Sebuah pohon zaitun berdiri di barat Jenin, renta dan muram. Akarnya menembus sejarah lebih dalam dari segala dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dahannya tak lagi rimbun, tetapi dari celah-celah retaknya mengalir cerita tentang rumah-rumah yang hilang, nyanyian ibu yang tertelan mortir, dan langkah kaki para pengungsi yang enggan lupa.
Anak-anak bermain dengan batu di bawah pohon itu. Mereka tertawa sambil melemparkannya ke langit, seolah sedang mengusir awan yang menolak mengingat. Tidak ada taman bermain, tak ada peluit penjaga, hanya sisa-sisa dinding dan nama-nama yang kini lenyap dari peta resmi.
Nakba bukan sekadar kata. Ia adalah lara yang mengalir dalam darah, menyelinap dalam doa yang lirih di malam tak berbintang. Ia tidak pernah berlalu. Ia hadir dalam tenda yang sobek oleh musim, dalam mata para ibu yang menyembunyikan dunia di balik selimut debu, dalam napas anak-anak yang tidak mengenal rumah selain barak. Ilan Pappé menyebutnya sebagai “pembersihan etnis” (The Ethnic Cleansing). Bukan kebetulan sejarah, bukan kesalahan perang, tetapi program yang dihitung dengan akurat oleh logika pendudukan (Pappé, 2006).
Nakba menjadi pertunjukan keheningan kolektif di dunia yang menyebut dirinya modern. Dunia memilih untuk tidak mendengar, dan dalam kesunyian itu, 750.000 orang diusir dari negeri yang mereka cintai, yang mereka rawat, yang mereka warisi dari tujuh keturunan. Mereka berjalan, menyeberangi lembah dan gurun, bukan sebagai pelancong, tetapi sebagai kehilangan yang berjalan.
Peta di Tubuh Orang Lain
Titimangsa 29 November 1947. Dunia duduk dalam ruangan berpendingin, membagi tanah yang tidak mereka pijak. Resolusi 181 disahkan oleh Majelis Umum PBB, memberikan 56 persen wilayah Palestina kepada komunitas Yahudi yang saat itu hanya sepertiga dari populasi, dan 44 persen sisanya kepada dua pertiga penduduk Arab Palestina. Hal ihwal ini bukan matematika yang adil. Ini adalah politik yang disfungsional; permainan angka di atas tubuh manusia (Khalidi, 2020).
Seorang cendekiawan bernama Yusuf Diya al-Khalidi di Jerusalem menulis surat kepada Theodor Herzl. “Demi nama Tuhan, tinggalkan Palestina sendiri,” tulisnya, tidak dengan kebencian, tetapi dengan harapan yang bersetai-setai sebelum sempat berbunga. Ia mengakui ikatan historis orang Yahudi dengan tanah itu, tetapi ia juga mengingatkan bahwa Palestina bukan tanah kosong. Ada orang-orang yang telah menanam di sana, meninggal di sana, dan menyebutnya rumah. Surat itu tidak sampai ke telinga yang berkuasa. Dalam kebisingan konferensi dan parade diplomasi, suara-suara seperti al-Khalidi dibungkam sebelum sempat berbicara (Khalidi, 2020).
Saat tinta resolusi mengering, truk-truk militer mulai bergerak. Mereka tidak membawa damai, tapi membawa garis batas baru yang tidak dilukis dengan tinta, melainkan dengan darah. Dari Haifa hingga Acre, dari Tiberias hingga Lydda, peta dibentuk ulang, bukan oleh geografi, tapi oleh peluru dan pengusiran. Dunia menyebutnya permulaan.
Nakba sering disebut “konsekuensi perang” di dunia yang menyukai eufemisme. Akan tetapi Ilan Pappé memaksa kita menatap langsung ke inti luka itu: Nakba adalah pembersihan etnis, terencana, sistematis, dan dibingkai dalam dokumen militer bernama Rencana Dalet (Pappé, 2006). Dalam naskah itu, yang tersusun seperti manual manajemen wilayah, tertulis instruksi yang merencam tapi mematikan: “hancurkan pusat-pusat perlawanan”, “bakar rumah”, “usir penduduk”. Ini bukan kegilaan temporer. Ini adalah kebijakan yang dingin dan metodis.
Pasukan bersenjata Zionis Haganah tak hanya menguasai tanah, tapi juga membentuk dunia anyar yang tidak mengakui keberadaan dunia sebelumnya. Desa demi desa dikosongkan. Rumah-rumah dihancurkan. Nama-nama diganti. Di kota Lydda, ribuan warga Palestina dipaksa berjalan kaki ke timur di bawah panas yang membakar, tanpa air, tanpa makanan. Beberapa jatuh, dan tidak pernah bangun lagi. Para perempuan dan anak-anak dibantai di Deir Yassin. Darah bercampur dengan sungai kecil, menjadi saksi yang tak pernah disebut dalam buku pelajaran sejarah Israel.
David Ben-Gurion, tokoh sentral kelahiran negara Israel, pernah berkata tanpa rasa bersalah, “Yang penting bukan apa yang orang Arab katakan, tapi apa yang dilakukan Yahudi.” Kalimat itu seperti palu yang memaku logika penjajahan ke dalam jantung realitas Palestina. Sementara tank dan mortir bergerak di lapangan, dokumen diplomatik menari di meja-meja konferensi, berbicara tentang perdamaian sambil menyembunyikan bau mesiu dari halaman-halamannya.
Seorang nenek menyimpan kunci rumahnya dari desa al-Faluja di kamp Shatila. Kunci itu berkarat, dibungkus dengan kain katun lusuh, diletakkan di bawah bantalnya setiap malam seperti azimat.
Ia tahu rumah itu telah rata dengan tanah, tetapi ia juga tahu bahwa hak bukan sesuatu yang bisa dibuldoser bersama tembok. Kunci bukan sekadar besi tua di kamp-kamp pengungsi. Ia adalah simbol pengingatan, warisan, dan penolakan terhadap narasi yang hendak menghapus mereka.
Dalam Voices of the Nakba, kita membaca kisah tentang roti yang hangus oleh dentuman meriam, tentang tangis anak-anak yang tidak sempat menyapa ayahnya sebelum pintu rumah didobrak (Masalha, 2018). Seorang lelaki dari al-Bassa bersaksi: tentara datang, memisahkan anak dari ibunya, lalu menutup pintu, bukan untuk menjaga, tetapi untuk mengubur bukti bahwa mereka pernah ada.
Resolusi 194 yang disahkan oleh PBB pada Desember 1948 menjanjikan hak pengungsi untuk kembali ke rumah mereka atau menerima kompensasi. Akan tetapi seperti banyak janji internasional, ia menjadi ayat suci yang dibacakan tanpa niat ditegakkan. Israel menolaknya. Dunia mendiamkannya. Maka, para pengungsi Palestina menjadi angka: dinomori, didaftarkan, dibantu untuk bertahan hidup tetapi tidak pernah dibantu untuk pulang (Khalidi, 2020).
Mereka menjadi warga negara dari negara yang tidak diakui. Anak-anak mereka tumbuh dengan nama desa yang tidak ada di peta. Mereka hidup dalam ruang yang disebut “sementara”, tetapi telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade. Mereka tidak hanya terusir dari tanah, tetapi juga dari sejarah. Seperti yang ditulis Lila Abu-Lughod, trauma Nakba itu diwariskan bukan melalui darah, tetapi melalui narasi yang ditolak oleh dunia, tapi dihidupi dalam keluarga (Abu-Lughod, 2002).
Museum Luka Terbuka
Gaza bukan hanya nama tempat. Ia adalah luka yang tak ditutup, nadi yang berdenyut di tubuh sejarah yang dikoyak. Lebih dari dua pertiga penduduknya adalah keturunan langsung pengungsi Nakba di Gaza. Mereka tidak datang dari tempat lain, melainkan diusir dari rumah-rumah mereka yang kiwari berdiri sebagai pangkalan militer atau taman nasional Israel. Jean-Pierre Filiu menyebut Gaza sebagai “wilayah yang tidak dikehendaki siapa pun, tapi memikul luka semua orang” (Filiu, 2014: 3).
Anak-anak di kamp Jabalia belajar mengenali suara F-16 sebelum mereka tahu nama bunga. Mereka menggambar bendera Palestina di pasir pantai, dan menyaksikan gelombang menghapusnya setiap sore, seperti dunia menghapus identitas mereka, berulang, tanpa jeda. Intifada pertama meledak di sini pada 1987, bukan karena ideologi, tetapi karena napas yang ditahan terlalu lama.
Gaza bukan hanya pusat perlawanan. Ia adalah tubuh yang dipenjarakan oleh embargo dan dikuliti oleh algoritma keamanan.
Hari ini, hidup di Gaza berarti menjalani eksistensi yang ditangguhkan. Tidak ada kebebasan bergerak, tidak ada masa depan yang dijanjikan. Hamas berkuasa dalam ruang yang terjepit, Fatah terkunci di Ramallah, dan generasi muda bermain layangan di langit yang dijaga drone. Mereka tumbuh dengan trauma yang bukan mereka pilih, dan Nakba bukan kenangan. Ia adalah kondisi ontologis. Sebagaimana dikatakan Edward Said (2000), “pengasingan adalah tempat di mana Anda terus-menerus berada, meski Anda tidak pernah memilihnya.”
Saat senjata membungkam suara, seni menemukan cara untuk tetap berbicara. Film Jenin, Jenin karya Mohammad Bakri bukan hanya dokumenter. Ia adalah pernyataan eksistensial. Meski dilarang di Israel, film ini terus diputar di ruang-ruang bawah tanah, di laptop-laptop retak milik mahasiswa Palestina, dan di festival-festival kecil yang berani menolak amnesia global. Kamera Bakri menangkap bisu yang lebih nyaring daripada retorika diplomasi (Bakri, 2002).
Di dunia yang mencoba menghapus nama-nama Palestina dari kurikulum, seni menjadi bentuk resistensi yang tidak bisa ditangkap checkpoint. Lukisan Suliman Mansour tentang perempuan tua yang memanggul kampung halamannya di punggungnya itu telah menjelma ikon perjuangan. Sajak Mahmoud Darwish menjelma mantra di bibir yang luka. “Di tanah ini, ada yang layak untuk hidup,” tulisnya (Darwish, 2002). Kalimat itu melintasi dinding, menembus larangan, dan menolak tunduk.
Sejarah tidak selalu ditulis di arsip nasional. Ia hidup dalam lagu yang dilarang, dalam mural di kamp-kamp pengungsi, dalam puisi yang dibacakan melalui Zoom. Anak-anak Palestina tumbuh dengan dua bahasa: satu dari buku sekolah, satu dari cerita neneknya yang tidak bisa ditemukan di peta dunia. Pendidikan menjadi medan tempur baru, di mana pelajaran sejarah diperebutkan antara yang ingin mengingat dan yang ingin menghapus.
Bagi mereka, puisi bukan hiburan, tapi peluru. Gambar bukan estetika, tapi arsip. Suara bukan sekadar gema, melainkan perlawanan terhadap kebisuan yang dilembagakan.
Tatkala dunia memilih untuk tidak melihat, seni Palestina menatap balik: rancung, indah, dan menyakitkan.
Zionisme, Kolonialisme, Politik Penghapusan
Selalu ada cerita yang dikorbankan di balik setiap narasi kemerdekaan. Untuk Zionisme, kisah itu adalah Palestina, sebuah negeri yang tidak diizinkan eksis di peta modernitas kolonial. Rashid Khalidi (2020) menyebutnya dengan lantang: ini bukan konflik antarsuku, bukan pertikaian agama, tapi settler colonialism yang dibungkus dengan moralitas pasca-Holocaust dan didorong oleh dukungan kekuatan besar dunia. Narasi Zionisme dibangun dari satu mitos utama: “a land without a people for a people without a land.” Namun tanah ini tidak pernah kosong. Ia penuh dengan para petani yang menanam zaitun, perempuan yang menyalakan lentera, dan anak-anak yang tahu nama batu dan mata angin.
Penghapusan bukan hanya dalam bentuk pengusiran, tetapi dalam bentuk narasi. Desa-desa Palestina dihapus dari peta, nama-namanya diganti, sejarahnya ditulis ulang oleh para pemenang. Pusat-pusat kebudayaan Palestina dijadikan museum Yahudi. Bahkan pohon-pohon zaitun dicabut dan diganti dengan cemara, tanaman cepat tumbuh, simbol kekuasaan yang tak sabar.
Khalidi membuka arsip keluarganya, membaca ulang surat Yusuf Diya al-Khalidi, dan merangkai narasi tandingan dari serpihan yang nyaris hilang. Ia tidak hanya menulis untuk mengingat, tapi juga untuk menyembuhkan. “Sejarah bukan hanya apa yang terjadi, tetapi siapa yang berhak mengatakannya,” tulisnya (Khalidi, 2020). Saat narasi dominan merayakan kemenangan, sejarah Palestina berdiri sebagai catatan kehilangan yang belum selesai dikisahkan.
Namun sejarah tidak berhenti di bawah puing. Ia menjelma ulang di tubuh generasi muda Palestina yang belum pernah melihat kampung halaman mereka, namun mengenalnya lewat cerita, puisi, dan mural. Wajah-wajah desa yang hilang dilukis kembali di dinding-dinding kamp pengungsi. Puisi dibacakan sebagai deklarasi identitas di ruang-ruang Zoom. Potongan sejarah disebarkan di media sosial, bukan untuk viralitas, tetapi untuk bertahan. Sejarah menjadi medan dekolonial. Ia direbut kembali dari narasi yang dibungkam oleh veto, peluru, dan algoritma.
Para sarjana menyerukan perlunya sejarah yang ditulis dari bawah: dari kamp, dari diaspora, dari luka yang diwariskan. Sejarah Palestina tidak bermula tahun 1948 dan tidak bisa disemenjanakan dalam bingkai keamanan dan diplomasi (Dumper & Badran, 2025). Narasi alternatif ini tidak hanya bertujuan untuk melawan, tapi juga untuk membentuk cara hidup baru. Sebuah epistemologi pengasingan yang tetap bernyawa.
Anak-anak di kamp Ein el-Hilweh, tanpa pernah menginjak tanah leluhurnya, mampu menggambarkan rumah nenek mereka dengan detail yang menyaingi arsitek. Sejarah tidak diturunkan dari buku, tetapi dari pelukan, dari air mata, dari lagu nina bobo. Ketika dunia menyebut mereka sebagai “generasi ketiga pengungsi”, mereka menjawab: kami bukan pengungsi. Kami adalah penjaga pintu rumah yang belum dibuka.
Ironi, Apartheid, Bahasa Kekuasaan
Para pemimpin dunia menyebut krisis ini sebagai “konflik kompleks” di ruang-ruang konferensi internasional. Mereka mengucapkannya dengan dahi berkerut dan nada empatik, seolah sedang memecahkan teka-teki etis. Akan tetapi, apa yang kompleks dari sebuah bangsa yang terusir dari tanahnya, ditolak hak kembalinya, dan dikekang oleh tembok serta hukum militer? Yang kompleks bukan konflik, melainkan cara dunia membenarkannya.
Bahasa menjadi alat pengalihan. Istilah seperti “normalisasi”, “pertukaran wilayah”, atau “solusi dua negara” meluruhkan kedalaman sejarah menjadi jargon diplomatik. “Perdamaian abadi” dijadikan mantra untuk menutupi fakta bahwa perdamaian itu dibangun di atas reruntuhan keadilan. Sementara itu, realitas di lapangan berbicara liyan: lebih dari 700.000 pemukim ilegal di Tepi Barat, pembatasan mobilitas, dan fragmentasi teritorial yang mengubah impian negara Palestina menjadi gurauan geopolitik.
Hukum keamanan menjadi dalih sakral di Israel. Dengan kata “keamanan”, rumah bisa dihancurkan, anak bisa ditahan, dan tanah bisa disita. Mahkamah Agung Israel, yang secara simbolik menjunjung “supremasi hukum”, menolak mengakui Nakba sebagai kejahatan historis. Di sinilah hukum bukan sekadar teks, tetapi alat pembenaran penindasan, atau seperti yang ditulis Roy (2004), “keajaiban modernitas kolonial adalah menjadikan penjajahan tampak legal dan rapi.”
Syahdan, seorang anak menggambar lema “pulang” di atas pasir pantai Gaza. Tangannya kecil, kukunya hitam karena debu, tapi tulisannya jelas. Ombak datang, menghanyutkannya. Dunia melihat, lalu memalingkan wajah. Itulah Palestina hari ini, bukan hanya tempat di peta, tapi luka yang tidak berhenti mengucur karena tak pernah benar-benar diobati.
Ada pameran seni di Ramallah yang berisi ribuan kunci tua dari desa-desa yang dihapus. Mereka tergantung di langit-langit galeri seperti bintang-bintang kecil yang kehilangan langitnya. Setiap kunci menyimpan kisah, dan setiap kisah menyimpan luka. Walakin dunia menyebutnya “instalasi artistik”, bukan bukti sejarah. Trauma dipamerkan, bukan direspon. Palestina menjadi tren, bukan perjuangan; dijual di kaus oblong aktivis, tapi diabaikan dalam kebijakan luar negeri.
Meskipun dunia terus berusaha melupakan, Palestina tetap ada: dalam puisi Darwish, dalam film Bakri, dalam mural di kamp pengungsi, dalam anak-anak yang tidak pernah menginjak rumah neneknya tapi bisa menggambarkannya seolah pernah tinggal di sana. Karena tanah yang diingat, ditangisi, dan diperjuangkan bersama, tidak akan pernah mati.
Mungkin suatu hari nanti dunia akan sadar bahwa tak ada rumah yang bisa dibangun dari reruntuhan bangsa lain. Namun mungkin juga tidak. Mungkin dunia akan terus menutup luka dengan laporan PBB dan algoritma pencarian. Sementara mereka bersulang untuk “normalisasi”, seorang anak di Gaza akan terus menulis kata “pulang” di pasir.
Seperti biasa, ombak akan datang. Dunia akan pura-pura tidak memindai.