(L. 1920 – W. 1983)
Putra dari pasangan Sahida dan Tanjung ini lahir di Desa Kupang, Tapin Tengah, tahun 1920. Ayah Satar adalah seorang penghulu yang ditunjuk oleh KUA setempat. Kakeknya di pihak ibu juga penghulu. Tugas menikahkan itu tak semua orang berkompeten, kecuali mereka yang memiliki ilmu agama yang luas. Dengan begitu, boleh dibilang bahwa Satar berasal dari keluarga yang alim.
Tahun 1930 Satar dimasukkan di Sekolah Rakyat yang ada di Rantau. Setelah tamat dan fasih baca tulis huruf latin, ia kemudian disuruh mengaji dengan KH. Abdul Karim di Banua Halat yang keulamaannya sudah tak diragukan lagi. Seperti murid-murid lain, Satar menginap di musala yang di samping kanan dan kirinya dibuatkan petak-petak kamar. Apabila persediaan sembako habis, ia pun pulang kampung untuk mengambil bekal, dan balik lagi ke tempat belajar mengaji.
Sekian tahun hal itu dilakoni Satar. Setelah banyak mendapat pengetahuan tauhid, fiqih, dan tasawuf, ia meneruskan untuk memperdalam ilmu di Pesantren Darussalam, Martapura. Melihat minat dan potensi Satar, orangtuanya pun ikut mendukung. Di samping mengecap pendidikan formal, ia juga rajin mendatangi ulama-ulama di Martapura untuk mengaji duduk secara khusus. Enam tahun kemudian, Satar memutuskan kembali ke kampung halaman untuk mempraktikkan dan menyebarluaskan ilmu yang telah didapatnya.
Di desa Linuh, Kecamatan Bungur yang merupakan daerah dataran tinggi di mana masyarakatnya masih asing dengan ajaran Islam, ia membuka pengajian. Sebagai perintis, Satar dengan telaten membimbing para warga di sana, dari yang semula tidak tahu apa-apa hingga mengenal risalah Islam secara benar. Mengingat murid-muridnya itu, baik yang muda maupun sudah tua, sebagian besar buta huruf latin dan Arab, maka dalam pengajian tersebut Satar menggunakan metode hafalan. Misalnya, bagaimana tata cara dan doa ketika berwudhu dilakukan dengan menghafal. Begitu pula bacaan dan rukun-rukun shalat, diajarkan satu per satu.
Tuan Guru Satar membuka pengajian di rumahnya bagi masyarakat sekitar. Tiap malam Senin dikhusukan untuk jamaah laki-laki. Sedangkan malam Rabu ditujukan buat kaum perempuan. Sebelum Shalat Jumat, ia juga memberikan pengajian untuk umum.
Di samping aktif berdakwah di Linuh, dalam rangka memenuhi hajat masyarakat Pantai Walang, Satar berusaha meluangkan waktu untuk mengisi pengajian di sana. Waktunya dipilih sore Jumat, setelah memberikan siraman rohani di Linuh.
Melihat sanak keluarganya yang bergabung dengan masyarakat lain sering terkantuk-kantuk dan tertidur menyimak ceramah, Tuan Guru Satar jadi kepikiran. Ia mengingatkan pada anak-anaknya, bagai itik mati di kolam air. Artinya, orangtua mengajari orang lain, tapi anggota keluarga sendiri malas mengaji. Oleh karena itu, ia menyediakan waktu khusus tiap malam Selasa untuk mengajari mereka.
Mengingat di Linuh belum ada masjid untuk melaksanakan Shalat Jumat, maka Tuan Guru Satar bersama H. Mukhtar mempelopori pembangunan masjid di situ. Mereka mengajak masyarakat untuk membangun masjid dengan mengambil bahan baku pasir dan batu dari sungai. Sebagian lagi ada yang mencari kayu. Berkat kerjasama dan kegigihan, tahun 1961 berdirilah Masjid Miftahul Jannah. Dengan demikian, berbagai kegiatan syiar Islam pun semakin semarak dan silaturrahmi antar warga semakin akrab.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Linuh akan pendidikan, bersama H. Mukhtar ia mendirikan sekolah Islam tingkat ibtidaiyah. Awalnya pimpinan Nurul Ihsan dipegang oleh H. Mukhtar. Tapi, setelah beliau pindah ke Rantau, maka jabatan itu diserahkan pada Satar. Banyak orangtua yang memasukkan anak-anak mereka di Sekolah Islam tersebut. Tuan Guru Satar dengan tulus ikhlas terus mendedikasikan dan mengabdikan dirinya di lembaga pendidikan itu, sampai beliau meninggal dunia tahun 1983.
Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.