Pemaknaan kata jihad sering kali ditujukan hanya pada memerangi orang kafir. Memang hal itu tidak salah. Namun, jihad tidaklah sesempit itu. Makna Jihad tidak hanya berhenti pada memerangi orang kafir.
Secara bahasa jihad adalah bentuk isim masdar dari kata jaahada-yujaahidu, jihaadan, mujahadah. Secara etimologi jihad berarti mencurahkan kemampuan atau dengan kata lain bersungguh sungguh.
Menurut Quraish Shihab, Jihad diambil dari kata jahd, yang berarti lebih atau sukar (Quraish Shihab, 2007:661). Memang jihad adalah sesuatu yang tidak mudah, perkara yang mengharuskan seseorang untuk mencurahkan segala kemampuanya.
Terdapat pula hadis Nabi Muhammad yang menjelaskan Jihad melawan hawa nafsu, meskipun secara sanad dinilai lemah akan tetapi makna hadis tersebut dinilai lemah akan tetapi makna hadis tersebut shahih dengan dikuatkanya dengan qoul para ulama salaf
Sahabat Jabir telah datang kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, “Orang-orang yang baru berperang?’ Maka Rasulullah SAW berkata, “Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya, “Apakah jihad besar itu?” Beliau menjawab, “Jihadnya seorang hamba melawan hawa nafsunya.”
Dalam kitab karangan syekh nawani bantani yang berjudul qomiutughyan syarh sya’bul iman dijelaskan bahwasanya Jihad tidak hanya terpaku pada memerangi orang kafir, melainkan juga melawan hawa nafsu juga menjadi salah satu Jihad yang besar. Bahkan lebih utama ketimbang memerangi orang kafir.
Secara rinci dijelaskan oleh Gus Yusuf bahwa melawan hawa nafsu dalam hal menghindari kelezatan dalam hal makanan. “Ngrowot termasuk mujahid, makan enak-enakan diampet itu namanya jihad” tutur Gus Yusuf dalam pengajianya. “ora mangan sego, iwak-iwakan” tambahnya.
Tentunya hal itu sebagai pembakar semangat para santri yang menghadiri majelis tersebut. Dimana pondok pesantren yang diasuh oleh Gus Yusuf memiliki suatu riyadhah tersendiri yakni ngrowot. Ngrowot adalah hidup tanpa nasi. Berpuasa dengan cara hanya makan umbi-umbian.
Ngrowot telah menjadi tradisi di beberapa pondok pesantren salaf khususnya Pondok Pesantren API Salaf Tegalrejo yang diasuh oleh Gus Yusuf tersebut. Bahkan tidak sedikit para alumni pondok tersebut yang masih mengamalkan puasa ngrowot.
Ngrowot tidaklah mudah, sebab diwajibkanya pelaku untuk menghindari makanan yang berbahan dasar beras. Di API sendiri beras diganti dengan nasi jagung. Memang puasa Ngrowot tidak disyariatkan oleh agama Islam, tetapi bukan menjadi alasan jika puasa Ngrowot adalah puasa yang dilabeli haram oleh agama Islam.
Selain sebagai mujahadah nafsu, ngrowot juga sebagai bentuk penghargaan atas segala ciptaan allah dengan tidak bergantung atas satu bahan pokok makanan saja, melainkan juga dapat mengonsumsi makanan yang berbahan selain beras.
Para pelaku puasa ngrowot meyakini bahwa dengan laku tirakatnya (puasa ngrowot) akan mendapatkan futuh kefahaman dan keberkahan ilmu. Tak asing jika banyak dari mereka itu beranggapan bahwa “ilmu kuwi yo perlu ditirakati ben berkah”.
Puasa Ngrowot juga dapat menjadi antitesis dari gaya hidup hedonis. Gaya hidup hedonis memiliki sifat dan karakteristik perilaku atau budaya yang menginginkan kehidupan penuh dengan kesenangan, yang cenderung menyerang remaja (Pontania,2016:6).
Ditambah dengan berbagai masalah kontemporer yang mendegradasi manusia, seperti halnya konsumerisme yang kian merebak ke berbagai kalangan, belum lagi munculnya berbagai paham keagamaan yang memiliki pemahaman sempit dalam memaknai kata jihad. Penulis menamai kaum ini dengan kaum sumbu pendek.
Maka dari itu, Gus Yusuf ngendiko bahwasanya Ngrowot itu juga jihad. Sebab harus menahan nafsu yang menggiring untuk mengonsumsi berbagai makanan yang lezat. Dan perlu diketahui, jihad melawan hawa nafsu lebih utama ketimbang jihad memerangi orang kafir.