Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ―Abd al-Karim bin Khalifah bin Ahmad bin Mahmud al-Jilli (1365 – 1428 M) masyhur dengan teori sufistiknya yaitu insan kamil (manusia sempurna). Ia mengenalkan konsep insan kamil menjadi dua pengertian: pertama, dalam pengertian konsep pengetahuan terhadap manusia sempurna. Kedua, tentang jati diri yang mengidealkan kesatuan nama dan sifat-sifat Allah dalam hakikat atau esensi dirinya.
Pada hakikatnya terdapat dua corak keagamaan yang mempengaruhi al-Jili, yakni corak tasawuf falsafi dan corak agama sunni. Keadaan inilah yang mempengaruhi pola pemikiran al-Jili, terlebih lagi tentang konsep insan kamilnya. Uraian al-Jili tentang insan kamil secara metodologis memang bercorak falsafi, sementara konklusi atau hasil yang diperoleh bercorak teologis (sunni). Corak pemikiran al-Jili bisa diasumsikan sebagai penela’ahan tasawuf falsafi yang dilatarbelakangi pemikiran sunni.
Abdul Karim al-Jilli mengutarakan bahwa manusia berpotensi menjadi sejati atau unggul dan sempurna melalui cara memaksimalkan potensi ruhhiyah atau spiritualnya. Untuk mengetengahkan konsepsi itu, Al-Jilli menyinggung teks suci al-Quran ; QS. Al-Hijr (15): 29 dan QS. At-Tin (96) : 4. Al-Jili memandang insan kamil tidak jauh berbeda dengan Ibn ‘Arabi yaitu sebagai wujud tajalli Tuhan. Pemikirannya tersebut didasari dengan asumsi bahwa segenap wujud yang ada ini hanya mempunyai satu realitas, dan realitas tersebut merupakan Wujud Mutlak.
Dalam persepektifnya, manusia merupakan makhluk sempurna disebabkan oleh fisiknya tercipta dalam bentuk yang paling indah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Sementara itu, kesempurnaan manusia lantaran potensi ruhiyyah-Nya. Perpaduan jasad dan rohani tersebut yang menempatkan manusia sebagai miniatur Tuhan di muka bumi.
Menurutnya pula, manusia dapat menggapai kesempurnaan insaniahnya melalui latihan rohani dan pendakian mistik. Latihan ini diawali dengan kontemplasi tentang nama dan sifat-sifat Allah. Kemudian masuk kedalam sifat-sifat Allah di mana ia mulai melangkah menjadi bagian dari sifat-sifat tersebut dan memperoleh kekuasaan yang luar biasa. Berikutnya, ia melintasi daerah nama serta sifat Allah, masuk kedalam hakikat mutlak menjadi manusia Allah atau insan kamil. Ketika itulah, matanya akan menjadi mata Allah, kata-katanya adalah kata-kata Allah, dan hidupnya menjadi hidup Allah. Kesemuanya ini didasari pada asumsi bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas, esensi murni yaitu wujud mutlak yang tak tergambar dan tergapai hakikatnya dengan segala pemikiran manusia yang fana.
Wujud mutlak tersebut lantas bertajalli secara sempurna menjadi alam semesta. Jadi, baginya, alam ini tercipta dari ketiadaan (creation ex nihilo) dalam ilmu Allah. Ketika dalam kesendirian-Nya, yang ada hanya Dzat Allah satu-satunya (bandingkan dengan pemikiran kaum filsuf). Dalam tajalli ini, manusia ideal merupakan sintesis dari makrokosmos yang permanen sekaligus aktual, cermin citra Allah secara paripurna. Untuk mencapai tingkat ini, seseorang harus bisa melewati tahapan pendakian spiritual (taraqqi) dimulai dari pengamalan dan pemahaman syari’at (rukun Islam) secara baik. Hal ini tentu dengan keyakinan pada rukun iman yang kokoh.
Dengan keduanya, seorang sufi lantas dapat memasuki tingkat kesalehan (al-salih) dimana terdapat kontinuitas dalam menunaikan ibadah kepada Allah atas dasar khauf dan raja’. Dari al-salih, seseorang meneruskan pada tingkat al-ihsan (kebajikan) yang terdiri dari tujuh maqam : taubat, inabah, zuhud, tawakkal, ridha, tafwidh, dan ikhlas. Pada tingkatan ini seseorang mulai disinari oleh perbuatan-perbuatan Allah.
Beranjak dari tahapan ihsan, seorang sufi dapat naik ke tingkatan penyaksian (al-syahadhah) yaitu hati dipupuk kemauan dan cintanya pada Allah Swt. dengan senantiasa mengingat-Nya dan melawan segala bentuk hawa nafsu. Puncaknya, seorang sufi akan memasuki tingkat kebenaran (al-shiddiqiyah) atau ma’rifat yang memiliki tiga bentuk, yakni : ilmu al-yaqin (seorang sufi akan disinari asma Allah), ayn al-yaqin (seorang sufi akan disinari sifat-sifat Allah) dan haqq al-yaqin (seorang sufi akan disinari zat Allah). Dengan begitu diri sufi akan fana di dalam asma, sifat dan zat Allah. Setelah ma’rifat, seorang sufi dapat meneruskan ke maqam qurbah, yakni merangkak sedekat mungkin dengan Allah hingga sampai pada derajat insan kamil.