Ada kota yang setiap jengkal tanahnya menolak dilupakan. Kota yang hidup bukan dari aspal dan semen, tetapi dari darah yang mengering di bawah sepatu para peziarah dan serdadu.
Yerusalem
Nama yang diucap dengan lidah penuh getar dalam tiga agama, tetapi dibungkam oleh suara meriam yang sama. Ia bukan sekadar tempat, tetapi sebuah puisi yang dipotong-potong dan dijual dalam lelang politik, sebuah ayat yang diperebutkan oleh iman dan kolonialisme sekaligus.
Di kota itu, tiap batu adalah pustaka, tiap lorong adalah ayat kesedihan, dan tiap pintu yang terkunci adalah metafora tentang rumah yang maherat. Yerusalem tidak pernah benar-benar tua, tapi juga tidak bisa menjadi muda kembali. Ia dibangun bukan dari cinta, Tetapi dari harapan yang selalu tertunda, dan dari ketakutan yang diwariskan turun-temurun.
Kota ini sebagai cermin jiwa mereka sendiri. Ketika Yerusalem disakiti, maka orang-orang yang mencintainya merasa tubuhnya sendiri dirusak. Ia tidak lahir dari satu janji, tetapi dari saling silang klaim atas Tuhan yang satu tapi dirayakan dalam versi yang berbeda.
Dulu, sebelum dunia retak oleh peta dan surat kabar, Yerusalem adalah denyut yang berjalan pelan tapi tetap. Kekhalifahan Utsmani menjaganya seperti seorang ibu tiri yang tegas—tidak penuh kasih, tetapi cukup agar ia tidak hancur. Kota itu adalah mosaik yang dijaga agar tidak jatuh dari dinding sejarah. Akan tetapi ketika Inggris datang dengan tinta kolonial dan segenggam janji untuk dua pihak yang saling bertentangan, Yerusalem mulai terpecah, bukan hanya secara politik tapi juga secara ontologis.
Deklarasi Balfour tahun 1917 adalah naskah kolonial yang tidak hanya memindahkan tanah, tapi juga menyayat makna rumah. Inggris memberikan tanah yang bukan miliknya kepada mereka yang sedang luka, sambil mengabaikan mereka yang telah berakar di tanah itu sejak suara pertama azan, lonceng, dan kidung terdengar di atas bukit Zaitun, laksana air yang dulunya menyejukkan kini membawa kematian yang tidak segera.
Seperti semua kota suci yang menjadi rebutan, Yerusalem pun menjadi panggung, bukan lagi rumah. Zionisme, yang awalnya (berpura-pura) spiritual, menjelma menjadi gerakan nasionalisme. Kota itu tak lagi hanya titik ziarah, tetapi juga titik tolak bagi proyek pembentukan negara dan penghapusan yang sistematis.
Tatkala Perang Arab-Israel 1948 pecah, kota itu tidak hanya pecah secara geografis, tetapi juga spiritual. Barat dikuasai Israel, timur oleh Yordania, dan Kota Tua yang seharusnya menjadi ruang suci universal, terjerat dalam pagar dan senjata. Garis gencatan senjata berubah menjadi garis luka di tubuh kota, memisahkan bukan hanya rumah, tetapi juga kenangan dan doa.
Montefiore menyebut Yerusalem sebagai “kota yang didoakan dengan kemarahan” (2011: 639). Sebuah doa yang dituturkan dengan gigi terkatup dan mata yang menyimpan dendam. Yerusalem, tempat yang seharusnya jadi rumah bagi mereka yang mencari Tuhan, berubah menjadi medan tempur bagi mereka yang menganggap dirinya wakil Tuhan.
Namun Yerusalem bukan hanya kota yang diperebutkan dalam medan perang, ia juga dirampas secara simbolik. Seperti yang ditulis Karen Armstrong, kota ini telah lama menjadi mitos, dan “mitos, bukan sejarah literal, yang memberi Yerusalem makna spiritualnya” (2005: 11). Maka setiap rezim yang menguasai Yerusalem bukan hanya membangun ulang tembok dan jalan, tapi juga menulis ulang narasi, menciptakan “palimpsest kekuasaan” seperti yang disebut Dumper (Dumper & Badran, 2025: 268).
Pasca 1948, proses Yudaifikasi dimulai. Tetapi ini bukan Yudaifikasi dalam arti religius, melainkan politis. Ia adalah sebuah strategi sistematis untuk menjadikan Yerusalem sebagai jantung Israel, bahkan jika itu berarti mencabut akar Palestina. Cattan (1981: 79) menuliskan bagaimana kota yang dulunya adalah rumah bersama, menjadi milik satu narasi saja: yang kuat, yang berkuasa, yang diakui oleh peta dunia dan veto PBB.
Yerusalem menjadi kota yang menyanyikan lagu duka dalam nada mayor. Sebuah harmoni yang dipaksakan oleh arsitektur, hukum, dan penghapusan. Di bawah tiap pembangunan jalan baru, selalu ada reruntuhan yang ditutup rapat. Di balik setiap proyek “integrasi,” ada pengusiran diam-diam yang tidak masuk berita.
Karen Armstrong mengingatkan kita bahwa kota ini bukan hanya tempat, tapi juga simbol. “Sebuah tempat yang telah begitu lama menjadi lambang dari aspirasi spiritual dan luka-luka sejarah sehingga ia tidak bisa lagi dilihat secara netral” (Armstrong, 2005: xvi). Maka siapa pun yang mengaku mencintai Yerusalem harus berani mengakui bahwa cinta tanpa keadilan hanya akan memperpanjang kekerasan.
Sejarah pun berulang
Tahun 1967, subuh yang biasanya penuh doa, berubah menjadi awal dari penghilangan massal yang disulap sebagai pembangunan. Dalam Perang Enam Hari, Israel merebut Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua. Mereka menyebutnya “reuni kosmik”, tetapi bagi Palestina, itu adalah kehilangan yang dipoles dengan nama hukum.
Montefiore meneroka bahwa momen itu diperlakukan seperti penggenapan nubuat oleh kaum Zionis, tapi “penggenapan” itu berarti penghapusan hak-hak sipil dan status hukum bagi ribuan warga Palestina (2011: 648). Lebih dari 60.000 warga kehilangan status legal mereka dalam satu malam. Mereka menjadi “penduduk tetap” yang tak tetap: bisa dicabut, bisa dibuang, bisa dihilangkan dari arsip negara.
Dumper menyebutnya sebagai “kudeta atas ruang” (Dumper & Badran, 2025: 263). Kota ini direkayasa untuk menghapus jejak satu identitas demi menonjolkan yang lain. Jalan dibangun, tapi bukan untuk menghubungkan warga. Museum didirikan, tapi di atas kuburan. Bahkan kematian pun tidak luput dari sensor politik, seperti proyek “Museum Toleransi” yang dibangun di atas pekuburan Mamilla. Sebuah ironi yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah merasakan bagaimana keimanan dikurung dalam kotak izin administratif.
Armstrong menegaskan, “kota ini hanya akan suci jika ia adil bagi semua” (2005: xxii). Walakin keadilan adalah lema yang paling silang selimpat tumbuh di tanah yang terlalu lama dipenuhi saling curiga.
Diarsipkan tapi Dilupakan
Setelah 1967, Yerusalem menjadi perpustakaan yang dikuasai satu penerbit. Rak-raknya disusun berdasarkan naskah yang disetujui, dan tiap manuskrip yang tidak sesuai dibuang ke loteng arsip, dikunci dengan segel legal. Kota ini tidak lagi diingat melalui cerita, melainkan melalui peta. Peta atau konstruksi, seperti yang kita tahu, bukanlah kenyataan. Ia ialah versi. Di tangan kekuasaan, versi menjadi doktrin, dan doktrin menjadi kebenaran tunggal.
Ada 60.000 nama yang hilang dari daftar kependudukan dalam satu malam. Mereka tidak pindah. Rumah mereka tak berpindah. Akan tetapi keberadaan mereka diputus dari sistem. Status mereka diubah menjadi “penduduk tetap”, status yang bisa dicabut tanpa alasan. Mereka bukan warga, bukan imigran, bukan pengungsi. Mereka seperti bayangan di tembok yang tak dikenali oleh mata resmi negara.
Karen Armstrong mengingatkan bahwa Yerusalem sepanjang sejarahnya selalu menjadi tempat di mana simbol dikalahkan oleh senjata, dan mitos dikudeta oleh mesin kekuasaan (2005: 324). Namun tidak pernah sedemikian rapi dan diam-diam seperti sekarang. Kiwari tidak ada penaklukan, hanya restrukturisasi zona. Tidak ada pengusiran massal, hanya penolakan perpanjangan izin tinggal. Tidak ada api, hanya kebijakan pemutusan sambungan air.
Siapa yang mengingat? Arsip-arsip tua dari wakaf Islam disita, katalog rumah-rumah Palestina di Kota Tua dicabut legalitasnya. Seperti yang ditulis Mahler & Abdul Hadi (2025), “Pengetahuan di kota ini telah dikurasi secara ideologis. Bahkan perpustakaan telah dijadikan alat dominasi” (139-144). Bahkan ingatan pun diaudit. Bahkan sejarah pun harus mendapat pangestu.
Kekuasaan di kota ini bukan lagi tank, melainkan akta tanah. Hukum bukan lagi soal keadilan, melainkan soal siapa yang punya salinan sah dari peta tahun 1946. Anak-anak Palestina tidak lagi mengingat kota melalui peta, tapi melalui jalur pelarian saat penggusuran.
Setiap gang di Silwan, setiap tangga di Sheikh Jarrah, menjadi titik koordinat trauma kolektif yang ditransmisikan secara lisan karena buku-bukunya sudah tiada.
Jean-Pierre Filiu menulis bahwa “Yerusalem hari ini adalah tempat di mana iman telah diredusir menjadi izin masuk” (2014: 131). Gereja, masjid, dan sinagog kiwari dikelilingi kamera pengawas, bukan oleh kedamaian. Ibadah menjadi aktivitas yang harus dinegosiasikan dengan sistem keamanan. Pihak berwajib menentukan berapa jumlah jamaah yang boleh masuk. Doa menjadi antrean. Ziarah menjadi logistik.
Sementara para penduduk asli antre untuk sekadar merawat makam leluhurnya, proyek “Museum Toleransi” dibangun di atas pekuburan Mamilla. Kuburan tua, tempat para syuhada dan ulama dikubur sejak era Mamluk dan Turki Utsmani, kini digali dengan alasan pembangunan fasilitas publik. Toleransi menjadi ironi. Sebuah proyek yang ingin merayakan pluralisme, tapi dibangun di atas tulang-tulang orang yang dilupakan. Karen Armstrong menyebut tragedi semacam ini sebagai “paradoks modernitas sekuler yang ingin menghapus sakralitas atas nama kemajuan” (2005: 327).
Kota ini kiwari tak lagi membagi iman. Ia membagi listrik. Ketika festival cahaya digelar di barat kota, kamp pengungsi Shu’fat di timur dibiarkan gelap gulita karena sambungan diputus. Tatkala parade lintas iman berlangsung di Mamilla Mall, anak-anak Palestina harus melewati tiga pos penjagaan hanya untuk menuju sekolah dasar. Yerusalem, kota tiga agama, kini menjadi kota dua sistem. Dua dunia. Dua hukum. Tetapi satu luka.
Armstrong memperingatkan bahwa “Yerusalem telah menjadi tempat di mana mitologi keagamaan dan kekuasaan modern saling melukai satu sama liyan, dan luka itu diperpanjang oleh mereka yang tak mampu membedakan antara iman dan dominasi” (2005: 344). Mereka yang mengklaim ingin menyucikan kota ini justru menjadi penodanya yang paling brutal karena mereka menodai bukan dengan darah, tapi dengan enap.
Seperti semua kota yang kehilangan dirinya, Yerusalem pun mulai mengganti makna dengan pertunjukan. Festival budaya diselenggarakan tiap tahun, musik dimainkan di lorong-lorong yang dulunya bergetar oleh suara kitab. Walakin musiknya bukan lagi kidung, bukan pula selawat, melainkan hiburan yang dijadikan alibi atas normalisasi. Kota ini berkilau di malam hari, tapi gelap di dalam hati.
Dumper menulis bahwa kota ini direkayasa secara arsitektural untuk mencegah penyatuan identitas Palestina. Pemukiman Yahudi dirancang seperti tembok emosional yang memisahkan satu kampung dari kampung lain (Dumper & Badran, 2025: 268-269). Kota ini bukan lagi tempat tinggal. Ia adalah teka-teki geopolitik yang disusun oleh mereka yang tak pernah tumbuh di tanah itu.
Bagaimana dengan mereka yang tinggal?
Mereka bertahan. Mereka menanam zaitun di sisa tanah yang belum dibeli oleh pengembang. Mereka membangun rumah meski tahu akan diruntuhkan. Mereka menikah di bawah tenda karena balai warga mereka telah disegel. Mereka menulis puisi di dinding toilet kamp pengungsi, puisi yang hanya dibaca oleh angin dan anak-anak.
Yerusalem pun tetap hidup. Bukan karena pemerintah mencintainya. Tetapi karena orang-orang kecil menolaknya mati. Yerusalem hidup di mata seorang ibu yang menyimpan akta tanah dalam lipatan mukena. Hidup dalam mimpi seorang anak yang ingin melihat Kota Lama tanpa penghalang logam. Hidup dalam suara adzan yang tak pernah putus, meski tidak lagi menggunakan pengeras suara.
Karen Armstrong menutup satu babak sejarah Yerusalem dengan pernyataan semenjana tapi keras: “Kota ini tidak pernah milik siapa pun. Ia milik mereka yang mampu hidup bersamanya, bukan menguasainya” (2005: 378). Namun hidup bersama membutuhkan keberanian. Bukan keberanian untuk merebut, melainkan keberanian untuk mengalah.
Kita hidup di zaman ketika mengalah dianggap kekalahan. Akan tetapi di kota seperti Yerusalem, mungkin hanya dengan mengalah kita bisa menang bersama. Karena kota ini tidak butuh tuan. Ia butuh penjaga. Bukan penguasa.
Doa Berbisik dan Luka Tak Dapat Dihapus
Yerusalem tidak jatuh. Ia hanya letih. Letih menjadi jantung yang diperebutkan oleh tubuh-tubuh yang tidak pernah mendengarkannya berdetak. Ia letih menampung terlalu banyak makna, terlalu banyak Tuhan, dan terlalu banyak rezim yang semuanya ingin menjadikannya pusat semesta. Tapi kota tidak bisa terus-menerus menjadi pusat. Kadang-kadang, kota juga ingin menjadi pelataran. Tempat orang duduk dan berbagi roti. Bukan tempat orang saling mengusir dari meja.
Karen Armstrong mendedah bahwa Yerusalem pernah menjadi rumah bersama. “Selama berabad-abad, kota ini adalah ruang di mana orang Yahudi, Kristen, dan Muslim bisa hidup berdampingan dengan segala ketegangan dan keindahannya” (2005: 283). Namun modernitas, yang dibungkus sebagai nasionalisme, mengubah semuanya. Rumah-rumah dibagi dengan penggaris, bukan dengan cinta. Doa-doa diukur volumenya. Sejarah dilipat menjadi selebar brosur wisata.
Yerusalem hari ini lebih mirip museum daripada kota. Ia memiliki semua artefak suci, tapi tak lagi punya jiwa. Ia bersinar di folder wisata dan katalog foto Instagram, tapi kosong bagi mereka yang mencari makna. Setiap narasi suci kini dijaga oleh senapan, bukan oleh welas asih. Setiap ziarah diawasi oleh CCTV, bukan oleh penjaga mimpi.
Namun, kota ini tetap hidup. Seperti puisi yang terus dibaca meski robek separuh. Laksana rumah tua yang tetap berdiri meski atapnya bocor. Karena kota ini bukan milik undang-undang. Ia milik mereka yang masih mau mengingat, dan masih mau berharap.
Armstrong menyampaikan bahwa “Yerusalem akan terus menjadi titik pusat konflik dunia jika kita tidak mampu menjadikannya cermin, bukan panggung” (2005: 379). Cermin menuntut kejujuran. Ia tidak bisa memantulkan klaim. Ia hanya memantulkan luka. Luka, jika kita jujur, hanya bisa disembuhkan bersama.
Lalu bagaimana kota ini bertahan?
Ia bertahan dalam cara yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tak punya kekuasaan. Dalam semangkuk lentil di malam Jumat. Dalam langkah kaki nenek-nenek yang tetap menyiram tanaman di halaman yang tidak lagi memiliki akta. Dalam kenangan seorang kakek yang pernah mencium batu di Dome of the Rock sambil membisikkan nama ibunya.
Yerusalem bertahan bukan karena dikelola oleh rezim yang adil, tapi karena ada doa yang tak pernah padam. Doa dari mereka yang bahkan tak diizinkan mendekat ke tempat suci. Doa dari balik pagar, dari balik bus, dari balik kabar buruk di televisi. Doa yang tak mencari kemenangan, tetapi hanya memohon pengakuan: bahwa mereka pernah ada, dan masih ingin ada. Mungkin itulah bentuk iman yang paling murni: bukan yang berani menaklukkan kota suci, tapi yang tetap bersabar di bawah reruntuhannya.
Tuhan di kota ini tidak pernah mati. Ia hanya sering dijadikan tersangka oleh para pemenang. Ia diseret ke meja pengadilan oleh pemilik tanah. Ia dipaksa bersumpah bahwa Ia mendukung pembangunan perumahan baru. Tatkala Tuhan tidak sesuai dengan peraturan, Ia diganti versinya.
Di sini, bahkan Musa pun bisa dituduh imigran ilegal. Yesus bisa ditilang karena menyembuhkan tanpa izin praktik. Dan Muhammad bisa dilarang masuk ke masjid karena tidak membawa kartu identitas.
Yerusalem bukan lagi kisah tiga agama. Ia kisah satu kota yang dicekik oleh cinta berlebihan dari tiga arah. Seperti anak yang diminta memilih salah satu dari tiga orang tuanya, sambil ketiganya saling menampar di ruang tamu.
Kadang-kadang, kota ini seperti penyanyi tua yang diminta menyanyikan lagu suci sambil ditodong senjata. Nadanya gemetar. Liriknya tersendat. Tapi ia tetap bernyanyi, karena ia tahu: hanya suaranya yang tersisa dari semua yang hilang.
Yerusalem adalah pertanyaan yang tidak pernah bisa dijawab dengan referendum. Ia tidak bisa ditentukan nasibnya oleh resolusi PBB atau konferensi damai di hotel bintang lima. Ia bukan soal peta. Ia soal hati. Dan kita telah lama melupakan bagaimana mendengarkan hati, karena terlalu sibuk menghitung suara.
Kita hidup di dunia yang percaya bahwa tembok bisa menyelesaikan masalah. Walakin Yerusalem sudah terlalu lama dipagari, dibentengi, dan dibatasi. Dan yang terjadi hanyalah ini: tembok bertambah tinggi, tapi rasa aman tak pernah bertambah. Mungkin sudah waktunya kita tidak lagi bertanya: “Siapa yang berhak atas Yerusalem?” Tapi: “Apakah kita masih layak tinggal di kota ini?” Karena kota ini, sebagaimana ditulis Armstrong, “hanya akan menjadi suci jika ia dipenuhi keadilan, bukan klaim” (2005: xxii).
Mungkin yang paling layak tinggal di kota ini adalah mereka yang tidak mengklaim apa-apa. Mereka yang hanya ingin hidup damai. Yang hanya ingin membuka jendela dan mencium udara yang tak berbau gas air mata. Yang hanya ingin mencium tanah tanpa takut ditembak. Kepada mereka, kota ini akan membuka diri. Karena kota ini tahu: suci bukanlah status. Ia adalah cara mencintai.
Arkian, Yerusalem tidak bisa dimiliki. Ia hanya bisa dihormati. Ia bukan milik Israel, bukan milik Palestina, bukan milik Vatikan atau UNESCO. Ia milik mereka yang berjalan di lorong-lorongnya dengan penuh cinta, bukan kebencian. Ia milik setiap ibu yang kehilangan anaknya, dan setiap anak yang masih menyimpan kunci rumah yang tak lagi ada. Yerusalem tetap bertahan di akhir segala klaim dan kekuasaan karena doa yang tidak pudur, karena kenangan nan tahu jalan pulang.