Beberapa waktu yang lalu dalam pemberitaan media massa dan perbincangan media sosial ramai oleh fenomena penyalahgunaan makna dan peran guru spiritual. Yaitu, mereka yang dianggap sebagai orang yang memiliki kelebihan tertentu dan memiliki jumlah pengikut yang cukup signifikan.
Yang memprihatinkan kemudian, fenomena ini diiringi stigma negatif dengan penangkapan beberapa orang tersebut dengan dugaan tindak pidana pemakaian narkoba, pembunuhan dan penipuan. Hal ini misalnya, melalui pemberitaan kasus AAGB dan DKTA.
Komentar-komentar negatif tentang kedua orang ini yang kemudian makin meluas tak ayal seperti menggeneralisir pengaruh negatif dari orang-orang yang memiliki karisma tertentu di masyarakat tradisional.
Lalu muncul pertanyaan, apakah memang tak ada orang-orang yang mampu mengayomi secara spiritual?
Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam Islam and the Plight of Modern Man (Islam dan Nestapa Manusia Modern), orang-orang modern (di Barat) menjadi cenderung kering jiwanya, karena percepatan teknologi dan ledakan ekonomi yang memiliki dampak buruk bagi ekologi dan pengaruh dehumanisasi.
Sementara di dunia Islam sendiri, ada kelompok manusia yang terombang-ambing di antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern itu sendiri. Iman mereka diuji di antara ilusi dan realitas yang saling bertabrakan ini. Spiritualitas tradisional (Islam) dianggap kuno dibandingkan dengan yang dianggap sebagai lebih “riil” yang sedang hancur di depan mata mereka, seperti butiran-butiran pasir yang terlepas dari sela-sela jari mereka.
Dalam kekacauan paradigma demikianlah, orang-orang lalu mencari sandaran yang lain bagi spiritualitas jiwa mereka. Kekurangmengertian terhadap ajaran-ajaran agama disusupi godaan penokohan terhadap orang-orang yang dianggap karismatik dan mampu memberikan harapan bagi persoalan sehari-hari yang menekan, yang makin membuat gersang jiwa orang-orang yang tertekan ini.
Ada saja kemudian, orang-orang dengan tampilan khas agama—berbolang atau berkopiah putih, bergamis atau berpakaian sopan, tasbih, dan sedikit ungkapan-ungkapan mistik keagamaan—mampu menyita perhatian, memanfaatkan kesulitan-kesulitan hidup orang lain, tampil seperti seorang juru selamat.
Orang-orang pun bukannya tanpa alasan mengikuti mereka. Selain disebabkan simbol-simbol keagamaan yang kadung melekat dalam ingatan tradisional mereka, para “guru spiritual” ini memang mampu membuktikan kedigdayaan mereka secara temporer di depan mata mereka. Berkelindan dengan kesulitan-kesulitan hidup yang membekap mulut dan akal rasional mereka, pertemuan ini menjadi sahih (benar) bagi mereka saat itu.
Hingga tiba waktunya pada mereka melihat ledakan persoalan yang lebih besar dengan pupusnya kedigdayaan guru-guru demikian, dengan kasus-kasus penipuan dan penangkapan secara hukum, kekecewaan itu bisa mengubah sikap mereka menjadi apatis. Hujatan-hujatan merembet ke soal-soal sipiritual dan agama, seakan tak benar-benar ada guru-guru yang dengan rendah hati mengabdikan kehidupannya secara sungguh-sungguh untuk kemaslahatan orang banyak. Inilah pukulan balik yang sebenarnya lebih menyedihkan.
Guru Sejati
Javad Nurbakhsy, penulis buku Psikologi Sufi dan Belajar Bertasawuf yang juga seorang syekh tarekat Ni’matullah, menyebutkan guru (dalam pemaknaan spiritual) adalah manusia sempurna yang sekurang-kurangnya telah pernah menempuh semua fase perjalanan spiritual.
Menjadi seorang guru bukanlah sekadar pengakuan belaka. Ia harus dicapai melalui didikan seorang guru yang sempurna. Dikatakan, guru sejati mempunyai silsilah guru-guru spiritual yang berpangkal pada Nabi.
Makna silsilah ini menjadi penting, karena dengannya ia ditopang secara spiritual oleh mata rantai (sanad) keilmuan dan pengetahuan (ma’rifah) yang kuat, yang menjadi isyarat pesan dari perkataan Nabi Saw, “al-‘ulama waratsat al-anbiya (ulama adalah pewaris para nabi)”. Seorang guru spiritual setidaknya bisa menyebutkan mata rantai silsilah keilmuannya dari seorang guru kepada guru di atasnya, terus naik ke atas hingga sampai kepada Nabi Saw sebagai seorang “maha-guru” kehidupan.
Adapun peran (kewajiban) seorang guru menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Gunyah Lithalibi Tharîq al-Haqq, pertama adalah menerima murid karena Allah, bukan untuk kepentingannya sendiri. Memberi murid nasihat bijak, memperhatikannya dengan mata penuh kasih, memperlakukannya dengan lembut ketika murid tidak mampu menanggung riyadhah (latihan spiritual), lantas mengasuhnya seperti seorang ibu mendidik dan mengasuh bayinya dan seperti seorang ayah penyayang nan bijak terhadap anaknya yang masih kecil.
Seorang syaikh membimbing muridnya secara bertahap, dengan perintah dan rukhshah (keringanan), jika diperlukan, sampai murid benar-benar bisa keluar dari belenggu wataknya dan masuk dalam lingkaran syariat. Pantang bagi guru, kata al-Jailani, mengambil keuntungan materiil maupun jasa pelayanan dari muridnya dalam kondisi apa pun. Jika pun soal-soal ekonomi menjadi kendala, maka jalan terbaik dalam hal ini adalah mempekerjakannya dalam pekerjaan produktif, sejauh dalam koridor yang telah diatur Allah, yang memberikan hasil materiil bagi si murid dan guru.
Terkait dengan kelebihan yang bersifat keajaiban atau biasa disebut karamah (keramat) seorang guru, Imam al-Haddad dalam Adab Suluk al-Murid mengatakan, hati-hatilah dari perbuatan meminta kepada syaikh agar menampakkan keramatnya atau menebak lintasan-lintasan hati. Karena sesungguhnya, sesuatu yang gaib tidak ada yang mengetahui kecuali Allah.
Kebanyakan keramat pada para wali terjadi tanpa kehendak mereka. Jika tampak suatu keramat pada diri mereka, kata al-Haddad, mereka mewasiatkan kepada yang melihatnya agar tidak menceritakan kepada orang lain, kecuali jika mereka telah meninggal dunia.
Syaikh yang sempurna (guru sejati) adalah seorang syaikh yang memberikan manfaat kepada muridnya dengan semangat, perbuatan, dan ucapannya, serta menjaga para murid dalam kehadirannya ataupun tidak (yang bersifat ruhaniah).
Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan akan suatu perkembangan diri, ke tahap spiritual yang lebih tinggi, merupakan bagian dari kebutuhan manusia modern. Tidak saja bagi mereka yang telah mapan secara ekonomi, tapi hampir menjadi kebutuhan setiap orang dalam strata sosial bagaimanapun.
Psikologi Barat modern, kata Lynn Wilcox, penulis buku Criticism of Islam Psychology, tidak memiliki jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan spiritual tentang bagaimana manusia atau masyarakat yang sempurna dikembangkan.
Sementara Nasr, seperti telah disinggung di atas, telah menyatakan bahwa jawabannya ada di dalam khazanah tradisional, salah satunya melalui tasawuf. Ia mengisyarakatkan bahwa barakah al-muhammadiyah terus berjalan di dunia ini dan menjadi salah satu inti dari spiritualitas Islam, yang diteruskan oleh para guru atau wali yang terus menjaga “amanah” dari Nabi Saw. Meski begitu, seperti dinyatakan Jalaluddin Rumi, seorang guru sejati (mestinya dapat) menumbangkan berhala yang dibuat murid terhadapnya.