Tanah tidak pernah kosong. Ia selalu penuh dengan manusia, ingatan, sejarah, doa, darah, dan cinta. Itulah Palestina
Cahaya matahari menempel di daun zaitun, di sebuah sore yang perlahan merayap di lembah Palestina akhir abad ke-19. Ia memantul di kubah masjid kecil, dan merembes ke pasar di mana orang-orang menawar gandum, kain, dan rempah. Anak-anak berlari di antara rumah-rumah batu berwarna kapur, sementara suara azan bersahutan dengan dentang lonceng gereja.
Palestina bukanlah ruang kosong. Ia adalah denyut hidup yang riuh rendah, penuh jejak kaki dan doa. Namun, dalam imajinasi sebagian kaum Zionis awal, tanah ini dibayangkan sebagai tabula rasa, sebuah kertas kosong menunggu tinta impian mereka.
Ungkapan yang begitu masyhur, “a land without a people for a people without a land”, lebih dari sekadar slogan. Ia adalah mantra politik yang menolak kenyataan, membungkus kolonialisme dalam pakaian utopia. Kata-kata itu menyulap Palestina menjadi lanskap kosong, seakan-akan para petani, penggembala, pedagang, dan para penghuni desa-desa Arab hanyalah bayangan yang bisa dihapus dari peta. Di sinilah letak luka yang terus berdarah: bagaimana sebuah mitos bisa melahirkan sejarah yang menyingkirkan.
Cendekiawan Jean Améry, penyintas Holocaust yang menulis dengan nada getir di Eropa pascaperang, memahami bahwa Zionisme lahir bukan hanya dari impian, melainkan juga dari ketakutan kolektif yang dipupuk oleh antisemitisme modern. Baginya, menolak eksistensi Yahudi berarti membuka pintu pada kebiadaban liyan (Améry, 2022). Akan tetapi ia juga menyadari bahwa setiap proyek yang lahir dari rasa cuak berpotensi melahirkan bayangan baru, termasuk pengabaian terhadap mereka yang sudah lebih dulu mendiami tanah itu.
Esai ini menelusuri mitos tanah kosong yang menjadi fondasi simbolik bagi sebagian narasi Zionis awal. Saya meneroka akar kolonialnya, menyingkap realitas demografis Palestina, serta mengurai bagaimana gagasan itu yang sebenarnya semenjana namun berbahaya karena membentuk konflik yang tidak kunjung usai.
Imajinasi Zionis
Zionisme tidak lahir dalam ruang hampa. Ia muncul dari rahim Eropa abad ke-19, tempat nasionalisme berkembang sebagai agama anyar yang menjanjikan keselamatan lewat tanah air, bendera, dan bahasa. Bagi orang Yahudi, yang berabad-abad ditempatkan di pinggiran sejarah Eropa, nasionalisme menawarkan janji pengakuan sekaligus menegaskan keterasingan mereka. Antisemitisme modern yang tidak hanya berbentuk ejekan atau diskriminasi, melainkan juga ideologi rasial yang sistematis, menjadi bahan bakar bagi pencarian tanah air baru (Penslar, 2023).
Theodor Herzl, jurnalis Wina yang menjadi “nabi” bagi Zionisme politik, memandang Palestina sebagai panggung tempat bangsa Yahudi bisa menulis ulang takdirnya. Dalam novelnya Altneuland (1902), ia melukiskan sebuah negeri utopis di mana teknologi, modernitas, dan harmoni sosial bertemu di atas tanah yang dianggap “kosong” dari sejarah lain. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh Dekel Peretz (2022), karya itu tidak hanya utopia; ia juga mengandung gema kolonialisme Jerman, dengan imajinasi tentang “menyembuhkan tanah degeneratif” melalui sains, koperasi, dan rasionalitas Barat.
Kolonialisme menjadi bingkai diam-diam dari proyek Zionis awal. Saat Eropa membagi-bagi Afrika dan Asia, Zionisme belajar bahasanya: “eksplorasi”, “pemulihan”, dan “peradaban”. Kongres Zionis keempat di London (1900) bahkan dikelilingi oleh atmosfer imperialisme Inggris yang saat itu sedang berperang di Afrika Selatan (Berkowitz, 2004). Zionisme tampil di tengah hiruk-pikuk anglicisasi Yahudi Inggris sebagai bentuk nasionalisme anyar yang menyerap simbol, mitos, bahkan estetika kolonial.
Walakin akar mitos “tanah tanpa rakyat” tidak hanya bersumber dari kolonialisme Eropa. Ia juga berakar pada kerinduan religius dan romantisisme eksil Yahudi. Zaitun dan Yerusalem bukan sekadar tanah; mereka adalah metafora pulang, doa yang berulang dalam liturgi. Zionisme memadukan hasrat religius ini dengan logika modern nasionalisme. Hasilnya adalah sebuah narasi yang tampak tak terbantahkan: bahwa orang Yahudi “kembali” ke tanah leluhurnya. Yang dilupakan adalah kenyataan bahwa “kembali” ini berarti “mengosongkan” orang lain dari peta.
Penslar (2023) menahbiskan Zionisme sebagai “an emotional state”, yaitu sebuah emosi kolektif yang lahir dari campuran cinta, trauma, ketakutan, dan hasrat akan pengakuan. Mitos tanah kosong menjadi salah satu wujud paling konkret dari emosi itu. Ia adalah strategi melupakan: dengan membayangkan tanah tanpa rakyat, Zionisme awal bisa meyakinkan diri bahwa proyeknya bukan penaklukan, melainkan penebusan. Namun seperti semua mitos, ia tidak bisa selamanya menutupi kenyataan.
Palestina Sebelum Zionisme
Sebelum lema “Zionisme” menjadi nyanyian di aula Basel dan London, Palestina telah lama menjadi rumah bagi banyak kehidupan. Jalan-jalan di Yerusalem dipenuhi pedagang dari Aleppo dan Kairo, desa-desa di Galilea bergantung pada panen zaitun, sementara Jericho masih memelihara kurma yang dipuji dalam kitab-kitab kuno. Tidak ada ruang kosong. Ada petani yang menggali tanah dengan cangkul, ada perempuan yang menumbuk gandum, ada anak-anak yang berlari di ladang gandum. Ada bahasa Arab yang menyatu dengan doa, ada Kristen Arab yang merayakan Paskah di Gereja Makam Kudus, ada Badui yang berpindah-pindah dengan unta mereka. Palestina adalah mosaik kehidupan yang kaya, bukan kanvas putih yang menunggu dilukis oleh tangan asing.
Akan tetapi, dalam narasi Zionisme awal, semua ini sering dipinggirkan, bahkan dihapus. Doktrin “tanah tanpa rakyat” menjadikan penduduk asli sebagai siluet samar di tepi panggung. Penslar (2023) menegaskan bahwa Zionisme, seperti semua nasionalisme modern, bekerja melalui emosi, lewat cinta dan kerinduan, tetapi juga rasa cuak dan denial. Klaim bahwa tanah itu kosong adalah strategi psikologis: ia memungkinkan kaum Zionis menghindari pertanyaan etis tentang penggusuran dan konflik dengan penduduk yang sudah ada (hlm. 2-4).
Kenyataan demografis di sisi liyan menunjukkan hal sebaliknya. Sensus Turki Utsmaniyah pada abad ke-19 memperlihatkan adanya populasi Arab-Muslim, Kristen, dan komunitas Yahudi kecil yang sudah berabad-abad tinggal di sana. Kota-kota seperti Jaffa dan Haifa bukanlah reruntuhan; mereka adalah pelabuhan yang sibuk, tempat perdagangan dengan Eropa semakin berkembang. Para sarjana seperti Berkowitz (2004) menyoroti bagaimana Zionis awal justru harus berhadapan dengan keberadaan komunitas lokal ini. Namun untuk membangun legitimasi, mereka memilih mitos alih-alih realitas.
Oppenheimer, seorang sosialis Jerman yang kemudian terlibat dalam proyek kolonisasi agraria, bahkan menggambarkan Palestina sebagai tanah yang “degeneratif” yang perlu “disembuhkan” melalui sains dan koperasi Yahudi (Peretz, 2022, hlm. 193). Narasi ini mencerminkan bias kolonial Eropa: tanah didefinisikan bukan oleh mereka yang menggarapnya, tetapi oleh kacamata penakluk yang menilai siapa yang pantas disebut “pemilik sah”.
Di balik mitos tanah kosong terdapat paradoks. Zionisme mengklaim “menghidupkan kembali tanah mati”, padahal tanah itu tidak pernah mati. Ia hanya tidak sesuai dengan visi kapitalisme modern atau estetika kolonial Eropa. Petani Palestina yang menanam gandum tidak dianggap sebagai bukti kehidupan, melainkan sebagai tanda keterbelakangan yang harus “diperbarui”. Dengan demikian, penghapusan bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga epistemik. Cara tertentu untuk tidak melihat, untuk menutup mata pada realitas yang nyata.
Améry (2022) memberi kita lensa lain. Sebagai penyintas Holocaust, ia memahami Zionisme sebagai kebutuhan eksistensial: sebuah jawaban terhadap dunia yang terus menolak Yahudi. Akan tetapi bahkan ia tidak bisa menutup mata pada dilema moral yang muncul tatkala suatu bangsa mencari keselamatan dengan menolak keberadaan bangsa lain. Dalam esainya, ia mencatat bagaimana anti-Zionisme kadang menyamar sebagai kritik progresif, padahal sering menyimpan antisemitisme lama. Namun pada saat yang sama, ia mengakui ada tragedi ganda: keinginan untuk hidup aman bagi Yahudi bisa berkelindan dengan penghapusan suara Palestina.
Narasi “tanah kosong” dengan demikian berfungsi sebagai jembatan. Ia menjembatani impian dan realitas, menyamarkan ketegangan antara mitos dan fakta. Ia memungkinkan Herzl dan para pemikir Zionis awal untuk bermimpi tentang Altneuland tanpa harus berhadapan dengan orang-orang yang sudah menanam akar di sana. Namun, sebagaimana semua mitos kolonial, ia tidak bisa bertahan lama.
Franz Oppenheimer dan Eksperimen Kolonisasi
Bayangkan sebuah ladang di Jezreel Valley pada awal abad ke-20. Matahari Palestina menimpa tanah yang dibajak dengan keras, sementara sekelompok pemuda Yahudi, kebanyakan datang dari Eropa Timur, menanam benih dengan tekad yang lahir dari luka diaspora. Mereka menyebut tanah ini Merhavia (“ruang luas”), sebuah simbol dari mimpi tentang kehidupan baru. Walakin di kejauhan, petani Arab Palestina yang telah berabad-abad menggarap tanah itu memandang dengan kebingungan dan menaruh syak.
Franz Oppenheimer, seorang dokter dan sosiolog Jerman, memainkan peran penting di sini. Ia adalah intelektual sosialis yang percaya pada kekuatan koperasi. Bagi Oppenheimer, kolonisasi agraria Yahudi adalah eksperimen sosial: cara untuk membuktikan bahwa Yahudi, sering dicemooh sebagai pedagang atau intelektual kota, mampu bekerja dengan tanah, memeras keringat, dan membangun ekonomi yang mandiri. Dekel Peretz (2022) mencatat bahwa Oppenheimer membayangkan koperasi sebagai bentuk liberal socialism, sebuah jalan ketiga antara kapitalisme dan komunisme, dan ia melihat Palestina sebagai laboratorium untuk ide tersebut (hlm. 25-31).
Namun eksperimen itu tidak pernah steril. Tanah Palestina bukan ruang laboratorium kosong. Ia penuh dengan sejarah kepemilikan, sistem sewa tanah Turki Utsmaniyah, dan para petani Arab yang hidup darinya. Untuk membuat Merhavia berjalan, kaum Zionis harus berhadapan dengan dilema tenaga kerja: apakah mereka akan mempekerjakan buruh Arab yang lebih murah, ataukah mereka akan konsisten dengan ide “penebusan tanah” melalui tenaga Yahudi semata? Konflik ini melahirkan prinsip Zionisme agraria: avoda ivrit (tenaga kerja Yahudi). Dengan demikian, proyek yang semula dibungkus idealisme koperasi berubah menjadi strategi eksklusivitas etnis.
Penslar (2023) menekankan bahwa Zionisme bukan sekadar program politik, tetapi juga sebuah emotional state. Dalam konteks Merhavia, cinta pada tanah berubah menjadi kebutuhan untuk menguasainya sepenuhnya; rasa cuak terhadap antisemitisme di Eropa bertransformasi menjadi ketidakpercayaan terhadap tetangga Arab. Emosi kolektif inilah yang menjadikan eksperimen Oppenheimer bukan sekadar soal ekonomi, melainkan proyek kolonial dengan wajah sosialisme.
Ironisnya, Oppenheimer sendiri membayangkan kolonisasi sebagai jalan damai. Ia menulis tentang kemungkinan hidup berdampingan, tentang kosmopolitanisme yang mampu menjembatani perbedaan identitas (Peretz, 2022, hlm. 235-241). Akan tetapi “perbedaan” itu dalam praktik justru ditata ulang dengan logika kolonial: Yahudi sebagai agen modernitas, Arab sebagai representasi stagnasi. Bahasa medis yang ia gunakan “menyembuhkan tanah degeneratif” yang mencerminkan bagaimana kolonialisme Eropa mengobjektifikasi wilayah jajahan.
Berkowitz (2004) menunjukkan bahwa sejak awal, Zionisme tidak pernah steril dari simbol dan praktik kolonial. Proyek agraria bukan hanya soal panen dan irigasi, tetapi juga bagian dari mobilisasi etnis yang lebih luas: membangun identitas nasional melalui tanah, kerja, dan eksklusi. Merhavia menjadi miniatur konflik yang kelak membesar: bagaimana sebuah komunitas yang mencari keselamatan justru mereproduksi struktur kolonial terhadap yang lain.
Améry (2022) memberi refleksi pahit tentang dilema ini. Ia menulis bahwa Zionisme lahir dari kebutuhan eksistensial: setelah Auschwitz, bagi Yahudi, tanah dan negara bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Namun ia juga mengakui bahwa dalam kebutuhan itu ada “batas solidaritas” dengan orang lain, terutama dengan rakyat Palestina yang dipinggirkan. Merhavia, dengan segala idealismenya, memperlihatkan batas itu sejak awal.
Zionisme sebagai Emosi dan Ideologi
Zionisme bukan sekadar program politik; ia adalah getaran batin. Sebuah emosi kolektif yang lahir dari luka panjang diaspora. Ia hidup dalam tubuh umat Yahudi sebagai rasa gentar sekaligus kerinduan: cuak diasingkan lagi, rindu memiliki rumah sendiri.
Penslar (2023) menegaskan bahwa Zionisme sebaiknya dipahami bukan hanya sebagai ideologi, tetapi sebagai “an emotional state”, yakni sebuah keadaan emosional yang mengikat individu ke dalam komunitas melalui cinta, solidaritas, dan rasa cuak yang sama (hlm. 1-4). Kata Zion sendiri lahir dari bahasa liturgi yang penuh emosi: doa tentang pulang, nyanyian tentang bukit suci, kerinduan perihal Yerusalem. Dari Hibat Tsionhingga Ahavat Yisrael, Zionisme mengusung bahasa hati.
Améry (2022), seorang penyintas yang menulis dari reruntuhan Eropa pasca-Holocaust, menyebut dirinya sebagai “catastrophe Jew”. Bagi Améry, Zionisme adalah jawaban eksistensial terhadap kengerian yang tidak pernah benar-benar berakhir. Namun, ia juga melihat dilema: bagaimana mungkin sebuah gerakan yang lahir dari luka bisa menghindari melukai yang liyan?
Emosi Zionisme adalah paradoks. Ia di satu sisi adalah cinta yang memelihara solidaritas internal. Di sisi lain, ia adalah rasa cuak yang mendorong eksklusivisme. Ketika para pemuda Zionis membangun koloni agraria, mereka tidak hanya menanam gandum; mereka juga menanam rasa rambang.
Berkowitz (2004) mengingatkan bahwa sejak awal, mobilisasi etnis Yahudi tidak pernah steril dari simbol-simbol emosional: nyanyian Hatikvah, ritual baru, dan mitologi tentang tanah air (hlm. 3-5). Simbol-simbol itu menjadi cara untuk menanamkan perasaan kebersamaan yang melampaui geografi. Zionisme menjadi semacam liturgi sekuler, doa politik yang menggantikan doa religius.
Namun, setiap emosi yang begitu intens juga memiliki bayangan. Zionisme, sebagai ideologi yang dibangun di atas cinta dan rasa cuak, tidak bisa menghindari transformasi mitos menjadi justifikasi. “Tanah tanpa rakyat” adalah mekanisme psikologis: dengan meniadakan orang Palestina dari imajinasi, Zionisme bisa menjaga emosi kolektifnya tetap murni, tanpa rasa bersalah.
Améry (2022) menulis ihwal “batas solidaritas”, sebuah titik di mana penderitaan satu bangsa berhenti menjadi jembatan, dan malah menjadi tembok. Di situlah Zionisme menemukan kontradiksi paling dalam: ia ingin menjadi rumah bagi yang diasingkan, tetapi dalam prosesnya mengasingkan yang lain.
Kritik dan Resistensi
Tidak ada mitos yang berdiri tanpa perlawanan. Di balik slogan “tanah tanpa rakyat” selalu ada suara-suara yang menolak.
Bagi banyak Yahudi di Eropa Timur, terutama Bund, nasionalisme Yahudi tidak berarti kembali ke Palestina, melainkan memperjuangkan otonomi budaya di tanah di mana mereka sudah hidup. Bund menolak gagasan tanah kosong, melihatnya sebagai pengalihan dari perjuangan nyata melawan antisemitisme dan eksploitasi kapitalis (Penslar, 2023, hlm. 2–3).
Oppenheimer sendiri berusaha memadukan Zionisme dengan kosmopolitanisme. Akan tetapi banyak pemikir kiri Yahudi melihat Zionisme sebagai penyimpangan. Améry (2022) mengingatkan bahwa kritik kiri terhadap Zionisme sering lahir dari semangat universal, meski kadang diselubungi antisemitisme lama (hlm. 41-46).
Yang paling keras menolak mitos tanah kosong tentu saja rakyat Palestina sendiri. Mereka yang hidup di desa-desa, bekerja di ladang, berdagang di pasar, atau menjaga kebun zaitun, menyadari bahwa narasi Zionisme awal menganggap mereka tidak ada. Berkowitz (2004) menekankan bahwa resistensi Palestina adalah bagian dari gelombang besar perlawanan antikolonial (hlm. 2-4).
Améry (2022) menulis tentang “batas solidaritas”: penderitaan Yahudi yang begitu mendalam kadang berhenti menjadi jembatan bagi penderitaan lain (hlm. 74). Bangsa Yahudi yang berabad-abad mengalami penolakan menemukan rumah, tetapi rumah itu dibangun dengan menyangkal rumah bangsa lain.
Implikasi Historis dan Kontemporer
Mitos bukanlah sekadar cerita masa lampau; ia adalah mesin yang terus bekerja.
Penslar (2023) menegaskan bahwa Zionisme berkembang dalam pola kolonial yang menempatkan penduduk asli sebagai “yang tidak terlihat” (hlm. 67-72). Nakba 1948, dengan pengusiran lebih dari 700.000 orang, adalah perwujudan konkret mitos tanah kosong.
Nakba membuktikan tanah itu penuh rakyat karena jika kosong, tidak perlu ada pengusiran. Berkowitz (2004) mendedah bahwa nasionalisme Yahudi sejak awal bergerak melalui mitos yang membentuk kesadaran kolektif. Nakba adalah ritual kekerasan yang mengubah rakyat nyata menjadi absensi permanen.
Narasi tanah kosong masih bergaung hingga kiwari: dalam peta sekolah yang menghapus kata Palestina, dalam kebijakan pemukiman anyar yang menganggap tanah dapat diambil karena “tak bertuan” (Peretz, 2022, hlm. 249-256).
Améry (2022) kembali relevan: penderitaan bisa menutup telinga terhadap penderitaan lain (hlm. 74). Zionisme lahir dari klaim universal, tapi terjebak dalam praktik partikular.
Setiap tanah menyimpan ingatan. Ia tidak pernah benar-benar kosong. Jejak kaki tertinggal di debu, doa menempel di dinding batu, zaitun berbuah dari tangan yang menanamnya.
Mitos “tanah tanpa rakyat” mencoba membungkam semua itu. Walakin setiap mitos, cepat atau lambat, akan bocor. Ingatan tidak bisa sepenuhnya dihapus. Anak-anak Palestina yang tumbuh di kamp pengungsi menyimpan kunci rumah yang telah dihancurkan. Anak-anak Yahudi yang mendengar cerita tentang pembantaian massal dan Auschwitz tumbuh dengan rasa cuak yang tidak pernah hilang. Dua trauma ini menciptakan dunia di mana solidaritas terputus di perbatasan identitas.
Améry (2022) menulis bahwa orang yang disiksa akan selalu menjadi orang yang disiksa. Trauma tidak bisa disembuhkan dengan menindas trauma lain. Penslar (2023) menunjukkan bahwa Zionisme bertahan bukan karena ia telah mencapai tujuan politiknya, melainkan karena ia hidup sebagai keadaan emosional nan rapuh. Peretz (2022) memperlihatkan bagaimana utopia kosmopolitan runtuh di hadapan realitas eksklusivisme.
Palestina dan Israel hari ini adalah cermin dunia: apakah mungkin membangun rumah tanpa meruntuhkan rumah orang lain? Apakah mungkin mencintai tanah tanpa menghapus cinta orang lain pada tanah yang sama?
Tidak ada jawaban, hanya peringatan: tanah tidak pernah kosong. Ia selalu penuh dengan ingatan, doa, darah, dan cinta.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sejarah FIB Universitas Diponegoro Semarang. Sejarawan UIN Palangka Raya. Editor Buku Penerbit Indie Marjin Kiri.