Para sarjana Muslim pasti mengenal siapa itu Imam al-Ghazali. Bagaimana tidak, hampir di setiap karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan tema-tema keislaman selalu mengutip pemikirannya. Ini tidak mengada-ngada, karena memang al-Ghazali merupakan sosok ulama yang memahami beragam cabang keilmuan dalam Islam, bahkan hampir-hampir di setiap cabang keilmuan Islam ia menelurkan buku terkait dengan cabang tersebut.
Seperti: di bidang filsafat lahir buku Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah. Di bidang politik dan kenegaraan lahir karya Nashihat al-Muluk, Suluk al-Sulthan, dan Mustazhiri. Pada bidang fiqh dan ushul fiqh menelurkan karya al-Mustafa fi Ilmi al-Ushul dan al-Wajiz al-Furu’. Di bidang akhlak dan tasawuf lahir buku Mizan al-‘Amal, Ayyuhal Walad, al-Adab fi al-Din, Ihya Ulumiddin dll. Dan di bidang tafsir lahir karya Misykat al-Anwar dan Jawahir Al-Qur’an dan masih segudang cabang keilmuan lain dalam Islam yang ia kuasai dan berkontribusi di dalamnya.
Dari segudang karyanya, Ihya’ ialah kitab yang paling populer dan paling banyak dibaca. Apabila dihayati dan diteliti pada kitab Ihya’, al-Ghazali bertindak selain seorang sufi ia juga sebagai seorang mufasir yang lebih condong pada jenis tafsir isyari atau dalam bahasa lain hermeneutika sufistik, satu contoh dari sekian banyak ayat yang ditafsirkan di dalam Ihya’ ialah
وما خلقت الجن و الإنس الا ليعبدون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyat 51:56)
Pada pembahasan ‘Ajaib al-Qulub al-Ghazali menjelaskan, makna ليعبدون (menyembah) ditafsirkan dengan berjalan (safar) untuk kembali kepada Allah saw.” Lebih lanjut dijelaskan, “Perjalanan untuk kembali kepada Allah itu via hati, karena hati itu sebagai organ inti perjalanan spiritual manusia, kendaraannya ialah badan, dan bahan bakarnya ialah ilmu.”
Term safar ialah istilah yang penting dan sering dipakai dalam konteks tasawuf. Bahkan saking pentingnya, Mulla Sadra memberikan judul magnum opus-nya dengan nama al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyya al-Arba’ah (empat pengembaraan/perjalanan suci: yakni pengembaraan dari makhluk menuju Tuhan, pengembaraan di dalam Tuhan bersama Tuhan, pengembaraan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan, dan pengembaraan di dalam makhluk bersama Tuhan).
Istilah safar mengandung makna bahwa manusia itu diciptakan pada hakikatnya untuk melakukan traveling menuju kepada Allah. Sebagaimana al-Qur’an mendeskripsikan, “Kita dari Allah akan kembali (berjalan) menuju Allah,” (QS. Al-Baqarah 2:156). Lalu, ongkos travelingnya itu apa? Tidak lain ialah dengan ilmu yang termanifestasikan dengan melakukan perbuatan baik/amal shaleh dan meninggalkan perbuatan buruk. Jika itu semua dilakukan maka proses traveling kita berjalan dengan sempurna karena tirai-tirai penutup telah runtuh oleh amal kebaikan kita.
Sampai di sini kita bisa menarik pelajaran atau makna dari ayat tersebut yaitu tujuan Allah menciptakan manusia itu tidak lain ialah agar manusia berjalan/mengembara menuju-Nya. Dengan demikian makna ayat tersebut menjadi, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya manusia berjalan menghampiri-Ku.”