Peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw beberapa waktu yang lalu memang sangat meriah dan terasa berbeda dengan hari-hari yang lain. Sejak malam 1 hingga 12 Rabiulawal, kaum Muslim di negeri ini mulai dari pedesaan sampai perkotaan menyelenggarakan acara maulid. Peringatan maulid Nabi ini juga dijadikan hari libur nasional.
Meski sungguh meriah, perayaan maulid Nabi tahun ini agaknya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya lantaran ada insiden bom bunuh diri di Afganistan saat acara maulid sedang berlangsung. Meski kejadian ini dapat dimaklumi lantaran Afganistan sendiri termasuk negara konflik, tetapi tidak lantas membuat umat Islam diam dan tidak memiliki rasa kepedulian sama sekali.
Terlepas dari insiden memilukan di atas, acara maulid Nabi tampaknya akan terus dirayakan oleh segenap umat Islam di seluruh penjuru dunia. Istilah “maulid” sendiri digunakan untuk menunjuk pada kegiatan pembacaan selawat dan tak jarang dibumbuhi dengan ceramah tentang sejarah Nabi Muhammad Saw untuk mengambil pelajaran dari kebijaksanaan hidup sang Nabi tersebut.
Kata “maulid” bermakna kelahiran, yakni sebuah tradisi yang diselenggarakan untuk memperingati atau merayakan hari kelahiran manusia paling sempurna di mata umat Islam, yaitu Rasulullah Saw.
Dari istilah maulid ini muncul berbagai kosakata dalam masyarakat Jawa seperti mulud/muludan untuk menyebut bulan Rabiulawal.
Di wilayah pedesaan, ada yang menyebut pembacaan selawat Nabi ini dengan istilah “berjanjen”. Istilah ini sebenarnya diambil dari sebuah karya berjudul al-Barjanjiy yang dikarang oleh Imam Ja’far al-Barjanjiy. Umumnya, karya-karya yang dibaca seperti Burdah, Simtuddurar, Asyaful Anam, al-Barjanjiy adalah sama, yakni bait-bait syair tentang Nabi beserta kehidupan sucinya.
Secara historis, khususnya jika melihat acara sekatenan, tradisi maulid di Nusantara tampaknya sudah ada sejak masa Kerajaan Islam Demak pada abad ke-15 M. Acara sekaten sendiri diselenggarakan setiap sesi mulud atau bulan Rabiulawal. Sekaten juga disebut sebagai sub-budaya dalam tradisi maulid yang mewujud dalam penyelenggaraan pasar rakyat di malam hari dan acara religi.
Seiring berjalannya waktu, tradisi maulid melalui pembacaan shalawat berkembangan di tengah masyarakat muslim. Hal ini dapat dilihat melalui acara-acara hadrah maupun kegiatan bershalawat di banyak kota besar. Seni hadrah lalu menjadi trend yang begitu membuming di tengah masyarakat kita, mulai dari masyarakat lapisan bawah sampai atas. Dan, pembacaan selawat Nabi ini menjadi tidak terbatas pada perayaan maulid semata.
Sebenarnya masyarakat yang merayakan tradisi maulid ini adalah kelompok Muslim tradisional atau lebih khusus lagi dilakukan oleh warga Nahdliyin, Muhammadiyah sendiri tidak merayakannya tetapi juga tidak melarangnya apalagi mengharamkannya. Sementara kelompok tradisional yang merayakannya adalah sekumpulan komunitas muslim yang wujudkan dirinya dalam lembaga-lembaga kebudayaan.
Dalam konteks Islam kultural di atas, komunitas Muslim tradisional dapat mewujud dalam berbagai bidang, seperti dakwah, pendidikan, pesantren, kebudayaan dan seni.a
Malahan, Islam kultural ini sangat identik dengan “Islam ritual” yang dalam pandangan Azyumardi Azra tidak memiliki hubungan dengan politik dan kekuasaan.
Mengutip M. Dahlar (2017), pembacaan maulid atau doa bersama (baca: selamatan) sudah dimiliki bangsa Indonesia sejak lama. Sebuah survie di akhir abad ke-19 di pedalaman Jawa mulai dari Banyumas sampai Kediri menyebutkan ada tiga jenis tradisi selamatan yang sudah dijalankan oleh masyarakat.
Pertama, dilakukan pada hari-hari keagamaan seperti selamatan bakda haji, sasi mulud atau Rabi’ul Awal, bakda Syawal dan Ramadhan.
Kedua, selamatan yang digelar untuk siklus kehidupan seperti mitoni, brokohan, puput puser, dan lain sebagainya. Ketiga, selametan untuk kepentingan menjaga harmoni kehidupan manusia dengan alam seperti sedekah bumi dan bersih desa.
Solidaritas Kebangsaan
Tradisi maulid sebenarnya tidak hanya memperkenalkan bagaimana kehidupan Nabi Muhammad Saw kepada segenap umat Islam. Tradisi ini dilakukan sebagai upaya untuk mencintai Nabi dan bermaksud mencontoh akhlak mulia sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Tradisi ini juga dimaksudkan untuk semakin mendekatkan umat Islam kepada Nabinya dengan cara menumbuhkan rasa cinta dan teladan. Melalui majelis maulid ini juga dapat menjadi media solidaritas lintas golongan untuk mewariskan nilai-nilai keindonesiaan. Dengan kata lain, maulid menjadi sarana aksi kemanusiaan dan solidaritas sosial serta keadilan bersama dalam kehidupan bermasyarakat secara majemuk.
Kondisi-kondisi yang mengarah pada keharmonisan, atau orang Jawa menyebutnya sebagai “rukun” harus menjadi dasar dalam perayaan maulid Nabi ini. Nilai-nilai kerukunan inilah sebenarnya yang menjadi awal dari merajut kebangsaan kita.
Ahmad Baso (2013) juga menegaskan bahwa nilai rukun ini juga menjadi benteng proteksi NKRI dari segala ancaman manapun, baik dari dalam maupun dari luar.
Di samping itu, solidaritas kebangsaan ini juga harus ditanamkan dalam konteks lintas golongan. Artinya, di tengah-tengah problem kebangsaan yang akut, baik problem politik, ekonomi dan sosial, sudah selayaknya maulid ini memiliki kontribusi untuk penguatan nilai-nilai kebangsaan kita.
Disadari atau tidak, kehadiran Islam tradisional yang terwujud dalam berbagai ritus keagamaan seperti kegiatan selawat Nabi sebenarnya merupakan aset berharga yang dimiliki umat Islam Indonesia saat ini. Oleh karena itu, hadirnya kelompok ini dengan segala kegiatannya, juga dapat menjadi payung teduh bagi nilai-nilai kebangsaan.