Sedang Membaca
Peran Polisi dalam Amar Makruf dan Nahi Munkar
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Peran Polisi dalam Amar Makruf dan Nahi Munkar

Ezywbzzvoaiig9c

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun secara konstitusional, Indonesia bukan Negara Islam. Kendati demikian eksistensi syariat atauhukum Islam telah membumi bagi sebagian masyarakat Indonesia. Secara sederhana Syariat Islam adalah kode etik yang diikuti oleh umat Islam berdasarkan dua sumber rujukan utama yakni Alquran dan Sunnah Nabi, selain dari sumber lain yakni Ijma (konsensus) dan Qiyas (penalaran analogis).

Syariat menetapkan aturan hukum untuk membimbing manusia menuju perbuatan baik (Ma’ruf) dan meninggalkan kejahatan (Munkar). Singkatnya, syariat bertujuan untuk mendorong kesuksesan dan kesejahteraan umat manusia baik dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Syariat mengacu pada totalitas perintah agama, dan memberikan kedudukan tertinggi untuk evaluasi pada ketentuan agama, dari seluruh urusan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat.

Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat ideal sebagaimana perintah syariah, pada masa pemerintahan nabi Muhammad ada lembaga khusus yang bertugas untuk mentertibkan hal-hal yang mengganggu kepentingan masyarakat (amar ma’ruf nahi munkar). Lembaga ini dikenal dengan nama hisbah. Lembaga ini tidak hanya menertibkan hal-hal yang menganggu kepentingan masyarakat, akan tetapi juga mengadili pelaku pelanggaran tersebut.

Adapun dalil yang mengharuskan tentang adanya lembaga hisbah ini adalah  al-Qur’an surah Ali Imran ayat 104 yang artinya; “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Al-Qur’an Surah An-Nahl: 90, yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Dasar hukum berupa hadis yaitu; Nabi Muhammad SAW bersabada: “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika ia tidak bisa, maka rubahlah dengan mulutnya. Jika ia tidak bisa juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Baca juga:  Analogi Gerakan Salat dalam Manuskrip Samarkandi

Tugas dari lembaga hisbah adalah memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas hisbah, mengawasi perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif dan norma-norma kesusilaan. Di antaranya adalah memerintahkan orang untuk menunaikan salat lima waktu tepat pada waktunya dan menjatuhkan sanksi bagi orang yang tidak menunaikan salat dengan hukuman cambuk.

Selain itu muhtasib bertugas, memerintahkan orang berkata jujur dan benar, menunaikan amanat dan mencegah kemungkaran seperti mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan pedagang pasar. Meskipun pada umumnya tugas muhtasib adalah amar ma’ruf nahi munkar, namun terdapat perbedaan dengan orang yang bertindak atas sukarela, yaitu:

Pertama, Menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah suatu kewajiban (fardu ‘ain) bagi muhtasib karena ia diangkat untuk hal itu. Sedangkan untuk orang lain merupakan fardu kifayah. Kedua, Muhtasib adalah orang yang ditugaskan untuk bertindak atas orang yang berbuat kemungkaran dan wajib memberi bantuan bagi orang yang membutuhkan bantuannya. Sedangkan orang yang bertindak secara sukarela tidak diharuskan kecuali dalam keadaan darurat.

Ketiga, Muhtasib harus membahas dan meneliti kemungkarankemungkaran yang nyata untuk mencegah terjadinya perbuatan itu, sebagaimana dia harus memeriksa perbuatan-perbuatan ma’ruf yang tidak dikerjakan oleh orang yang harus mengerjakan. Seperti Salat Jum’at bagi orang yang tidak melaksanakannya akan mendapat peringatan. Keempat, Muhtasib dapat mengangkat beberapa pegawai untuk menjalankan tugas hisbah dan dia diberi hak untuk menjalankan hukuman ta’zir terhadap orang-orang yang mengadakan kemungkaran.

Pada masa nabi Muhammad, kekuasaan seorang hakim dan penjaga ketertiban ditangani oleh orang yang sama, yakni dipegang oleh kepala negara. Pada saat itu, Nabi sebagai seorang kepala Negara sekaligus menangani beberapa fungsi yang diantaranya adalah fungsi hakim dan fungsi hisbah. Pada awal pemerintahannya, nabi memegang sendiri tugas muhtasib ini, namun ketika tugas-tugas pribadi beliau semakin bertambah beliau menunjuk sahabat Ibnu al-As ibn Umayyah ra. untuk bertugas sebagai muhtasib di Makkah dan sahabat Umar bin Khattab ra. ditugaskan di Madinah.

Baca juga:  Pendidikan Pesantren (2): Tradisi Sanad dan Mentalitas Santri

Tidak jarang Nabi saw. sendiri mengadakan inspeksi langsung ke tempat-tempat strategis. Contohnya, beliau saw. pernah melakukan inspeksi mendadak ke suatu pasar di Madinah. Dalam inspeksi ini, beliau saw. mendapatkan seorang pedagang yang menyembunyikan makanan yang basah karena hujan dan mencampurnya dengan makanan yang kering di atasnya. Sistem ini masih berlaku di masa pemerintahan khalifah Abu Bakar ra. Namun, seiring dengan semakin luasnya kekuasaan Islam, sistem pemerintahan pun berubah di masa Amirul mukminin Umar bin Khattab ra. Pada masa pemerintahannya, amir al-mukminin membentuk lembaga penting (departemen) yang di antaranya adalah Lembaga Kepolisian (Diwan al-Ahdath), Lembaga Peradilan (al-Qady), Departemen Pertahanan dan Keamanan (Diwan al-Jundy), di mana Lembaga Kepolisian bertugas menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Berdirinya lembaga-lembaga tersebut menunjukkan bahwa pada masa Amirul mukminin telah terjadi pemilahan antara dua fungsi penegak hukum, yakni Lembaga Kepolisian, dengan Lembaga Peradilan. Sistem kelembagaan ini masih belaku sampai pada masa pemerintahan khalifah ‘Ali ra. Namun pada pemerintahan masa ini terdapat perkembangan, yakni telah disebarkan intel (mata-mata) di daerah-daerah. Tujuannya untuk menjaga keamanan daerah.

Pada masa pemerintahan Bani Umayah, hisbah berfungsi sebagai lembaga yang mengadili perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran ringan. Ini semisal kecurangan dalam perdagangan dan penipuan di pasar, maupun perkara yang berhubungan dengan al-ahwal alsyakhsiyyah (hukum perdata). Pejabat kepolisian (sahib syurtah) berada di daerah-daerah membantu gubernur dalam menjaga keamanan dan ketertiban daerah.

Baca juga:  Dakwah dengan Kata Kotor Berakibat pada Dampak Psikologis

Di Indonesia, Polisi dalam menjalankan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat memiliki tanggung jawab menciptakan suatu kondisi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Menurut pendapat Subroto Brotodiredja sebagaimana disitir oleh R. Abdussalam mengemukakan bahwa, keamanan dan ketertiban adalah keadaan bebas dari kerusakan atau kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan memberikan rasa bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian dan rasa kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan yang bebas dari pelanggaran norma-norma hukum.

Selain sebagai alat penegak hukum, polisi juga berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara RI juga memiliki kewenangan yang salah satu di antaranya adalah mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat. Begitu luas tugas kepolisian hingga hampir di segala aspek kehidupan masyarakat merupakan bagian dari tanggung jawab polisi

Pada era reformasi Polri lebih terfokus pada pengabdian dan pelayanan terhadap rakyat, tidak ikut serta dalam percaturan politik (netral). Sebagai lembaga pemerintah yang otonom, Polri dapat mengambil kebijakan tanpa pengaruh dari lembaga lain. Sehingga dapat dengan leluasa bergerak dan berkembang dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, yang diperlukan Polri bukan sekedar melakukan reposisi dan re-organisasi, melainkan juga reevaluasi, reorientasi dan redefinisi peran, dengan senantiasa menempatkan otoritas hukum serta keamanan masyarakat yang dilayani dan dilindungi, sebagai utamanya.

Dari penjelasan tersebut tampak bahwa muhtasib dalam Islam dan Polri mempunyai tugas yang hampir sama, yakni sebagai penegak hukum serta penjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Akan tetapi karena hukum yang ditegakkan oleh muhtasib dalam Islam adalah hukum Islam yang meliputi segala aspek kehidupan masyarakat, baik muamalah maupun ubudiyah, maka cakupan tanggung jawab polisi dalam Islam lebih luas daripada Polri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top