Di zaman ketika keberhasilan sering dipajang seperti etalase—usia menikah diumumkan, gelar akademik dipamerkan, karier dipertontonkan—banyak orang tanpa sadar mulai mengadili hidupnya sendiri dengan ukuran orang lain. Seolah ada satu pola baku yang harus ditaati semua manusia: kapan harus menikah, kapan harus mapan, kapan harus “jadi”. Padahal hidup tidak pernah disusun dengan satu cetakan. Ia bergerak mengikuti kesiapan batin, pengalaman personal, dan konteks yang berbeda-beda pada setiap individu.
Setiap manusia menapaki qadha’ dan qadarnya sendiri. Ada yang siap menikah di usia muda karena kondisi mental, ekonomi, dan sosialnya mendukung. Ada pula yang baru menemukan kemantapan setelah melewati usia yang lebih matang. Ada yang memilih menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu demi fondasi hidup yang lebih kokoh, ada pula yang mampu menjalani pendidikan sambil berumah tangga. Semua pilihan itu sah, selama dijalani dengan kesadaran dan tanggung jawab, bukan karena paksaan sosial atau sekadar takut dianggap tertinggal.
Masalah sering kali tidak lahir dari pilihan hidup itu sendiri, melainkan dari kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Perbandingan membuat hidup kehilangan makna personalnya. Ketika seseorang terus mengukur dirinya dengan capaian orang lain, ia perlahan kehilangan kepekaan atas nikmat yang sedang ia jalani. Rasa syukur mengecil, sementara kegelisahan membesar. Hidup terasa selalu kurang, meskipun sebenarnya banyak yang sudah cukup.
Dalam khazanah tasawuf Islam, kegelisahan semacam ini telah lama dipetakan dengan jernih. Ibnu ‘Aṭā’illah as-Sakandari dalam al-Ḥikam mengingatkan manusia agar tidak terjebak pada kecemasan mengatur hasil dan waktu hidupnya sendiri. Salah satu hikmahnya berbunyi:
Ariḥ nafsaka mina at-tadbīr,
fa-mā qāma bihi ghayruka ‘anka lā taqum bihi linafsika.
“Tenangkan dirimu dari sibuk mengatur-atur hasil. Apa yang telah diurus oleh selain dirimu (Allah Swt) untukmu, jangan kau sibukkan dirimu untuk mengaturnya sendiri.”
Hikmah ini tidak mengajarkan kemalasan, melainkan ketenangan batin. Manusia tetap berusaha, tetapi tidak gelisah ketika hasil dan waktunya tidak sama dengan orang lain. Kegelisahan justru muncul ketika seseorang merasa hidupnya salah hanya karena berbeda urutan dengan kehidupan orang lain.
Ada kaidah fikih mengatakan :
Man ista‘jala shay’an qabla awānihi,
‘ūqiba bi-ḥirmānihi.
“Siapa yang tergesa-gesa menginginkan sesuatu sebelum waktunya, ia akan dihukum dengan terhalang dari mendapatkannya.”
Pesan ini sangat relevan di tengah budaya perbandingan hari ini. Banyak orang memaksakan diri menikah, mapan, atau sukses hanya karena tekanan lingkungan, bukan karena kesiapan. Akibatnya bukan ketenangan, melainkan konflik batin dan rapuhnya tanggung jawab.
Pandangan serupa juga ditemukan dalam pemikiran modern di luar Islam. Psikolog humanis Carl Rogers menekankan bahwa pertumbuhan pribadi hanya mungkin terjadi ketika seseorang mampu menerima dirinya sendiri secara utuh. Hidup yang terus-menerus dikendalikan oleh ekspektasi orang lain akan melahirkan kelelahan psikologis. Viktor Frankl, dalam refleksinya tentang makna hidup, menunjukkan bahwa penderitaan manusia menjadi lebih berat ketika hidup kehilangan makna personal. Perbandingan sosial yang berlebihan sering kali mencabut makna itu.
Di era media sosial, kebiasaan membandingkan diri semakin subur. Kita melihat potongan keberhasilan orang lain tanpa mengetahui proses panjang, kegagalan, dan luka yang mereka sembunyikan. Yang tampak hanyalah fragmen terbaik, bukan keseluruhan kisah. Jika hidup terus diukur dengan potret orang lain, maka yang lahir bukan motivasi, melainkan kelelahan batin yang pelan-pelan menggerogoti rasa syukur.
Kedewasaan justru tumbuh ketika seseorang mampu menghargai prosesnya sendiri. Fokus pada apa yang sedang dijalani jauh lebih menenangkan daripada sibuk menghitung pencapaian orang lain. Hidup bukan perlombaan siapa yang paling cepat sampai, melainkan perjalanan memahami diri, belajar bertanggung jawab, dan bertumbuh sesuai waktunya masing-masing.
Pada akhirnya, sikap paling menenteramkan dalam menjalani hidup yang tidak selalu sama dengan orang lain adalah kesabaran yang jernih, bukan kesabaran yang pasrah, apalagi getir. Nabi Ya‘qūb AS. menutup kegundahannya bukan dengan keluhan atau pembandingan, melainkan dengan keyakinan batin yang kokoh: “Maka hanya bersabar itulah yang terbaik bagiku. Allah sajalah Zat yang dimohonkan pertolongan terhadap apa yang kamu ceritakan” (Surah Yūsuf [12]: 18).
Kalimat ini mengajarkan bahwa ketika hidup terasa tidak adil, tidak secepat orang lain, atau tidak seindah cerita orang-orang, yang paling perlu dijaga bukanlah gengsi, melainkan ketenangan hati. Kesabaran yang indah lahir dari kepercayaan bahwa setiap jalan memiliki waktunya, dan setiap luka memiliki maknanya. Di sanalah manusia belajar berhenti membandingkan, lalu mulai berserah dengan sadar, sambil tetap berjalan.