Otak lama dan teknologi tercanggih. Itulah Israel. Ia menjajah, aneksasi, datang merebut tanah orang, dan membunuh dengan sadis.
Ada sebuah tempat di peta dunia yang begitu kecil, namun setiap inci tanahnya terasa lebih berat tinimbang benua manapun. Sebuah jalur sempit, 41 kilometer panjangnya, 10 kilometer lebarnya, dipagari tembok beton, kawat berduri, dan menara penjaga. Lautnya diawasi kapal perang, udaranya diawasi drone, tanahnya penuh reruntuhan. Namanya Gaza.
Akan tetapi menyebutnya “Gaza” saja seolah mengkhianati kompleksitas luka yang dikandungnya. Gaza adalah metafora, gambaran yang sempurna dari bagaimana dunia modern memperlakukan mereka yang dianggap surplus: dibiarkan hidup, tetapi dicekik agar tidak pernah berkembang.
Sara Roy. Ia salah satu suara paling konsisten tentang penderitaan ekonomi Gaza. Ia menyebut wilayah ini sebagai “akhir masa kelangsungan hidup” (Roy dalam Dumper & Badran, 2025, hlm. 382). Gaza bukan hanya rudin atau terbelakang. Ia adalah proyek de-development, yaitu sebuah strategi politik di mana segala potensi ekonomi, sosial, dan institusional dipreteli secara sistematis. Sekolah dibangun, lalu dihancurkan. Rumah sakit berdiri, lalu dibom. Listrik menyala hanya beberapa jam sehari, air minum dikontrol dari luar, ikan di laut pun dilarang ditangkap melebihi garis tertentu. Gaza bukan dibiarkan gagal; ia dipaksa untuk gagal.
Inilah ironi yang paling menyakitkan: Gaza tetap hidup, tetapi dengan kehidupan yang dikalkulasi agar hanya sebatas bertahan. Ia seperti tubuh yang sengaja dibuat sakit, tetapi tidak dibiarkan mati agar dunia terus-menerus menyaksikan penderitaan itu, seakan menjadi tontonan moral. Rashid Khalidi (2020) menyebut seluruh tragedi Palestina sebagai “Perang Seratus Tahun” (hlm. 7), perang seratus tahun yang tidak pernah berhenti, hanya berganti bentuk.
Gaza adalah bab paling brutal dari perang panjang itu: ruang di mana perang kolonial abad ke-20 bertransformasi menjadi eksperimen militer abad ke-21.
Bayangkan anak-anak yang lahir di Gaza. Mereka membuka mata pertama kali di dunia yang sudah diputuskan akan menolak mereka. Mereka tumbuh mendengar dengung pesawat tanpa awak di langit, belajar mengeja huruf-huruf alfabet di kelas yang retaknya masih segar karena peluru semalam. Mereka tahu nama-nama senjata sebelum mereka tahu nama-nama bunga. Hidup mereka adalah kehidupan yang dipagari narasi global: keamanan, perang melawan teror, dan kerusakan tak sengaja. Semua kata-kata steril yang dipakai dunia untuk menutupi kenyataan bahwa ada dua juta lebih manusia yang setiap hari dicekik pelan-pelan.
Gaza bukan hanya geografi. Ia adalah cermin dunia. Kita melihat refleksi paling jujur dari abad ini dalam cermin itu: sebuah dunia yang rela menonton reruntuhan rumah sakit dan sekolah, menghitung jumlah korban, membuat laporan, tapi jarang benar-benar bergerak untuk menghentikannya. Gaza adalah luka yang terbuka. Luka yang terus ditonton. Luka yang membusuk di hadapan mata kita semua.
Genealogi Kekerasan
Sejarah Gaza adalah hikayat pengungsian dan penyempitan. Tahun 1948, tatkala bencana besar Nakba meletus, lebih dari 700.000 orang Palestina diusir dari desa dan kota mereka. Ratusan desa dihancurkan agar tidak bisa kembali dihuni. Gaza, yang sebelumnya hanyalah jalur pesisir kecil, tiba-tiba dijejali oleh lebih dari 200.000 pengungsi dari wilayah Palestina yang kiwari menjadi bagian dari Israel. Kamp-kamp pengungsi tumbuh di Rafah, Khan Younis, dan Jabalia. Awalnya berupa tenda, lalu berganti menjadi barak-barak permanen, seolah dunia diam-diam mengakui bahwa pengungsian ini bukan sementara, melainkan permanen.
Khalidi (2020) mengingatkan bahwa sejak awal, penggusuran ini bukanlah efek samping perang, melainkan tujuan utama dari proyek kolonial pemukim Zionis: “untuk menciptakan negara Yahudi dengan mengusir penduduk asli” (hlm. 37). Gaza, sejak hari-hari pertama Nakba, sudah menjadi wadah dari “mereka yang disingkirkan”. Mereka yang kehilangan rumah di Jaffa, Haifa, Ashkelon, dan Beersheba menemukan diri mereka berdesakan di jalur sempit yang kiwari bernama Gaza Strip.
Lalu datang tahun 1967. Perang Enam Hari mengubah peta politik kawasan secara dramatis. Israel menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza. Awad Mansour menulis bahwa pada 1967 bukan sekadar pendudukan militer, tetapi sebuah “pembedahan administratif” yang membagi-bagi wilayah Palestina ke dalam rezim izin, pembatasan, dan kontrol ketat (Dumper & Badran, 2025, hlm. 131). Hal ihwal ini di Gaza berarti izin keluar-masuk yang diawasi, sumber daya alam yang diambil alih, dan sistem keamanan yang menempatkan seluruh penduduk di bawah bayang-bayang tentara.
Intifada pertama, yang dimulai pada 1987, lahir dari jalanan Gaza. Anak-anak, remaja, ibu rumah tangga. Semua ikut serta dalam gelombang perlawanan sipil yang paling masif dalam sejarah Palestina. Batu yang dilemparkan melawan tank menjadi simbol global perlawanan yang tak seimbang. Akan tetapi respons Israel justru memperkuat jeratan: Gaza semakin dipandang sebagai “kantong masalah” yang harus dikelola dengan tangan besi.
Intifada kedua (2000-an) menambah luka. Serangan bunuh diri, operasi militer, dan pembunuhan massal menghancurkan apa yang tersisa. Tahun 2007, setelah Hamas mengambil alih Gaza, Israel dengan dukungan Mesir dan restu diam dunia internasional memberlakukan blokade total.
Sejak saat itu, Gaza bukan hanya diduduki, melainkan dikurung. Blokade ini berarti hampir semua barang yang masuk dan keluar Gaza ditentukan oleh Israel. Semen untuk membangun rumah, bahan bakar untuk listrik, bahkan makanan tertentu. Semuanya menjadi bagian dari daftar kontrol.
Blokade adalah bentuk paling terang dari strategi de-development. Khalidi (2020) meneroka bahwa tujuan kebijakan Israel sejak Oslo adalah mencegah bangsa Palestina membangun institusi negara yang berfungsi: “Mencegah Palestina untuk membangun institusi, ekonomi, dan kedaulatan” (hlm. 145). Gaza, dalam konteks ini, menjadi eksperimen paling ekstrem: sebuah ruang di mana negara diciptakan untuk tidak pernah bisa ada.
Namun, sejarah Gaza juga adalah hikayat ketahanan. Meski terhimpit, meski terkepung, Gaza tetap melahirkan perlawanan, seni, puisi, dan solidaritas. Dari kamp-kamp pengungsi lahir generasi anyar yang menolak melupakan tanah asal mereka. Dari jalan-jalan sempit, anak-anak tetap belajar mengeja kata “kemerdekaan” meski dikepung tembok. Dari reruntuhan rumah, keluarga tetap memasak, berbagi, dan bertahan.
Gaza adalah paradoks: ia adalah kuburan hidup sekaligus rahim perlawanan. Ia adalah bukti paling telanjang dari kolonialisme modern: bukan hanya merebut tanah, tetapi merekayasa kegagalan sistemik agar sebuah bangsa kehilangan daya hidup. Gaza adalah luka sejarah, tetapi juga nadi yang terus berdenyut, meski setiap denyutnya berusaha dicekik oleh blokade, bom, dan kebijakan internasional yang berpura-pura netral.
Senjata Politik
Ada kata yang lahir dari reruntuhan Gaza, kata yang jarang kita dengar dalam diskursus pembangunan, tetapi di sanalah ia menemukan makna paling getirnya: de-development. Bukan sekadar kemiskinan, bukan sekadar keterbelakangan. De-development adalah proyek politik yang disengaja. Sebuah bentuk kekerasan yang tidak menembakkan peluru, tetapi lebih mematikan: ia mengikis perlahan fondasi ekonomi, menghancurkan institusi sosial, dan merampas masa depan.
Sara Roy, ekonom yang sepanjang hidupnya meneliti Gaza, menegaskan bahwa de-development berarti “pembongkaran yang disengaja dan sistematis terhadap kemampuan suatu bangsa untuk mempertahankan diri” (Roy dalam Dumper & Badran, 2025, hlm. 382). Inilah inti kebijakan Israel terhadap Gaza: bukan hanya memenjarakan tubuh, tetapi juga membunuh kemungkinan. Gaza tidak diizinkan tumbuh, melainkan dipelihara dalam kondisi setengah hidup. Cukup agar tidak mati total, cukup agar dunia tak bisa menuduh genosida langsung, tetapi juga cukup hancur agar mustahil mandiri.
Blokade yang diberlakukan sejak 2007 adalah wujud paling konkret dari strategi ini. Setiap truk yang masuk Gaza harus melewati daftar panjang izin dan larangan. Bahan bangunan seperti semen, baja, bahkan kayu, ditahan dengan alasan “penggunaan ganda” yang dikhawatirkan dipakai untuk membangun terowongan atau roket. Akan tetapi akibatnya, rumah-rumah yang hancur setelah pengeboman tidak bisa diperbaiki. Listrik menyala hanya empat jam sehari. Air minum lebih asin tinimbang laut karena penyulingan terbatas. Rumah sakit kekurangan obat-obatan, operasi medis dilakukan dalam kondisi darurat yang nyaris absurd. Roy menyebut kondisi ini sebagai “kebijakan penindasan nan terencana” (Roy dalam Dumper & Badran, 2025, hlm. 384).
Lebih dari itu, de-development menjadikan Gaza sebagai ekonomi yang terkunci. Hampir semua ekspor dilarang. Petani tidak bisa menjual hasil panen mereka, nelayan tidak bisa melaut lebih dari enam mil, dan industri kecil hancur karena pasar diputus dari dunia luar. Gaza berubah menjadi ruang bergantung: bergantung pada bantuan internasional yang jumlahnya pun dikontrol, bergantung pada izin Israel untuk berobat, belajar, atau bekerja di luar.
Gaza dipaksa berada dalam kondisi di mana ia selalu suak, bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak diizinkan berhasil.
Brendan Browne (2023) menyebut situasi ini sebagai “ketenangan yang dipaksakan melalui struktur kekerasan” (hlm. 17). Gaza dijadikan laboratorium di mana kekerasan dipoles sebagai keamanan, dan penghancuran sistemik dibungkus dengan retorika perdamaian. Dunia internasional pun ikut bermain dalam sandiwara ini. Setiap kali Gaza hancur dibom, donor internasional berjanji membangun kembali. Walakin setiap kali pula, rumah yang baru dibangun akan kembali runtuh dalam serangan berikutnya. Siklus ini melahirkan apa yang Lori Allen (2020) sebut sebagai false hope, yakni harapan palsu yang diproduksi oleh komisi internasional, laporan PBB, dan konferensi donor, seolah dunia peduli, padahal sistem penghancuran dibiarkan berlanjut (hlm. 3-5).
De-development adalah senjata politik karena ia menargetkan sesuatu yang lebih dalam daripada tubuh manusia: ia menargetkan kemungkinan kolektif. Ia menghancurkan kemampuan masyarakat untuk bermimpi, untuk merencanakan masa depan. Ia menjadikan seluruh generasi muda Palestina tumbuh dalam kondisi di mana pendidikan tinggi terasa sia-sia, karena peluang kerja nyaris nihil. Ia mengubah setiap upaya pembangunan menjadi sia-sia, setiap mimpi menjadi reruntuhan.
Lebih kejam lagi, strategi ini menormalisasi penderitaan. Ketika Gaza hidup dalam kondisi “darurat permanen”, maka dunia luar mulai melihat penderitaan itu sebagai perihal biasa. Browne (2023) menulis bahwa Gaza “terperangkap dalam siklus ketidakpastian yang dipaksakan, di mana hukum itu sendiri menjadi bagian dari upaya mempertahankan pendudukan.” (hlm. 56). Hukum internasional dengan kata liyan bukan sekadar gagal melindungi Gaza; ia menjadi alat yang menjustifikasi pengepungan, karena setiap laporan hanya menghasilkan rekomendasi tanpa tindakan.
Mari kita bayangkan: andai sebuah generasi lahir, tumbuh, dan mati dalam kondisi yang sama, apakah itu masih disebut kehidupan, ataukah sebuah penundaan kematian? Gaza menjawabnya dengan tubuh-tubuh yang terus berjatuhan, dengan ekonomi yang terus dibongkar, dengan institusi sosial yang terus dipreteli.
Ironinya, semua itu dilakukan dengan kalkulasi politik yang dingin, antun, dan metodis.
Gaza, dengan demikian, bukan sekadar korban perang. Ia adalah korban dari sebuah kebijakan global yang menjadikan de-development sebagai senjata paling efektif untuk menundukkan sebuah bangsa. Karena peluru bisa menghabisi tubuh, tetapi de-development bisa mematikan harapan.
Laboratorium Kekuasaan Kolonial
Ada tempat-tempat di dunia di mana senjata baru diuji, strategi militer dikalibrasi, dan doktrin peperangan disempurnakan. Gaza adalah salah satunya. Namun berbeda dari pangkalan uji coba militer di gurun Arizona atau padang pasir Negev, Gaza bukanlah lahan kosong tanpa manusia. Gaza adalah rumah bagi lebih dari dua juta orang. Di sinilah letak kekejaman yang paling absurd: kehidupan sehari-hari rakyat sipil dijadikan laboratorium kolonial, tempat di mana militerisme modern menguji batas daya tahan manusia.
Sejak lama, Israel memperlakukan Gaza bukan hanya sebagai “ancaman”, tetapi sebagai lahan uji coba. Alan Dowty (2019) mencatat doktrin militer yang dikenal sebagai “Dahiya Doctrine”, dinamai dari distrik Beirut yang dihancurkan total tahun 2006. Inti doktrin ini adalah penggunaan kekuatan tidak proporsional: menghancurkan infrastruktur sipil sedemikian rupa sehingga masyarakat sipil ikut menanggung penderitaan kolektif, dengan harapan mereka akan berbalik menentang kelompok perlawanan (hlm. 389). Gaza menjadi panggung utama penerapan doktrin ini, dari serangan 2008-2009, 2014, hingga 2021 dan seterusnya. Rumah, sekolah, rumah sakit, bahkan pembangkit listrik. Semuanya masuk senarai target.
Omer Bartov (2023) meneroka dengan getir bahwa ada paradoks sejarah di sini: bangsa yang lahir dari trauma Holocaust justru membalikkan ingatan penderitaan menjadi legitimasi untuk menindas orang lain (hlm. 151-153). Trauma kolektif yang seharusnya melahirkan solidaritas terhadap yang tertindas, justru dipakai untuk menjustifikasi pendudukan. Gaza, dalam logika ini, bukan dilihat sebagai komunitas manusia, melainkan sebagai “ruang ancaman” yang sah untuk dihancurkan berulang kali. Bartov menyebutnya “normalisasi kejahatan keji”, sebuah kondisi di mana kekerasan ekstrem dipandang sebagai operasi rutin (hlm. 173).
Kekerasan di Gaza juga memperlihatkan apa yang oleh Barnett, Brown, Lynch, & Telhami (2023) ditahbiskan sebagai “satu realitas negara”. Kenyataan satu negara di mana Israel menguasai seluruh wilayah dari Laut Tengah hingga Sungai Yordan, dengan rezim hukum berbeda untuk kelompok yang berbeda (hlm. 2-3). Gaza adalah bentuk ekstrem dari apartheid ini: sebuah enklave di mana seluruh penduduknya dikategorikan sebagai “musuh potensial”, dipisahkan total dari tubuh politik negara yang menguasai mereka. Tidak ada hak warga negara, tidak ada kebebasan bergerak, bahkan udara pun dikontrol dari luar.
Lebih jauh lagi, Gaza dijadikan arena eksperimental untuk kapitalisme pengawasan dan teknologi kontrol populasi. Brendan Browne (2023) mendedah bahwa “hukum itu sendiri menjadi bagian dari infrastruktur dominasi” (hlm. 56). Setiap izin perjalanan, setiap daftar barang yang masuk, setiap sensor yang dipasang di perbatasan bukan sekadar alat hukum, melainkan instrumen kolonial. Gaza, dengan demikian, bukan hanya ruang yang diduduki, melainkan ruang yang “diproduksi” untuk gagal, lalu dijadikan laboratorium global untuk pengetahuan militer dan politik.
Hasilnya adalah sebuah siklus yang seolah tidak berujung: Gaza dihancurkan, dunia internasional menyuarakan keprihatinan, donor internasional menjanjikan rekonstruksi, lantas Gaza dihancurkan lagi. Lori Allen (2020) menyebutnya siklus “harapan palsu”, di mana investigasi internasional dan janji-janji keadilan hanya berfungsi sebagai jeda teatrikal, tanpa pernah menghentikan mesin penghancuran (hlm. 210-215).
Gaza menjadi contoh sempurna dari apa yang Giorgio Agamben sebut sebagai state of exception, sebuah ruang di mana hukum tidak berlaku, dan justru ketiadaan hukum itulah yang dipertahankan sebagai norma.
Gaza di balik tembok ialah kota eksperimen: tentang bagaimana sebuah bangsa bisa dikelola melalui kehancuran permanen. Percobaan tentang bagaimana de-development bisa dijadikan kebijakan resmi. Eksperimen perihal bagaimana dunia bisa membiarkan laboratorium kekerasan ini berjalan tanpa intervensi berarti, sambil tetap berbicara tentang “proses perdamaian”.
Logika kolonial paling tua di sini bertemu dengan teknologi paling anyar. Dari Napalm ke drone, dari doktrin “tanah hangus” kolonial ke smart bombs abad ke-21. Gaza, dengan tubuh-tubuh manusianya, dijadikan arena uji coba. Dunia, seperti seorang ilmuwan sinis, mencatat statistik korban sebagai data, bukan tragedi.
Maka Gaza tidak hanya sekadar ruang perlawanan. Ia adalah ruang peringatan: bahwa kolonialisme belum mati, ia hanya berganti pakaian. Dari ladang tebu di Karibia, dari tambang di Kongo, kiwari kolonialisme menemukan laboratorium baru di Jalur Gaza. Selama eksperimen ini dibiarkan berlanjut, dunia akan terus belajar bagaimana cara menghancurkan sebuah bangsa. Bukan dengan membunuh sekaligus, melainkan dengan menjadikan hidup mereka musykil.
Tarikh | 04.06.2021
Dengan apa orang bisa membedakan diri mereka dari orang lain, dan pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu?
Tarikh | 22.09.2017
Tarikh | 09.10.2017