Ada negeri yang selalu berdiri di antara doa dan luka, tempat azan bersahut dengan sirene, dan angin gurun membawa kabar yang tak pernah selesai. Negeri itu bernama Palestina.
Sejak berabad lalu, ia menjadi halaman kitab suci, tetapi juga halaman berita duka yang terus diperbarui. Tahun 1936, di jalan-jalan Jaffa yang berdebu, para buruh berhenti bekerja, toko-toko ditutup, dan lidah-lidah bersatu dalam teriakan mogok. Di situlah, sebuah bangsa yang belum diakui dunia mulai mengucapkan namanya sendiri: “Kami orang Palestina”.
Pemberontakan yang dijuluki Great Revolt itu adalah letupan perdana identitas modern Palestina. Sebuah perlawanan tiga tahun yang bukan hanya melawan Mandat Inggris dan gelombang Zionis, tetapi juga melawan takdir yang menolak mereka untuk berdaulat. Lima ratus Yahudi dan dua ratus lima puluh tentara Inggris tewas, tetapi luka paling dalam justru ditorehkan pada tubuh Arab Palestina sendiri: lebih dari lima ribu nyawa hilang, ribuan lagi terbuang ke pengasingan. Dari reruntuhan desa dan keluarga yang tercerai, identitas itu ditempa dengan keras, getir, dan tidak bisa ditarik kembali.
Ironisnya, kebangkitan itu sekaligus permulaan dari sebuah kekalahan panjang. Revolusi 1936 hendak menghentikan Zionisme, tetapi justru menguatkan Yishuv Yahudi: Inggris melatih mereka, mempersenjatai mereka, dan menanamkan cikal bakal tentara yang kelak mendirikan negara Israel. Bagi Palestina, revolusi itu adalah semacam nubuat: kebangkitan yang disusul perpecahan, perlawanan yang berakhir pengkhianatan.
Dan sejak saat itu, Palestina hidup dalam paradoks sejarah: sebuah bangsa yang paling utuh ketika ia melawan, paling nyata ketika ia dihancurkan.
Sejarah Palestina sering kali terdengar seperti lelucon cendala yang diceritakan berulang-ulang: orang-orang yang kehilangan rumah diminta bersabar, mereka yang diusir diminta bernegosiasi, dan mereka yang ditembak diminta menjaga perdamaian. Dunia tersenyum getir sambil mengangkat bahu, seakan tragedi itu hanya tontonan teater yang bisa dijeda kapan saja.
Akan tetapi Palestina tidak bisa dijeda. Dari 1936 hingga hari ini, bangsa itu terus hidup dalam putaran kekalahan yang dijual sebagai “proses damai”. Ironinya: mereka kalah, tetapi justru di situlah identitas mereka menang karena tidak ada yang lebih abadi tinimbang luka yang menolak sembuh.
Dari Kekaisaran Ottoman ke Mandat Inggris
Setiap bangsa lahir dari sebuah persimpangan. Palestina, sebelum menjadi sebuah nama yang bergetar di jalan-jalan perlawanan, adalah kota tua dengan keluarga-keluarga besar yang memegang kunci kekuasaan. Nama-nama itu di Yerusalem laksana mantra: Husseini, Nashashibi, Khalidi, dan Alami. Mereka bukan sekadar orang-orang; mereka adalah institusi yang menautkan masa lampau dengan masa depan. Seperti yang dicatat Kessler (2024), Turki Utsmaniyah menyebut mereka effendis, Arab menyebut mereka ayan, dan Inggris menyebut mereka notables, yaitu kaum terhormat yang mengatur hukum, masjid, bahkan kunci Gereja Makam Kudus.
Dari rahim keluarga-keluarga itulah lahir tokoh yang akan menorehkan garis pada sejarah Palestina modern. Musa Alami, keturunan Nabi melalui Hasan, anak aristokrat Yerusalem yang dikirim ke Cambridge, dibesarkan di antara doa dan pergaulan kosmopolitan. Ia tumbuh dengan bahasa Inggris dan Prancis, tetapi jiwanya bergetar ketika mendengar lema istiqlal (“kemerdekaan”). Di sisi liyan, seorang pemuda lain dari keluarga Husseini, Amin al-Husseini, menempuh jalan berbeda. Berkulit pucat, berhati rapuh, ia belajar di Al-Azhar, lalu pulang dengan obsesi religius dan ambisi politik. Dari si aristokrat modernis dan si mufti fanatik ini, lahir paradoks wajah Palestina: moderasi dan militansi yang berjalan beriringan, saling menyangga, saling mengkhianati (Kessler, 2024, hlm. 9-11).
Mandat Inggris datang setelah Perang Dunia I dengan janji-janji yang saling bertabrakan. Di satu tangan, ada “Balfour Declaration”, secarik surat yang menjanjikan tanah air bagi Yahudi. Di tangan liyan, ada “McMahon-Hussein Correspondence” yang menjanjikan kemerdekaan Arab. Palestina menjadi simpul dari kontradiksi imperium: sebuah negeri yang dijanjikan dua kali, kepada dua bangsa yang sama-sama lapar tanah dan sejarah. Inggris, dengan kerang-keroh, mempermainkan keduanya, percaya bahwa civilizing mission dan kolonialisme bisa berjalan beriringan.
Dalam tahun-tahun awal Mandat, Palestina masih dihiasi ilusi koeksistensi. Tetangga Yahudi dan Arab di Yerusalem bertukar makanan pada hari raya, bahkan seorang anak Muslim bisa memiliki saudara susu dari keluarga Yahudi. Tradisi ini mengikat dua keluarga seumur hidup.
Akan tetapi di balik keramahan sehari-hari, gema perubahan sudah terdengar. Zionisme datang bukan untuk menjadi garam dalam roti, kata seorang pemimpin lokal, tetapi untuk menjadi roti itu sendiri. Kata-kata itu menandai awal dari ketakutan: bahwa yang datang bukanlah minoritas kecil yang bisa berasimilasi, melainkan sebuah proyek negara yang hendak menggantikan yang lama.
Identitas Palestina mulai menemukan bentuknya bukan hanya sebagai “orang Arab” atau “orang Muslim”, tetapi sebagai komunitas yang diancam kehilangan tanah airnya.
Dari awal 1920-an, kerusuhan meledak di Yerusalem, Jaffa, dan Hebron. Nebi Musa Festival tahun 1920, yang semestinya perayaan keagamaan, berubah menjadi arena teriakan “Istiqlal! Kemerdekaan!” dan bentrokan berdarah dengan komunitas Yahudi (Kessler, 2024, hlm. 17). Inggris membalas dengan represif, tapi juga manipulatif: menyingkirkan wali kota Husseini, mengangkat Ragheb Nashashibi dari keluarga saingan, dan menjadikan Amin al-Husseini sebagai Grand Mufti, sebuah keputusan yang menurut Kessler (2024) adalah salah satu keputusan paling fatal dalam sejarah Mandat (hlm. 20).
Benih identitas Palestina mulai tumbuh di titik ini: bukan sekadar Arab dalam kekhalifahan Utsmani yang runtuh, bukan sekadar Muslim atau Kristen di bawah payung kekuasaan asing, tetapi sebuah entitas politik anyar yang menyebut dirinya “Arab Palestina”. Ia lahir dari janji yang diingkari, dari tanah yang dijual oleh para notables, dari desa-desa yang digusur oleh pembelian tanah Zionis, dan dari perasaan kolektif bahwa sebuah bangsa sedang ditulis ulang tanpa persetujuan mereka.
Identitas itu belum matang, rapuh, dan seringkali tercerai-berai oleh rivalitas klan, tetapi ia ada dan akan diuji dalam api besar 1936.
Api Revolusi: Pemberontakan 1936-1939
Sejarah sering kali meletup bukan dari sebuah rencana besar, melainkan dari percikan kecil yang tidak terkendali. Pada musim semi 1936, di pelabuhan Jaffa, percikan itu muncul dalam bentuk bentrokan antara buruh Arab dan imigran Yahudi. Jasad-jasad yang bergelimpangan di jalan memicu bara yang telah lama mengendap: ketakutan akan hilangnya tanah, kemarahan terhadap Inggris, dan perasaan bahwa waktu untuk bersabar sudah habis.
Dari Jaffa, gelombang itu menyebar ke desa-desa, gunung, hingga lembah Palestina. Seperti yang ditulis Kessler (2024), hari itu menjadi “Hari berdarah di Jaffa”, hari darah yang membuka pintu revolusi (hlm. 43).
Revolusi 1936 dimulai dengan sesuatu yang tampak semenjana: bergeming. Para pedagang menutup toko-toko mereka, pelabuhan lumpuh, dan transportasi berhenti beroperasi. Diam berubah menjadi bahasa politik. Selama enam bulan penuh, Palestina hidup dalam keheningan yang disengaja—pemogokan umum terpanjang dalam sejarah modern. Diam itu adalah bentuk perlawanan: menolak berpartisipasi dalam ekonomi kolonial, menolak tunduk pada kekuasaan Inggris, menolak melihat tanah mereka dijual tanpa suara.
Akan tetapi diam juga menyatukan. Untuk pertama kalinya, petani desa, buruh kota, keluarga bangsawan, dan pedagang kaya menemukan diri mereka dalam perjuangan yang sama. Identitas Palestina, yang sebelumnya rapuh, kini mendapatkan dagingnya: ia dipanggil oleh mogok, ia hidup dalam sunyi, ia bernafas dalam perlawanan.
Di puncak hirarki politik, berdiri Grand Mufti Hajj Amin al-Husseini. Ia adalah pemimpin spiritual yang sekaligus menjadi simbol politik perlawanan. Baginya, revolusi adalah panggung untuk memimpin bangsa, tetapi juga kesempatan untuk menyingkirkan saingan politiknya, keluarga Nashashibi. Revolusi, dengan demikian, bukan hanya melawan Inggris dan Zionis, tetapi juga ajang intrik internal yang akan merusak fondasinya sendiri. Dari desa-desa muncul figur-figur lain: Abdel-Rahim al-Hajj Muhammad, petani dari Tulkarem, yang memimpin pasukan gerilya melawan Inggris; Izz al-Din al-Qassam, ulama militan yang gugur lebih awal pada 1935, tetapi namanya terus hidup, menjadi inspirasi bagi para pejuang dan kelak diabadikan Hamas pada sayap militernya (Kessler, 2024, hlm. 65-66).
Gerilyawan Arab memanfaatkan ladang, bukit, dan hutan sebagai benteng. Mereka menyerang patroli Inggris, merusak jalur kereta, menyabotase jalan, dan membakar perkebunan Yahudi. Kekerasan itu menyebar seperti api kering di musim panas, tak lagi dapat dikendalikan oleh komite politik di Yerusalem.
Kerajaan Inggris, penguasa imperium yang masih menguasai seperempat dunia, tidak akan membiarkan sebuah tanah kecil di Timur Tengah mengajarkan bahwa kolonialisme bisa ditantang. Mereka mengirim lebih dari 20.000 pasukan tambahan, lengkap dengan tank, pesawat, dan senjata modern. Desa-desa yang dicurigai melindungi pemberontak dihukum kolektif: rumah dibakar, ladang dihancurkan, para lelaki ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan.
Inggris juga menggunakan kebijakan yang kelak diwarisi Israel: demolisi rumah, kurungan administratif, razia malam, dan pengawasan ketat dengan pos-pos pemeriksaan. Sebuah model kolonial yang kemudian menjadi template permanen dalam konflik Israel-Palestina.
Ironi sejarah menyelinap di sini. Pemberontakan yang dimaksudkan untuk menghalangi lahirnya negara Yahudi justru mempercepat proses itu. Inggris, kehabisan tenaga menghadapi perlawanan, mulai melatih komunitas Yahudi. Unit-unit pertahanan “Haganah” dilengkapi senjata dan pengetahuan militer, bahkan membentuk satuan khusus di bawah Orde Wingate yang memelopori perang gerilya modern. Bagi Yishuv, revolusi adalah sekolah militer. Dari pasukan amatir berubah menjadi tentara terlatih, dengan struktur komando dan pengalaman tempur. Seperti ditulis Kessler (2024), inilah periode di mana “Unit-unit penjaga amatir berubah menjadi cikal bakal tentara Yahudi yang tangguh” (hlm. 4).
Akan tetapi, revolusi juga menyimpan racun. Rivalitas klan, intrik politik, dan pembalasan dendam internal merobek persatuan yang semula begitu rapuh. Husseini melawan Nashashibi, desa melawan desa, pejuang membunuh sesama Arab yang dicurigai sebagai kolaborator. Identitas yang baru lahir justru dilukai dari dalam.
Pada akhirnya, revolusi berubah menjadi tragedi: ribuan orang terbunuh, puluhan ribu terluka, ekonomi hancur, dan kepemimpinan Arab tercerai-berai. Sebagian dipenjara, sebagian diasingkan ke Seychelles. Palestina masuk ke dekade berikutnya bukan sebagai bangsa yang lebih kuat, tetapi sebagai bangsa yang terluka parah.
Walaupun begitu, meski kalah, Revolusi 1936 menorehkan garis tak terhapuskan: ia menyalakan api identitas Palestina. Mogok, perlawanan bersenjata, boikot ekonomi. Semua menjadi tradisi politik yang terus diwarisi. Bahkan ketika revolusi itu runtuh di bawah represi, ia meninggalkan jejak yang akan kembali bergema pada 1948, 1987, dan 2000. Revolusi 1936-1939 adalah paradoks: kekalahan yang melahirkan kesadaran, keruntuhan yang meneguhkan identitas. Palestina, sejak itu, tahu bahwa dirinya adalah bangsa yang tak bisa ada tanpa perlawanan.
Luka yang Membelah
Setiap revolusi yang gagal selalu meninggalkan aroma sarit: bau mesiu yang bercampur dengan rasa pengkhianatan. Begitu pula dengan pemberontakan Palestina 1936-1939. Ia berakhir bukan dalam kemenangan, melainkan dalam keheningan yang dipaksakan oleh kekuatan imperium dan oleh retaknya persatuan sendiri. Inggris, dengan mesin perang yang disiplin, menghancurkan desa-desa, memenjarakan para pemimpin, dan mengasingkan anggota Komite Tinggi Arab ke Seychelles, sebuah pulau yang indah di peta, tetapi bagi mereka adalah penjara terbuka.
Namun luka terbesar bukanlah pengasingan itu, melainkan pecahnya jantung bangsa sendiri. Apa yang dimulai sebagai solidaritas: buruh dan petani, bangsawan dan pedagang, Muslim dan Kristen yang berubah menjadi pertarungan internal.
Keluarga Husseini dan Nashashibi saling menjatuhkan, memperebutkan legitimasi untuk memimpin bangsa. Kecurigaan menumbuhkan dendam di desa-desa: siapa pun yang dianggap berkhianat, yang menjual tanah kepada Zionis, atau yang berbisik terlalu dekat dengan Inggris, dieksekusi dengan cepat. Revolusi yang dimaksudkan untuk membebaskan Palestina justru menumpahkan darah Palestina sendiri. Kekalahan itu membawa tiga konsekuensi yang membentuk identitas bangsa hingga hari ini.
Pertama, fragmentasi politik. Tidak ada satu suara tunggal bagi bangsa Palestina setelah 1939. Husseini, sang Mufti, melarikan diri ke luar negeri, sementara rival-rivalnya kehilangan basis atau reputasi. Pemimpin-pemimpin moderat yang dulu mencari kompromi tersingkir oleh kekerasan. Dengan demikian, bangsa Palestina memasuki tahun 1940-an tanpa kepemimpinan yang solid, berbeda dari Yishuv Yahudi yang justru semakin terorganisasi.
Kedua, eksodus awal. Banyak keluarga Palestina meninggalkan tanah mereka karena kimput akan represi, perang, dan konflik internal. Ini adalah bayangan pertama dari Nakba 1948, yang kelak akan mengusir ratusan ribu orang. Identitas Palestina sejak 1936 sudah dibubuhi rasa buangan, yakni pengalaman menjadi orang asing di tanah sendiri.
Ketiga, hilangnya kepercayaan pada kekuatan luar. Ketika Inggris menerbitkan “White Paper” 1939 yang membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina, Arab Palestina menyambutnya sebagai kemenangan separuh hati. Tetapi waktu membuktikan ironi tragisnya: pada saat Nazi menyalakan Holocaust, gerbang Palestina justru tertutup rapat bagi orang Yahudi Eropa. Dunia seakan menertawakan keadilan: Palestina dijadikan bidak dalam permainan geopolitik, sekaligus kambing hitam dalam drama yang lebih besar. Revolusi yang diniatkan sebagai benteng terakhir justru menghancurkan sendi-sendi sosial, ekonomi, dan politik Arab Palestina. Dari titik itu, bangsa ini memasuki abad pertengahan ke-20 dalam keadaan lemah, tercerai, dan penuh luka.
Walakin luka-luka itu, meski memecah, juga membentuk. Identitas Palestina lahir sebagai identitas yang berdarah-darah: ia selalu dikaitkan dengan kekalahan, pengkhianatan, dan pengasingan. Ia adalah identitas yang tahu bahwa setiap kebangkitan mungkin akan berakhir dengan runtuh, tetapi justru dari keruntuhan itu ia menemukan dirinya. Sejak itu, Palestina bukan sekadar nama di peta, melainkan sebuah ingatan kolektif tentang penderitaan yang tak pernah selesai. Ia adalah bangsa yang disatukan oleh luka, diikat oleh kehilangan, dan dibentuk oleh sejarah yang tidak adil. Luka 1936 menjadi fondasi sunyi dari semua tragedi berikutnya.
Dari Nakba ke Intifada
Sejarah Palestina adalah sebuah gema: suara yang berulang dari lembah ke lembah, dari generasi ke generasi. Gema paling awal, yang terus menghantui, adalah suara revolusi 1936. Tiga tahun pemberontakan itu, meski ditindas dengan besi dan api, meninggalkan pola yang akan berulang pada 1948, 1967, 1987, bahkan di abad ke-21.
Kessler (2024) menulis bahwa Revolusi 1936 adalah saat “orang Yahudi Palestina memperkuat dasar demografis, geografis, dan politik negara yang akan mereka dirikan” (hlm. 5). Namun bagi Arab Palestina, ia adalah nubuat tentang masa depan yang akan terus berulang: kekalahan yang menguatkan musuh, perpecahan internal yang melumpuhkan diri sendiri.
Hanya sembilan tahun setelah revolusi padam, Palestina memasuki fase yang lebih kelam: Nakba 1948. Lebih dari 700.000 orang Palestina terusir dari rumah-rumah mereka, menjadi pengungsi di negeri tetangga, sementara negara Israel diproklamasikan di atas tanah yang pernah mereka sebut milik bersama. Bagi banyak orang Palestina, Nakba adalah momen kelahiran identitas nasional modern mereka. Akan tetapi jika ditarik ke belakang, benih itu telah tumbuh pada 1936. Saat itulah kesadaran kolektif terbentuk: bahwa mereka adalah satu bangsa dengan musuh bersama, tetapi juga dengan luka bersama.
Ingatan akan revolusi memberi konteks pada Nakba. Jika 1936 menunjukkan bagaimana Inggris berpihak pada Zionis, maka 1948 membuktikan akibatnya: Palestina tidak hanya gagal merdeka, tetapi kehilangan sebagian besar tanahnya. Kekalahan ganda itu, dari Inggris dan dari Zionis membuat identitas Palestina semakin tertanam dalam kesadaran kehilangan.
Empat dekade kemudian, tahun 1987, suara itu kembali bergema dalam bentuk Intifada—pemberontakan rakyat melawan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza. Walakin metode dan simbolnya jelas mewarisi 1936. Mogok massal, boikot produk, dan demonstrasi jalanan adalah cerminan langsung dari pemogokan umum enam bulan pada 1936.
Bahkan nama perlawanan tidak pernah jauh dari revolusi itu. Izz al-Din al-Qassam, ulama yang gugur sebelum 1936 tetapi menjadi ikon pemberontakan, diabadikan oleh Hamas sebagai nama sayap militernya: Brigade Izz al-Din al-Qassam. Dalam tiap roket yang ditembakkan, dalam tiap terowongan yang digali, ada gema jauh dari hutan-hutan Galilea tahun 1936, tempat al-Qassam dan pengikutnya melawan dengan senjata sederhana.
Intifada pertama (1987-1993) dan kedua (2000-2005) juga memperlihatkan pola yang sudah ada sejak 1936: perlawanan rakyat yang dimulai dengan batu, mogok, dan solidaritas, lalu berubah menjadi fragmentasi dan kekerasan internal. Pada 1936, itu berupa konflik antara Husseini dan Nashashibi; pada 2000-an, itu berupa perpecahan antara Fatah dan Hamas. Sejarah seakan enggan menulis bab baru, melainkan terus mengulang naskah lama dengan aktor yang berbeda.
Satu warisan liyan dari 1936 adalah bahasa diplomasi yang terus hidup hingga hari ini: “partition,” “two-state solution,” dan “peace process”. Kessler (2024) mencatat bahwa konsep pembagian wilayah pertama kali resmi diajukan oleh Komisi Peel pada 1937, di tengah berkecamuknya revolusi (hlm. 75). Sejak itu, setiap proposal internasional (dari Resolusi PBB 1947, hingga Oslo 1993, hingga kebijakan Biden dan Trump) tidak pernah keluar dari kerangka dua negara.
Namun bagi Palestina, kata-kata itu adalah bayangan panjang yang tak pernah berubah menjadi kenyataan. Mereka hidup dengan janji yang ditunda, seperti para pemberontak 1936 yang percaya bahwa Inggris akan mendengar suara mereka, hanya untuk berakhir dalam pengasingan dan penjara.
Apa artinya menjadi Palestina setelah 1936? Itu artinya hidup dengan kesadaran bahwa identitas Anda dibentuk bukan oleh kemenangan, melainkan oleh kekalahan yang berulang. Revolusi 1936 gagal, Nakba 1948 melukai, Perang 1967 menambah luka, dan Intifada hanya membuktikan siklus yang tak pernah berakhir. Namun di situlah, justru, letak keistimewaannya: identitas Palestina adalah identitas yang tidak bisa dihapus meski kalah berkali-kali.
Kalakian, hingga hari ini, di kamp-kamp pengungsi di Lebanon, di Gaza yang terkepung, di Tepi Barat yang penuh pos pemeriksaan, nyala 1936 masih terasa. Ia hidup dalam poster syuhada di tembok-tembok, dalam puisi Mahmoud Darwish, dalam teriakan anak-anak yang melempar batu.
Bayangan panjang Tahun 1936 menegaskan bahwa Palestina bukan sekadar catatan kaki dalam sejarah kolonialisme, melainkan sebuah bangsa yang terus hidup dari ingatan. Sebuah bangsa yang setiap kekalahannya hanya mempertegas haknya untuk ada.
Sejarah Palestina adalah sejarah yang ditulis dengan tinta luka. Revolusi 1936, yang hendak membebaskan tanah air dari cengkeraman Inggris dan gelombang Zionis, justru meninggalkan bangsa ini dalam keadaan lebih rapuh. Namun dari keruntuhan itulah identitas mereka tumbuh. Seperti benih yang hanya bisa berkecambah setelah dibakar api, Palestina menemukan dirinya dalam puing-puing pemberontakan.
Sejarah Palestina sering kali terdengar seperti lelucon buruk yang diceritakan berulang-ulang: orang-orang yang kehilangan rumah diminta bersabar, mereka yang diusir diminta bernegosiasi, dan mereka yang ditembak diminta menjaga perdamaian. Dunia tersenyum getir sambil mengangkat bahu, seakan tragedi itu hanya tontonan teater yang bisa dijeda kapan saja. Namun Palestina tidak bisa dijeda. Dari 1936 hingga hari ini, bangsa itu terus hidup dalam putaran kekalahan yang dijual sebagai “proses damai.”
Ironinya: mereka kalah, tetapi justru di situlah identitas mereka menang karena tidak ada yang lebih abadi tinimbang luka yang menolak pulih.