Syahdan, di sebuah dunia yang retak oleh persekongkolan kekuasaan dan ditambal dengan tata krama aristokrasi, pernah ada sebuah surat yang kekuatannya melebihi suara meriam. Ia bukan ledakan, tetapi letupan ide yang menancap di tanah dan tidak kunjung lepas hingga hari ini. Surat itu dikirim oleh seseorang bernama Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, kepada seorang bangsawan Yahudi, Lord Rothschild. Hanya 67 kata dalam bahasa aslinya. Akan tetapi seperti semua senjata paling berbahaya di dunia, ia kecil, elegan, dan sangat mematikan.
Titimangsa 2 November 1917, Kerajaan Inggris yang tengah berada di puncak kejayaan kolonialnya menyatakan bahwa mereka “memandang dengan baik” pendirian “a national home for the Jewish people” di Palestina. Kalimat yang pada permukaannya ini tampak seperti pernyataan welas asih, tetapi sesungguhnya adalah deklarasi pendudukan yang disamarkan dengan tata bahasa diplomatik (Rhett, 2016: 14). Deklarasi itu bukan sekadar kesalahan moral. Ia adalah struktur arsitektural dari kolonialisme modern.
Palestina, sejak hari itu, tidak pernah benar-benar bangun dari tidurnya yang dirampok.
Inggris, yang menyebut dirinya penjaga perdamaian, justru memainkan permainan ganda dan kadang-kadang tripel di belakang layar. Palestina bukan sekadar titik di peta. Ia dijadikan semacam barang lelang: pertama, kepada bangsa Arab melalui janji dalam korespondensi McMahon-Hussein (1915-1916); kedua,kepada Prancis dalam perjanjian rahasia Sykes-Picot (1916); dan ketiga, kepada gerakan Zionis melalui “Balfour Declaration” (1917) (Mahler & Abdul Hadi, 2025: 45-51).
Tiga janji. Satu tanah.
Tanah itu bukan tanah mati, bukan lahan kosong seperti yang digambarkan dalam propaganda orientalis. Ia penuh orang: anak-anak, petani, ulama, pedagang, perempuan tua yang masih menyirami pohon zaitunnya setiap pagi. Akan tetapi bagi Inggris, Palestina hanyalah ruang kosong untuk proyek besar: menjadikan nasionalisme Yahudi sebagai solusi dari antisemitisme Eropa, dengan biaya ditanggung oleh orang-orang Arab Palestina yang tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah.
Zionisme bukanlah anak kandung tanah Palestina. Ia adalah bayi dari ketakutan Eropa yang lahir di Wina, dibesarkan di Basel, dan dibiayai dari London dan New York. Herzl dan para pendukungnya tidak datang dari Galilea, melainkan dari koridor kekuasaan Eropa yang dipenuhi sinisme dan kalkulasi strategis. Dalam bukunya Der Judenstaat, Herzl mendedah Zionisme bukan sebagai keyakinan spiritual, tapi sebagai alat politik. Solusi kolonial bagi masalah antisemitisme yang patah pucuk dipecahkan oleh Eropa sendiri (Rhett, 2016: 98-103).
Inggris, yang menganggap dirinya bangsa rasional, melihat dalam Zionisme peluang: menanam sekutu permanen di jantung Timur Tengah demi menjaga Terusan Suez dan meredam gelombang Pan-Islamisme (Rhett, 2016: 1). Maka lahirlah Balfour Declaration yang, dalam segala kepalsuannya, seolah-olah ditulis untuk menyambut orang buangan. Padahal itu adalah skenario penaklukan paling rapi yang pernah disusun oleh pena, bukan pedang.
Yusuf Diya al-Khalidi, Wali Kota Yerusalem pada akhir abad ke-19, pernah memperingatkan akan datangnya bencana. Dalam suratnya kepada Rabbi Zadok Kahn di Paris, ia berkata: “Untuk Tuhan, biarkan Palestina tenang” (Mahler & Abdul Hadi, 2025: 39). Tetapi suara itu seperti banyak suara Palestina lainnya dihapus dari sejarah resmi, ditenggelamkan oleh arsip kolonial, dan digantikan oleh narasi “tanah kosong untuk rakyat tanpa tanah”.
Kita sering lena bahwa sejarah tidak selalu ditulis oleh pemenang. Kadang-kadang ia ditulis oleh penjaja tanah, oleh penguasa arsip, oleh juru bicara yang mengaku universal tetapi menulis dari balik meja imperium.
Setelah Perang Dunia I, Inggris mendapatkan Mandat atas Palestina dari Liga Bangsa-Bangsa. Dalam dokumen mandat itu, tertulis janji ambigu: membangun rumah nasional Yahudi, “tanpa merugikan” komunitas non-Yahudi. Janji yang terdengar moderat ini, dalam praktiknya, adalah bentuk supremasi struktural (Rhett, 2016: 138-147).
Institusi-institusi seperti Jewish National Fund dan Jewish Agency dipermudah aksesnya ke tanah dan dana. Sementara komunitas Arab Palestina menghadapi sensor, militerisasi, dan sistem hukum diskriminatif. Seperti dicatat Dumper dan Badran (2025), “bentuk kolonialisme ini lebih berbahaya karena dibalut legalitas internasional” (hlm. 100-115).
Di selatan, Gaza menyimpan segala ampas dari impian kolonial nan gagal. Dulu ia adalah jalur dagang. Kini, ia adalah kamp penjara terbuka terbesar di dunia. Di dalamnya hidup tiga generasi pengungsi yang tidak pernah melihat rumah kakek-nenek mereka sendiri. Jean-Pierre Filiu menyebut Gaza sebagai “wilayah residu dari sebuah janji yang bersetai-setai berantakan” (Filiu, 2014: 35-55).
Setiap pagi, Gaza tidak bangun. Ia terbangun karena ledakan. Setiap malam, ia tidak tidur. Ia terlelap dalam ketakutan. Di antara keduanya, Gaza hidup dengan satu ironi: ia adalah rumah bagi orang-orang yang kehilangan rumah.
Tahun 1948, sejarah tidak hanya ditulis ulang, tetapi juga dihapus. Deklarasi berdirinya Israel disambut dunia sebagai kemenangan modernitas. Namun bagi 750.000 warga Palestina, itu adalah awal dari pengusiran massal: rumah dirampas, desa dihancurkan, nama-nama Arab diubah menjadi Ibrani. Ilan Pappé (2006) menyebut peristiwa itu sebagai “ethnic cleansing of Palestine”, pembersihan etnis yang dibenarkan dengan arsip, bukan artileri. Perihal itu bukan kecelakaan sejarah, tapi konsekuensi logis dari sebuah deklarasi: tatkala hak “pulang” diberikan kepada yang tidak pernah tinggal, dan hak “tinggal” dicabut dari yang selalu menetap.
Zionisme tidak menemukan rumahnya di antara korban Holocaust, tetapi di antara arsip kolonial dan kalkulasi kekuasaan. Rumah nasional yang dijanjikan dibangun dari kombinasi antara luka dan logistik. Rhett (2016) menulis bahwa “Zionisme modern hanya bisa dipahami sebagai produk imperialisme yang dibungkus dengan mitos religius.”
Herzl dan Weizmann mungkin tidak membawa senapan. Namun mereka membawa pengakuan internasional. Pengakuan di dunia modern bisa lebih mematikan daripada perang. Ketika Deklarasi Balfour disahkan, seluruh struktur hukum internasional ikut berbelok: dari kebenaran ke kekuasaan.
Deklarasi Balfour bukan hanya membuat Palestina kehilangan tanah, tapi juga waktu. Setiap generasi Palestina lahir ke dunia yang telah dipetakan orang lain. Waktu mereka dicuri. Bahasa mereka disusupi. Bahkan mimpi pun harus melalui penyaringan sensor internasional.
Sebagaimana ditulis oleh Dumper dan Badran (2025), hanya dalam dekade terakhir narasi alternatif Palestina mulai terdengar di dunia akademik. Tetapi kebejatan yang ditinggalkan oleh narasi kolonial terlalu dalam. Apa yang hilang bukan hanya rumah. Namun juga hak untuk mengisahkan diri sendiri.
Balfour masih dipuja di Israel. Ia diajarkan sebagai “pahlawan” modernitas Yahudi. Padahal modernitas yang ditawarkan adalah modernitas eksklusif: supremasi satu etnis atas lainnya, dilegitimasi oleh surat yang ditulis seratus tahun lalu.
Modernitas seharusnya membebaskan. Namun di sini, ia menjadi alat untuk membenarkan penindasan. Ketika sejarah diajarkan sebagai hadiah, dan bukan perampokan, maka dunia telah gagal memahami siapa sebenarnya korban.
PBB, Uni Eropa, dan Amerika Serikat masih menyebut “status quo” di Palestina. Namun status quo itu tidak netral. Ia lahir dari surat yang mengingkari suara lokal. Dunia modern memuja diplomasi, tapi lupa pada keadilan.
Deklarasi Balfour bukan lagi dokumen. Ia telah menjadi struktur dunia. Ia mengalir dalam veto-veto Dewan Keamanan, dalam embargo terhadap Gaza, dalam bahasa diplomatik yang menyebut kolonisasi sebagai “perluasan permukiman”.
Mungkin suatu hari, Balfour Declaration akan disimpan di Museum Kejahatan Kemanusiaan. Diapit oleh rantai budak dan buku Mein Kampf. Anak-anak akan bertanya: “Mengapa seseorang bisa menjual tanah orang lain dengan surat?” Dan kita akan menjawab: “Karena dunia saat itu percaya pada pena imperium lebih dari tangisan bayi di Gaza.”
Sejarah, seperti selalu, ditulis oleh mereka yang duluan mencuri. Mungkin suatu hari nanti, deklarasi seperti Balfour akan ditampilkan di museum kejahatan terhadap kemanusiaan, berdampingan dengan borgol perbudakan dan buku catatan Hitler.
Anak-anak akan bertanya: “Mengapa ada orang yang mengira bisa menjual tanah orang lain dengan sepucuk surat?”
Kita akan menjawab dengan malu-malu: karena dunia saat itu lebih percaya pada pena kolonial ketimbang tangisan bayi di Gaza.