Sedang Membaca
Ngaji Hikam: Don’t Jugde a Book By its Cover
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Ngaji Hikam: Don’t Jugde a Book By its Cover

Ma qalla ‘amalun baraza min qalbin zahidin, wa-ma katsura ‘amalun baraza min qalbin raghibin. “Pekerjaan yang lahir dari hati yang zuhud (jauh dari pamrih duniawi) tak akan sedikit nilainya. Sementara pekerjaan yang lahir dari hati yang penuh dengan pamrih duniawi, tak akan pernah memiliki nilai berarti.”

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibnu Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum
Ada dua jenis pekerjaan: pekerjaan yang dilakukan dengan tanpa pamrih apapun kecuali untuk Tuhan. Inilah pekerjaan seorang yang zahid, orang yang menjauhi pamrih duniawi; dan pekerjaan yang dilakukan dengan pamrih duniawi.

Pekerjaan yang dilakukan semata-mata untuk Tuhan, walau tampak hanya sedikit, memiliki nilai yang jauh melebihi pekerjaan yang dilakukan dengan pamrih duniawi. Walau pun pekerjaan yang terakhir ini terlihat mengagumkan dari segi penampilan fisik.

Dengan pengertian semacam ini, kita tak boleh terkecoh dalam menilai dan memandang sebuah pekerjaan. Sebab nilai pekerjaan bukan ditentukan oleh “façade”, penampilan luar. Nilai pekerjaan ditentukan oleh sesuatu yang terhalang dari penglihatan mata publik, yaitu oleh niat yang ada di hati dan ruang batin seseorang.

Boleh jadi kita melihat pekerjaan yang secara penampakan lahir mengagumkan karena seolah-olah dilakukan untuk membesarkan agama dan asma Tuhan, karena yang melakukannya adalah orang-orang yang memiliki reputasi besar dalam agama, karena pekerjaan bersangkutan memuat simbol-simbol keagamaan yang sangat kental, dan sejenisnya.

Baca juga:  Sabilus Salikin (164): Tarekat Haddadiyah

Tetapi jika niat pekerjaan itu tidak tepat, misalnya hanya untuk mengerek tinggi-tinggi ego kelompok, pamer kekuatan, ia tak memiliki nilai apapun di hadapan Tuhan.

Sebaliknya, boleh jadi kita menyaksikan sebuah pekerjaan yang seolah-olah tak memiliki nilai agama sama sekali, sebab bungkusnya sama sekali tak memuat label agama dan Tuhan, sebab yang melakukannya juga tak dikenal sebagai tokoh-tokoh agama.

Tetapi karena dilakukan dengan niat yang benar, tepat, semata-mata demi Tuhan, semata-mata dengan niat dan hati yang jujur, tanpa pamrih yang neko-neko, pekerjaan yang kelihatannya non-agama itu memiliki nilai yang lebih besar di mata Tuhan.

Dengan semangat dan pemahaman seperti ini, seorang beriman yang menjalani laku tasawuf tak mudah terpukau dan tertipu oleh penampilan lahir. Seseorang yang kesadaran dan mata rohaninya hidup, tajam bisa melihat sesuatu melampaui penampakan lahir. Dia tak akan tergoda untuk menilai sebuah tindakan karena merek, label, dan sampulnya saja.

Terhadap hal-hal yang ada di dunia ini, seorang sufi memang memiliki etos atau semangat “relativis”, dalam pengertian semua hal selain Tuhan di dunia ini ia pandang tak memiliki nilai yang mutlak. Hanya Tuhan saja yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya, “kasunyatan sejati”. Jika sebuah pekerjaan tidak ditambatkan pada Tuhan, maka ia hanya sebuah “simulacra”, sebuah bayang-bayang semu.

Pekerjaan yang benar-benar memiliki nilai dari sudut kehidupan rohani (bukan di mata publik) adalah pekerjaan yang ditujukan semata-mata untuk Yang Maha Mutlak.

Dengan sikap semacam ini, seorang sufi bisa terhindar dari rasa “gumunan”, kagetan, mudah silau oleh gemerlap dan kecemerlangan penampilan lahir dari suatu tindakan. Dalam filosofi Jawa kita kenal kebijaksanaan sederhana yang bunyinya: aja gumun. Filosofi ini bisa kita terjemahkan dalam bahasa yang populer sekarang: Jangan mudah tertipu oleh sampul luar. Don’t judge a book by its cover! Jangan menilai buku dari sampulnya. Sebab belum tentu yang ada di luar mewakili seluruh kenyataan. Selalu ada kenyataan di balik kenyataan.

Baca juga:  Hidup Tabah ala Ki Ageng Suryomentaram

Pengertian Khusus
Zuhud menurut ilmu tasawuf (mistik Islam) ialah: sikap hati yang dingin dalam berhadapan dengan obyek-obyek selain Tuhan (burudatull qalbi minasy syai’).

Zuhud adalah sikap hati yang “stoic”, tak tergerak oleh apapun yang sifatnya material. Seorang zahid adalah seseorang yang hatinya hanya menghadap dan tertarik pada hal-hal yang sifatnya rohaniah, hal-hal yang tak tampak oleh mata, yang gaib.

Sebab, salah satu sifat orang beriman, seperti berkali-kali ditegaskan dalam Alquran, adalah yu’minu bial ghaibi, mengimani sesuatu yang immaterial, tak kasat mata.

Menurut Syekh Ibnu Ajibah dalam Iqadzul Himam, syarah atas Kitab Hikam, pertanda seorang yang memiliki sikap zuhud ialah berikut ini: bagi orang semacam ini, emas dan pasir tak memiliki nilai yang berbeda. Keduanya, bagi orang yang zahid, adalah obyek duniawi semata. Dia bukanlah “kasunyatan yang sejati”, haqiqah, kenyataan yang sesungguhnya. Orang-orang yang zahid memiliki sikap yang dalam filosofi Jawa diungkapkan dengan istilah ini: ora kedonyan. Tidak terikat batinnya dengan dunia.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari sini ialah: Jangan mudah menilai sesuatu berdasarkan penampakan luar. Biasakan diri untuk bersikap “relativistik” terhadap hal-hal yang duniawi. Seorang beriman yang mata batinnya hidup dan awas selalu hanya melihat sesuatu yang ada di balik penampakan lahir. Dan karena itu ia tak mudah terkecoh.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top