Dunia Islam pernah memiliki sosok tokoh fenomenal, seorang ulama’ besar di zamannya, yang bahkan sampai sekarang masih masyhur namanya atas apa yang diberikan lewat karya-karyanya. Adalah Ar-Rāzi yang bernama lengkap Muḥammad bin ‘Umar bin Ḥusain bin Ḥasan bin ‘Ali Attamimī al-Bakhri Fakhruddin al-Rāzi.
Beliau memiliki banyak gelar seperti: Katib Ar-Ray, Syaikhul Islam, Imam, dan Fakhruddin. Beliau dilahirkan di Ray, yaitu sebuah kota yang terletak disebelah Tenggara Teheran, Iran pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H/1149 M, kemudian beliau wafat pada bulan syawal, 606 H/1209 M.
Melihat kurun waktu disaat Imam Ar-Razi hidup, dapat ditelusuri bahwa beliau hidup pada zaman Dinasti Abbasiyah. Di mana pada masa tersebut, pengaruh Dinasti Abbasiyah didominasi oleh bangsa Seljuk. Selama hidupnya, raja-raja Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada masanya yakni: al-Muqtati (531-555), al-Mutanjid (555-566), al-Mustadi (566-576), al-Nasir (576-622).
Pada zaman Dinasti Abbasiyah ini, ilmu sangat berkembang pesat. Mulai dari ilmu fiqih, kalam, filsafat, kedokteran, dan sebagainya. Pada zaman ini pula muncul beraliran aliran kalam dan madzhab fiqih. Bahkan, kebanyakan antara satu madzhab kalam dengan madzhab lainnya saling menyerang dan menjatuhkan. Dan untuk menjatuhkan madzhab tersebut salah satu caranya adalah dengan mengarang suatu karya tulisan. Dalam karangan tersebut sering muncul pernyataan-pernyataan pengarang kitab tentang pemikiran firqah yang tidak tepat, dan kontradiksi dengan paham atau madzhab apa yang dianutnya.
Bersamaan dengan fenomena yang terjadi pada saat itu, muncullah sosok Muḥammad bin ‘Umar bin Ḥusain bin Ḥasan bin ‘Ali Attamimī al-Bakhri al-Rāzi, atau yang sering disebut dengan Imam Fakhruddin Ar-Razi dengan kitab karangannya Tafsir Al-Kabir wa Mafatihul Ghoib.
Kitab tafsir Al-Qur’an milik Fakhruddin Ar-Razi ini ditulis sebagai bentuk respon atau tanggapan terhadap tafsir ideologis karangan Zamakhsyari (Kitab Tafsir al-Kasyaf). Imam Fakhruddin al-Razi sendiri sebagai sosok yang beraliran Asy’ariyah, berusaha mempertahankan alirannya dengan argumen-argumen yang dilukiskannya dalam kitab tafsirnya dengan maksud untuk membangun argumen yang dianggapnya benar.
Dalam salah satu lembaran muqaddimah kitab tafsirnya, Imam Ar-Razi menyebutkan Qaumun min ahli al-jahl wa al-ghaiy wa al-‘inad (golongan yang bodoh yang buruk, yang jelek). Ungkapan tersebut dimaksudkan atau ditujukan kepada golongan Mu’tazilah. Ini dapat dibuktikan dalam salah satu penjelasannya pada ayat-ayat mutasyabihat, lebih tepatnya ayat fawatihus suwar, Adalah golongan muktazilah yang mengingkari ayat-ayat mutasyabihat, seperti “Alif Lam Min, dan fawatihussuwar lainnya”.
Ketika corak penafsiran Ar-Razi adalah dengan mengutarakan pendapat-pendapat mufassir atau golongan lain, tapi ternyata kenyataannya bahwa Ar-Razi ketika mengutarakan pendapat dari golongan mutakalimin tentang ayat mutasyabihat, Ar-Razi menuliskan bahwasanya “Mutakallimin (Muktazilah) tidak menyetujui qoul (menafsirkan ayat mutasyabihat) ini”.
Lanjutnya, mereka (golongan muktazilah) ini tidak memperkenankan untuk menjelaskan makna dalam Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh makhuk, karena menjelaskan tafsir haruslah yang dapat dijelaskan dengan ayat, riwayat, dan akal.
Selain itu, Imam Ar-Razi menegaskan bahwa dirinya adalah penganut paham Asy’ariyah cum Syafi’iyah. Pada persoalan madzhab fiqih, ia menuliskan dalam kitabnya, yakni beliau menulis bismillahirrahmanirrahim sebagai salah satu ayat dari surat Al-Fatihah. Beliau juga menulis bismillahirrahmanirrahim pada awal surat lain, terkecuali surat At-Taubah. Dan yang dituliskannya pada awal surat lain selain surat Al-Fatihah dan At-Taubah adalah dengan tanpa memberi tanda ayat setelahnya. Ini sebagai penegasan bahwa bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayat yang menjadi bagian dari surat Al-Fatihah.
Lewat karya tafsirnya yang monumental tersebut, layaknya generasi umat Islam saat ini kembali tergugah akan betapa pentingnya mempelajari dan mengkaji Al-Qur’an. Generasi emas saat Islam menguasai dunia dengan ilmu dan pengetahuan, mungkin dapat terulang kembali jika kita tergugah akan betapa pentingnya ilmu dan pengetahuan. Bukan isapan jempol belaka, melihat residual sejarah yang terjadi, bangsa yang kuat dan menguasai dunia adalah bangsa yang menguasasi ilmu dan pengetahuan. Wallahu A’lam.