Sedang Membaca
Ulama Banjar (8): Tuan Guru H. Abdurrasyid
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (8): Tuan Guru H. Abdurrasyid

Tuan Guru H. Abdurrasyid Png

Nama Tuan Guru Haji Abdurrasyid sangat tersohor. Beliau dikenal bukan karena keulamaannya saja, melainkan juga dikenal sebagai pendiri pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha). Rasyidiyah diambil dari nama beliau sendiri. Ulama besar ini telah melahirkan ulama-ulama muda yang dari masa ke masa giat mengembangkan syiar Islam. Di lingkungan Pesantren beliau dipanggil Mualim Wahid yang berarti Guru Utama.

Tuan Guru Abdurrasyid dilahirkan di Desa Pekapuran Amuntai pada tahun 1884. Sebagai anak tunggal beliau dipelihara oleh kedua orang tuanya dengan baik dan dalam suasana kesederhanaan. Sejak kecil beliau sudah sangat rajin belajar. Pada usia 7 tahun sudah khatam Alquran. Dalam menuntut ilmu agama, beliau belajar pada ulama-ulama besar baik yang ada di sekitar tempat tinggalnya maupun yang ada di daerah lain. Beliau pernah berguru pada Tuan Guru Haji Umar Awang Padang Kelua, Tuan Guru Ahmad Sungai Banar Amuntai, Tuan Guru Jaferi bin Umar Teluk Betung Alabio, dan Tuan Guru Abdul Rahman Pasungkan Nagara serta banyak lagi ulama-ulama lainnya.

Dalam usia dua puluh tahun beliau menikah dengan Siti Fatimah anak Abdurrahman Sidik dan Masayu, orang yang terpandang di masyarakat. Fatimah mempunyai seorang saudara bernama Abdul Kadir. Perkawinan Tuan Guru Abdurrasyid dengan Fatimah membuahkan enam orang anak, masing-masing bernama Zahrah, Muhibbah, Ramli, Zuhriah, Asnah, dan Ahmad Nabhan.

Setelah kawin dan dikaruniai 4 orang anak (sebelum Asnah dan Ahmad Nabhan lahir), atas restu keluarganya Abdurrasyid pergi ke Mesir bersama sahabatnya H. Mansur dari Johor dengan menumpang kapal laut pada tahun 1912. Haji Abdurrasyid orang yang pertama belajar di Universitas Al-Azhar. Beliau berhasil mengantongi Syahadah Al Alamiyah Lil Ghuraba. Di Kairo beliau sempat menyusun kitab Perukunan. Hasil dari penjualan kitab tersebt sebagian beliau pergunakan untuk membiayai keperluan studinya di samping beasiswa yang telah diperolehnya dari Universitas. Untuk Menambah penghasilannya beliau bekerja pada sebuah restoran di kota Kairo, mendistribusikan roti kepada pelanggan dan membantu penerbit dengan men tashih beberapa karangan yang dicetak dengan bahasa Melayu.

Baca juga:  Esais Muda Pesantren (1): KH. Mohammad Nizam As-Shofa: Peran dan Kontribusinya dalam Islam Melalui Syi’ir Tanpo Waton

Setelah bermukim selama sepuluh tahun di pusat pendidikan Islam itu Tuan Guru Abdurrasyid kembali ke tanah air dengan terlebih dahulu singgah di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sejak tiba kembali di kampung halamannya pada tahun 1922, beliau memfokuskan perhatiannya pada bidang pendidikan. Sejalan dengan kehendak masyarakat masa itu, maka pada tanggal 13 Oktober 1922 beliau mulai membuka pengajian agama dengan mengambil tempat di rumah mertuanya. Model pengajiannya menggunakan sistem halqah di mana santri duduk bersila mengelilingi guru yang memberikan pelajaran.

Pada tahun 1924 dengan bantuan berbagai pihak beliau membangun sebuah langgar bertingkat dua yang terletak di tepian sungai Tabalong, tidak jauh dari rumahnya. Selain untuk shalat, langgar ini juga berfungsi sebagai tempat pengajian umum yang dilaksanakan setiap hari Sabtu mulai jam 10. 00 pagi diakhiri dengan shalat zuhur berjamaah. Mulai dari langgar inilah Tuan Guru Abdurrasyid mendirikan sekolah Islam yang dikelola secara modern. Sekolah yang dikelolanya memiliki lima lokal dengan perlengkapan belajar menggunakan meja, kursi dan papan tulis. Seiring dengan perkembangan pendidikan yang kiat diminati, maka dibukalah sekolah tingkat Tsanawiyah.

Pada tahun 1926 Tuan Guru Abdurrasyid mendirikan gedung baru yang letaknya tidak jauh dari lokasi sekolah sebelumnya. Bangunan sekolah tersebut berbentuk “U” terdiri dari enam lokal yang dilengkapi dengan peralatan yang modern. Biayanya sebagian berasal dari pribadi beliau sendiri dan sebagian bantuan masyarakat, hingga berhasil dihimpun 7.000 golden. Di awal tahun 1928, sekolah itu resmi diberi nama Arabische School, dengan jenjang pelajaran dinaikkan hingga tingkat Aliyah. Pendirian Arabische School bertujuan untuk mencetak kader pendidik, guru, mubaligh dan pemimpin masyarakat. Dalam mengelola sekolah ini, Tuan Guru Abdurrasyid mengajak kalangan ulama untuk berpartisipasi sebagai guru di Arabische School tersebut.

Baca juga:  Kiai Najmuddin Kapurejo: Kiai Tirakat, Kiai Lakon

Arabische School mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sekolah ini beberapa kali mengalami pergantian nama. Ketika beliau menyerahkan pesantren tersebut kepada Tuan Guru Juhri sulaiman (1931-1941), namanya diubah menjadi Al-Madrassatur Rasyidiah. Pemberian nama ini adalah untuk mengenang jasa pendirinya yaitu Tuan Guru Abdurrasyid. Ketika M. Arief Lubis (dari Sumatera) memimpin pesantren tersebut (1942-1944), pelajaran ilmu pengetahuan umum dimasukkan dan nama pesantren itupun diubah menjadi Ma’had Rasyidiyah. Pada masa kepemimpinan KH. Idham Chalid (sejak 1945) namanya dirubah lagi dengan Normal Islam, kemudian diganti menjadi Rasyidiyah Khalidiyah yang disingkat dengan Rakha (1963). Sistem dan metode pendidikannya disesuaikan dengan pendidikan dan pengajaran Pondok Modern Gontor Ponorogo.

Tuan Guru Abdurrasyid pernah pula memimpin sebuah sekolah yang bernama Al-Madrasah Al Wathaniah di Kandangan. Sekolah tersebut didirikan oleh muridnya yaitu M. Subeli yang pernah belajar di Arabische School. Beliau juga membuka pengajian umum untuk masyarakat dan para ulama di kota itu. Kemudian atas inisiatif murid-muridnya, yaitu M. As’ad dan Usman Abu Bakar, berdirilah Madrasah Diniyah Islamiyah yang sebelumnya dipimpin oleh Tuan Guru Muchtar (Mufti Onder Distrik) Barabai tahun 1933.

Pada bulan Januari 1934 beliau kembali ke Amuntai dalam keadaan sakit. Beliau dirawat oleh dokter Rumah Sakit Amuntai dengan perawatan di rumah. Pada hari Ahad tanggal 4 Februari 1934 bertepatan dengan tanggal 19 syawal 1353 H jam 16.00 di hadapan isteri, anak-anak dan keluarga serta beberapa orang muridnya, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir berpulang ke rahmatullah. Acara pemakaman beliau, dihadiri tidak kurang dari 200 ulama diantara 2000 orang yang ikut mensholatkan jenazah almarhum. Beliau dimakamkan di samping rumahnya di desa Pekapuran Amuntai pada sore hari Senin tanggal 5 Februari 1934.

Baca juga:  Mengenal Syarifah Fatimah: Wali Perempuan di Pekodjan Semarang

Menjelang akhir hayatnya, Tuan Guru Abdurrasyid sempat berpesan agar murid-muridnya berusaha memelihara dan mengembangkan perguruan yang telah dirintisnya. Tuan Guru yang dalam kesehariannya sangat sederhana dan bersahaja itu tidak pernah memiliki rumah sendiri. Ketika istrinya mendesak agar membangun rumah karena anak-anak sudah mulai dewasa, beliau menjawab : “sekolahan kita adalah rumah kita dan santrinya adalah anak-anak kita”. Dari rumahnya yang semula bernama Arabische School itu telah lahir anak-anak bangsa yang tumbuh menjadi pemuka Islam, tersebar di Kalimantan sampai ke Jawa, Sumatera dan daerah-daerah lainnya di Nusantara ini.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top