Tanggal 8 Maret kemarin, kita bersama-sama memperingati Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini kian tahun semakin relevan saja, mengingat kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat tiap tahunnya. Melihat catatan tahunan 2020 Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2017, naik menjadi 406.178 kasus di tahun 2018, dan meningkat lagi menjadi 431.471 kasus di sepanjang 2019.
Sebagai kaum muslim, bagaimana kita menyikapi persoalan ini? Benarkah memang jika perempuan pertama (Sayyidah/Siti Hawa) itu tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam? Lalu hal ini menjadi legitimasi bahwa perempuan menjadi manusia kelas dua, lalu berhak didominasi perannya oleh laki-laki? Lebih parahnya lagi, kemudian patutkah perempuan selalu menjadi objek kekerasan seksual?
Maka mari kita coba telaah ulang pemahaman Alquran dalam Surat An-Nisa’ Ayat 1, yang lazim menjadi teologi pembenaran terhadap asal usul kaum hawa. Lalu coba kita komparasikan beberapa penafsiran, di mana Alquran sendiri selalu relevan dengan semangat zaman.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan Kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah. kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling beradu sumpah, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.”
Ibnu Jarir At-Thabari (224-310 H/839-923 M) dalam kitab Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, memaknai frasa nafs al-wahidah (jiwa yang satu) merupakan Nabi Adam. Lalu pada frasa selanjutnya wa khalaqa minha zaujaha (yang telah menciptakan darinya istrinya), yang telah menciptakan dari jiwa yang satu, yakni berupa istri (baca: mahluk) kedua bagi Adam. Menurut pendapat ahli ta’wil ialah istri Nabi Adam, yaitu Siti Hawa.
Bahkan Ibnu Katsir (701-774 H/1301-1373 M) dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim menjelaskan wa khalaqa minha zaujaha (yang telah menciptakan darinya istrinya), yaitu Hawa ‘alaiha salam yang diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam yang sebelah kiri bagian belakang, saat Adam lagi tidur. Ketika bangun sontak ia kaget setelah melihat Hawa, lantas seketika itu Adam menyukainya, begitupun dengan Hawa juga menyukai Adam.
Meminjam penerjemahan Ust. Ahmad Muntaha AM atas kitab Hasyiyyah al-Shawi ala Tafsir al-Jalalain (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, w. 1241 H) dalam mengisahkan penciptaan Hawa dari tulang rusuk kiri Nabi Adam. Setelah Adam terlelap dalam tidur, kemudian salah satu tulang kirinya diambil tanpa terasa sakit sedikitpun.
Setelah bangun, tiba-tiba mendapati sosok wanita di sampingnya. Seketika itu hati Adam tertarik dan spontan hendak mengulurkan tangan kepadanya. Namun malaikat menyegah: “jangan wahai Adam, sampai engkau memenuhi maharnya”. “Maka apa maharnya?” tanya Nabi Adam. “Sampai engkau membaca shalawat bagi Nabi Muhammad Saw” jawab Malaikat.
Hal ini di dipertegas oleh Hadis Shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya wanita itu dijadikan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Maka jika kamu bertindak untuk meluruskannya. niscaya kamu akan membuatnya patah. Tetapi jika kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan.”
Pandangan mayoritas ulama tafsir ini menarik bila disandingkan dengan penafsiran tokoh kontemporer seperti M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (2006). Menurutnya pemahaman bahwa istri (Siti Hawa) Nabi Adam diciptakan dari Adam sendiri, sebagaimana pendapat ulama terdahulu, menimbulkan pandangan negatif terhadap perempuan jika ia merupakan bagian dari laki-laki.
Banyak pula mufassir menyatakan bahwa Siti Hawa berasal dari tulang rusuk Nabi Adam sebelah kiri yang berbentuk bengkok, lalu pandangan ini diperkuat dengan hadis sebagaimana disebut di atas yang dipahami secara literalis. Namun tidak sedikit ulama kontemporer yang memahaminya secara metaforis.
Bahwa hadis tersebut mengingatkan kaum pria agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda dengan laki-laki. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu, kalaupun ada yang berusaha mengubahnya bisa berakibat fatal. Seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok, bila dipaksakan bisa patah.
Justru ide kelahiran Siti Hawa dari tulang rusuk Adam, menurut Rasyid Ridha, timbul dari kisah dalam Kitab Perjanjian Lama. Di mana sewaktu Adam tidur lelap, Allah mengambil sebilah tulang rusuknya lalu menutup kembali dengan daging. Dari tulang rusuk itulah Tuhan menciptakan seorang perempuan.
Quraish Shihab kembali menegaskan bahwa frasa wa khalaqa minha zaujaha (yang telah menciptakan darinya istrinya) itu dari nafs al-wahidah (jiwa yang satu), mengandung makna pasangan suami-istri hendaknya menyatu menjadi diri yang satu. Yakni menyatu dalam perasaan dan pikiran, cita dan harapannya, gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya.
Selanjutnya, tokoh kontemporer Amina Wadud menilai konsep penciptaan laki-laki dan perempuan dalam Surat An-Nisa’ ayat 1 ini tergolong ayat-ayat alegoris (mutasyabihat) yang tidak dapat ditentukan secara empiris. Dalam buku Qur’an and Women (1992) mengulas tentang term nafs dan zauj, yang baginya bersifat esensial dari setiap orang yakni laki-laki maupun perempuan.
Hanya saja ayat ini lebih menegaskan asal dari keseluruhan manusia adalah nafs (jiwa) yang satu, yang merupakan bagian dari suatu sistem kesatuan pasangan, berupa nafs dan zauj-nya.
Pada akhirnya, perempuan sebetulnya bukan sekedar tulang rusuk dari seorang laki-laki, yang sumber pemahamannya berasal dari kisah israilliyat dan kemudian diperkuat dengan pemahaman hadis secara tekstual. Karena sama dengan laki-laki, bahwa perempuan adalah manusia seutuhnya.
Alquran pun dalam menilai derajat seorang hamba tidak berdasarkan aspek seksualitasnya, tapi menurut seberapa derajat ketakwaan diri seorang. Maka tidak dibenarkan mendominasi perempuan dalam segala ranah kehidupan, mensubordinasi menjadi buruh murahan, mendomestifikasi peranan dan kemampuan.
Lalu mengobjektifikasi lewat narasi kecantikan, di mana tubuh perempuan dari ujung rambut sampai ujung kaki menjadi pasar bagi produk yang semestinya tak begitu diperlukan. Hingga selanjutnya masih saja kaum perempuan menjadi objek kekerasan seksual di ranah privat maupun publik.
Maka sudah seharusnya Negara hadir, dan kita sama-sama mendorong, dengan segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pada intinya adalah untuk mengangkat martabat perempuan, yang sejalan dengan tugas khalifah dalam mengemban tugas profetik kenabian. Wallahhu a’lam.