Ijtihaduka fi-ma dumina laka wa taqshiruka fi-ma tuliba minka dalilun ‘ala intimas al-bashirati minka. Manakala engkau bekerja keras untuk meraih hal-hal yang sudah dijaminkan untukmu, sementara engkau teledor untuk mengerjakan hal-hal yang merupakan, keharusan bagimu, maka itu adalah pertanda engkau kehilangan mata batin.
Pengertian Umum
Secara umum atau awam, ungkapan ini pada hakikatnya mengajarkan kepada kita pentingnya mempertajam mata batin. Dalam filosofi Jawa, ada istilah yang khas: eling lan waspada; ingat dan waspada. Manusia harus selalu waspada, agar tak tergelincir mengerjakan hal-hal yang kurang perlu, seraya mengabaikan perkara yang lebih “urgent”.
Dalam Buddhisme Zen, dikenal ajaran tentang mindfulness, kondisi selalu sadar dan awas, tidak lengah.
Manusia adalah makhluk yang berkesadaran. Sadar artinya adalah sadar mengenai sesuatu. Sadar adalah kegiatan mental yang berasal dari dalam diri manusia, dan mengarah keluar. Orang yang sadar berarti menyadari segala sesuatu yang ada di lingkungannya.
Seorang yang sadar kecil kemungkinannya untuk terpeleset. Seseorang yang terpeleset biasasanya karena dia lengah, tidak memperhatikan situasi di sekelilingnya. Sesuatu yang menyelamatkan manusia dari keterpelesetan adalah sikap waspada, awas, mindfulness. Sementara sikap yang membuat seseorang mudah jatuh adalah lalai, alpa, forgetfulness.
Saat seseorang sadar, tidak lengah, dia tahu mana yang perlu dilakukan, mana yang tidak. Dia mengerti skala prioritas. Dia mengerti mana yang mendesak, mana yang tidak. Dia akan memberikan perhatian yang lebih pada hal-hal yang mendesak dan penting. Hal-hal yang tidak perlu, tak akan mendapatkan perhatian terlalu besar darinya.
Seseorang yang sadar juga tahu mana hal yang mempunyai manfaat dalam jangka panjang, mana yang hanya memberikan rasa gratifikasi atau kepuasan dalam jangka pendek. Dia memberikan perhatian yang yang besar pada yang pertama, dan tak terlalu terkecoh dengan hal yang kedua. Orang yang sadar biasanya memiliki pandangan jauh ke depan, bukan pandangan yang pendek, short sighted.
Itulah kira-kira makna dari ungkapan bijak Syekh Ibnu Ataillah tadi. Jika engkau sibuk mengurus perkara yang gampang, karena sudah pasti dengan mudah bisa kau peroleh, dan mengabaikan hal yang lebih penting dan bernilai, tetapi harus kau perjuangkan dengan susah payah, maka itu pertanda kau lengah atas skala prioritas.
Artinya: engkau lebih memilih “comfort zone,” daerah yang nyaman. Engkau takut merambah hal baru, karena masih asing dan penuh resiko.
Pengertian Khusus
Manusia memiliki dua mata: mata lahir, dan mata batin. Mata lahir, dalam bahasa Arab, disebut basar. Mata batin disebut basirah. Mata lahir hanya mampu mengindera hal-hal yang kasat-mata (al-mahsusat). Mata batin mampu melihat hal-hal yang halus, lembut, subtil.
Jika Tuhan menghendaki hambanya menjadi orang yang baik, maka Dia akan menyibukkan mata lahirnya untuk berbakti kepada-Nya, dengan cara memanfaatkan indera mata untuk melihat hal-hal yang berguna dan memperkaya batin. Sekaligus Dia akan menyibukkan mata batinnya untuk mencintai-Nya.
Sebaliknya, jika Tuhan hendak merendahkan derajat seseorang, Dia akan menyibukkan mata lahirnya untuk menghamba pada hal-hal yang melulu bersifat material, permukaan, superfisial. Dia juga akan menyibukkan mata batinnya untuk mencintai hal-hal seperti itu. Baik mata lahir dan batinnya terperangkap pada hal-hal yang fisik dan material.
Orang kafir ialah dia yang mata batinnya telah terhapus sama sekali sehingga kehilangan kemampuan untuk melihat dan mencerap hal-hal yang rohani. Dia terpenjara pada yang materi. Dia tak mampu “menyeberang” dari yang materi kepada yang gaib dan non-materi. Materialisme adalah sebentuk kekufuran dan pertanda matinya mata batin.
Orang yang beriman harus bisa melamapaui yang materi itu. Sebab ciri orang beriman adalah percaya pada yang gaib, yang non-materi.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kebijaksanaan ini jelas: Manusia harus eling lan waspada. Sadar dan ingat terhadap hal yang bersifat inti dan sejati; waspada terhadap barang-barang yang hanya indah dan gemerlap di permukaan tetapi keropos di dalam.
Ada tiga poin yang bisa kita perdalam lagi dari bagian ini:
1. Manusia harus mengetahui prioritas dalam hidupnya. Mana yang harus didahulukan, mana yang harus dikemudiankan; mana yang akan memperkaya kehidupan batin dan akhiratnya; mana yang malah akan memperkeruhnya; mana yang yang akan membuatnya ingat pada tujuan hidup yang utama, mana yang justru akan membuatnya lalai.
Mengerti prioritas ini adalah pertanda bahwa mata batin kita awas, tidak buta. Orang yang tak tahu tujuan hidupnya, yang tak mengerti mana yang urgent dan mana yang tidak, ialah orang yang mata batinnya sedang mengalami kebutaan. Orang semacam ini akan mengalami kondisi lalai dan alpa.
2. Orientasi kehidupan orang beriman haruslah diarahkan kepada kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan di akhirat kelak. Sebab inilah kehidupan yang akan menjamin kebahagiaan yang sejati. Inilah kehidupan yang masuk dalam kategori ma tuliba dalam bahasa Syekh Ibnu Ataillah tadi. Yakni kehidupan yang seharusnya menjadi tujuan kita.
Sementara kehidupan di dunia sudah dijamin (ma dumina) oleh Tuhan. Dengan caranya sendiri-sendiri, orang pasti diberikan penghidupan atau rizki oleh Tuhan. Ada yang melimpah, ada yang sederhana. Tetapi jalan penghidupan selalu tersedia bagi manusia. Tak usah khawatir. Karena itu, kita tak perlu terlalu risau dengan kehidupan di dunia ini.
3. Ajaran Ibnu Ataillah ini bukan berarti mengajak kita, baik yang beriman atau tidak, agar bersikap fatalistik, nerima saja. Bukan. Yang mau diajarkan oleh beliau adalah: Janganlah menghabiskan seluruh fokus kehidupanmu pada kehidupan yang sekarang. Berpikirlah jangka panjang. Berpikirlah mengenai kehidupan yang abadi. Bersikaplah santai pada dunia ini, supaya kita tak mengalami tekanan batin.