Umi Khofsah
Penulis Kolom

Lulusan Filsafat Islam Pascasarjana Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Yogyakarta. Selama di Yogyakarta belajar filsafat di Rausyan Fikr Institus dan anggota literasi di Masjid Jenderal Sudirman. Sekarang guru tahfiz di SMPI Al-Azhar Semarang

Acuan Rasional Mu’tazilah dalam Pertimbangan Moral

“…betapa menyesatkannya bila dikatakan seolah-olah Mu’tazilah merupakan pendukung etika kebebasan murni” (Majdid Fakhry, 1953). Berbicara mengenai hubungan etika dan agama, setidaknya kita dapat merumuskannya ke dalam dua pertanyaan. Pertama, apakah suatu perbuatan dinilai baik/buruk karena Tuhan memerintahkan atau melarangnya? Atau kedua, apakah Tuhan memerintahkan manusia untuk berbuat/tidak berbuat suatu hal karena nilai perbuatan tersebut baik/buruk pada dirinya sendiri?

Perdebatan masalah teologis yang menjadi penyebab munculnya aliran kalam menjadi pemicu awal perdebatan tentang masalah baik-buruk atau etika, kata Oliver Leamen (2002).

Mari kita melihat jawaban Asy’ariyah, yang mewakili dua aliran besar kalam. Asy’ariyah memberi jawaban bahwa subjek etika adalah Allah. Ini berarti, Allah merupakan dasar dari kebaikan dan tujuan tindakan moral. Dengan begitu, sebuah tindakan dikatakan bermoral apabila sesuai dengan kehendak dan perintah Tuhan. Sebaliknya, suatu tindakan dinyatakan buruk ketika melakukan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan.

Aliran lawannya, yaitu Mu’tazilah, mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda. Mu’tazilah berpendapat bahwa perintah Tuhan adalah kebenaran tanpa terkecuali. Landasan kebenaran bagi Mu’tazilah adalah objektif. Artinya, Dia memerintahkan sesuatu yang benar karena hal tersebut benar adanya.

Jawaban Mu’tazilah dapat disimpulkan, bahwa nilai baik dari suatu perbuatan ada pada perbuatan itu sendiri (Leamen, 2002). Majid Fakhry dalam bukunya Ethical Theories in Islam, menuliskan bahwa Mu’tazilah adalah moralis pertama dalam Islam. Pendapat-pendapat mereka tentang etika merupakan pijakan awal perkembangan etika selanjutnya (Fakhry, 1995).

Menjadi menarik untuk membahas etika dalam perspektif Mu’tazilah karena komitmen tegas mereka pada kinerja akal dalam menentukan putusan moral. Di tengah situasi politik Indonesia dan gonjang-ganjingnya dunia maya, ketika kalam-kalam Tuhan menjadi kabur maknanya, akal dapat menjadi “pegangan” dalam menilai dan membuat putusan moral.

Asas Keadilan sebagai Pedoman Penilaian dan Putusan Moral

Bagi Mu’tazilah, bahkan sebelum Tuhan menurunkan wahyu, manusia -dengan akalnya- sudah dapat mengetahui prinsip kebaikan dan oleh sebab itu wajib melakukannya. Akal manusia mampu menangkap, membuat dan menyimpan konsep tentang perbuatan. Manusia menggunakan pengetahuan sebelum ia bertindak.

Baca juga:  Islam Agama Manusia

Lewat pengetahuan juga, manusia mengetahui hakikat baik-buruk dari perbuatannya. Pengetahuan merupakan acuan bertindak. Adanya pengetahuan ini juga membuat manusia bisa bebas untuk memilih.

Akal, berperan untuk membimbing manusia dalam perbuatan praktisnya. Dari kepatuhan atas petunjuk ini, manusia berhak mendapatkan pahala atau hukuman. Kebebasan di sini menjadi basis  atas pertanggungjawaban manusia. Maka, dalam pandangan Mu’tazilah, akal merupakan dasar konsep etikanya.

Cikal bakal aliran Mu’tazilah dihubungkan dengan perseteruan antara Washil bin Atho’ dan Hasan al-Bahsri mengenai hukuman bagi para pelaku dosa besar. Perdebatan ini kemudian menjadikan Mu’tazilah sebagai aliran yang mencetuskan paham Manzilah baina al-Manzilatain. Bahwa pelaku dosa besar bukanlah muslim dan bukan pula kafir.

Ajaran ini adalah doktrin pertama dari lima pedoman dasar Mu’tazilah atau dikenal dengan Ushul al-Khomsah. Empat lainnya adalah al-Tauhid (pemkanaan atas sifat Tuhan tidak berdiri sendiri di luar Dzat-Nya) , al-‘Adl (keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al- Wa’id ( janji dan ancaman) dan Amar al-Ma’ruf wa nahi al-Munkar (Syahrashtani, 1951).

Mengacu pada prinsip kedua dan ketiga, Mu’tazilah menamai dirinya sendiri sebagai ahlu Ahl al-Tauhid wa al-‘Adl, yaitu golongan yang mempertahankan prinsip keesaan murni dan keadilan Tuhan. Al-Tauhid, adalah pembahasan tentang Dzat Tuhan dalam hal ontologi.

Penyatuan antara Dzat dan sifat Tuhan menjadi inti dari paham al-Tawhid yang mereka anut. Karena dengan begitu mereka hendak mensucikan Tuhan dari segala bentuk pensifatan yang bisa menyerupakan Tuhan dengan mahkluknya (antrophomorphisme).

Hal yang berkaitan dengan etika terletak pada asas selanjutnya, yaitu al-‘Adl. Prinsip ini awalnya merupakan analisis mereka atas perbuatan Tuhan. Al-‘adl juga dimaksudkan untuk mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan mahluk. Poin terpenting adalah keadilan merupakan perbuatan mutlak Tuhan, semua hal yang dilakukan oleh Tuhan adalah adil. Dengan begitu, Tuhan memperlakukan manusia secara adil (Mahmud Subhi, 2001 ).

Baca juga:  Kisah Abu Hasan Al-Asy’ari Keluar dari Muktazilah

Mu’tazilah mendefinisikan keadilan sebagai kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan secara benar dan berguna (Syahrasytani, 1951). Warna etikanya akan semakin kentara jika dibandingkan dengan pandangan Asy’ariyah yang mendefinisikan keadilan sebagai kemahakuasaan Tuhan berdasarkan kehendak dan keinginan-Nya.

Definisi Asy’ariyah akan merujuk pada sifat kodrat dan iradat Tuhan yang absolut dan tidak ada kaitan secara khusus dengan manusia. Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah yang menafsirkan seluruh perbuatan Tuhan melalui kacamata keadilan dan kebijaksanaan.

Keadilan Tuhan di dunia merupakan bagian dari kajian etika. Perspektif Mu’tazilah menyatakan bahwa Keadilan Tuhan di dunia dibagi menjadi dua hal, yaitu prinsip maslahat dan Rahmat. Tuhan yang maha Adil _oleh karenanya Tuhan juga maha baik_ melakukan segala hal berdasarkan kemaslahatan manusia maupun alam.

Semua tindakan-Nya ditujukan demi tujuan tersebut. Tidak ada satupun perbuatan Tuhan yang menyalahi prinsip ini, termasuk juga adanya bencana alam, sakitnya anak kecil atau bentuk-bentuk lain dari kejahatan fisik dan metafisik. Prinsip ini juga dikenal dengan As-Salah Wa al-Aslah (Nasution, 1986).

Kedua adalah prinsip rahmat (kasih sayang). Bentuk rahmat Tuhan termanifestasi dalam diberikannya akal, diturunkannya nabi dan syari’at kepada manusia. Maka, ajaran yang dibawa oleh nabi dan syari’at agama, isinya pasti etis dan bertujuan untuk kemaslahatan manusia.

Sebab itu, bagi golongan Mu’tazilah, keduanya tidak dapat bertentangan dengan akal. Manusia, dengan akalnya bisa menentukan sendiri apa yang baik dan seharusnya ia lakukan dan sebaliknya. Pada titik inilah ada unsur kebebasan manusia.

Karena prinsip perbuatan dibuat berdasarkan acuan kebijaksnaan rasional, maka nilai perbuatan dinilai dari hakikat perbuatannya, bukan subjek/pelakunya (Mahmud Subhi, 2001). Secara teoritis, misalnya, setiap orang yang berakal pasti tahu mengambil hak orang lain dengan paksa adalah perbuatan yang buruk.

Sisi positif dari penilaian berdasarkan hal ini adalah kita bisa lebih onjektif dalam menilai. Artinya bahwa kebaikan akan tetap bernilai baik walaupun dilakukan oleh seseorang yang dikenal buruk, pun sebaliknya.

Namun praktiknya, setiap perbuatan tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Ada pertimbangan lain seperti keadaan, waktu dan alasan yang menyertainya. Inilah yang disebut sebagai kebijaksaan rasional. Kesadaran seperti ini menjadikan kita lebih berhati-hati dalam menilai perbuatan seseorang dan tentu saja, dengan rendah hati akan berusaha mendengarkan alasan-alasan munculnya perbuatan tersebut.

Baca juga:  Teori Raos dalam Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram

Posisi Wahyu

“Pemakaian dan kepercayaan aliran Mu’tazilah terhadap kekuatan rasio menjadikan aliran ini bercorak liberal dalam ranah teologis. Namun, sungguhpun kaum Mu’tazilah bersikap demikian, mereka tetap tidak meninggalkan wahyu” (Nasution, 1986).

Jika akal dinilai sudah cukup untuk mengetahui baik dan buruk, lalu untuk apa wahyu diturunkan? Wahyu, bagi mu’tazilah adalah bagian dari bentuk kasih sayang Tuhan (Rahmat) kepada manusia. Wahyu berisi informasi-informasi dari Tuhan sebagai bahan pertimbangan bagi akal dan hal-hal yang sifatnya khusus.  Karena pada kenyataannya, tidak semua yang baik itu baik.

Contohnya seperti Nabi Nuh yang menginginkan anaknya selamat dari banjir. Tuhan berkata bahwa Nabi Nuh tidak seharusnya berdo’a bagi keselamatan anaknya, karena menurut wahyu ia bukan lagi anaknya. Wahyu juga berisi petunjuk bagi manusia dalam hal-hal yang sifatnya spiritual, seperti tuntunan ibadah mahdhoh.

Posisi wahyu yang seperti ini, menjadikannya tidak bersifat memaksa. Wahyu mengabarkan bahwa perbuatan tertentu bernilai. Sedangkan hakikat perbuatan dapat dicari dan dibuktikan oleh akal.

Pemberian akal ini mengandaikan bahwa Tuhan tidak serta merta menurunkan nilai baik dan buruk, kemudian menghukum atau memberikan pahala. Namun, akal menjadikan manusia bebas memilih karena ia telah mengetahui. Dan dengan begitu, manusia bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top