumbuhnya generasi baru penulis yang menjadikan pena sebagai jihad bil qalam—berjuang dengan tulisan, berakhlak dalam berpendapat.
Lalu, apakah semangat Resolusi Jihad benar-benar relevan di era digital? Jawabannya: sangat relevan. Hanya saja, bentuknya berubah. Jika dahulu jihad berarti melawan penjajah bersenjata, kini jihad berarti melawan penjajahan informasi dan hoaks.
Santri Gen Z menghadapi realitas baru di mana kebenaran dipertarungkan melalui klik, trending, dan viralitas. Dalam situasi seperti ini, pesantren tidak cukup hanya menjadi lembaga pendidikan agama; ia harus menjadi pusat literasi kritis dan etika digital. Etika jurnalistik menjadi benteng moral di tengah disrupsi algoritmik. Santri yang menulis dengan adab dan menyebarkan berita dengan tabayyun sejatinya sedang melanjutkan semangat jihad para ulama. Bedanya, musuh yang dihadapi bukan kolonialisme fisik, melainkan kolonialisme narasi dan disinformasi.
Dalam konteks ini, gerakan literasi pesantren seperti di Darussalam dan UIMSYA menjadi bukti bahwa Resolusi Jihad telah berevolusi menjadi Resolusi Literasi. Para santri Gen Z membuktikan bahwa perjuangan di ruang digital sama sucinya dengan perjuangan di medan sejarah—asal dijalankan dengan kejujuran, tanggung jawab, dan akhlak.
Media dan pesantren kini bukan dua kutub yang berlawanan, tetapi dua kekuatan yang harus bersinergi demi menjaga marwah kebenaran dan peradaban bangsa.
Hari Santri hari ini bukan sekadar nostalgia perjuangan masa lalu, melainkan ajakan untuk menafsir ulang Resolusi Jihad di era digital. Santri Gen Z hadir sebagai garda etika media dan penjaga moral ruang publik.
Dari Darussalam hingga UIMSYA Banyuwangi, semangat jihad bil qalam tumbuh dalam bentuk gerakan literasi dan etika informasi. Mereka membuktikan bahwa jihad hari ini tidak lagi dengan senjata, tetapi dengan pena, pikiran, dan kejujuran. Santri Gen Z menulis bukan sekadar untuk didengar, tetapi untuk menyucikan ruang digital dengan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan.
Pengajar di Universitas KH Mukhtar Syafaat Blokagung-Banyuwangi (UIMSYA) dan Pegiat Literasi Darussalam.
Media dan pesantren bukanlah dua kutub yang berlawanan, tetapi dua kekuatan yang mampu menjaga marwah kebenaran dan peradaban bangsa.
Teknologi | 25.10.2025