Sedang Membaca
Ulama Banjar (53): KH. Muhammad Syarwani Abdan
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (53): KH. Muhammad Syarwani Abdan

Kh. M. Syarwani Abdan

(L. 1915 M/1334 H – W. 1989 M)

Bagi masyarakat Banjar dan masyarakat Bangil khususnya, nama K.H. Muhammad Syarwani Abdan atau biasa disapa dengan nama Guru Bangil, pendiri Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur tidaklah asing lagi. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil.

Guru Bangil dikenal sebagai salah seorang keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Silsilahnya dengan ulama besar ini dapat dilihat dari silsilah berikut: Muhammad Syarwani Abdan bin Muhammad Abdan bin Muhammad Yusuf bin Muhammad Shalih Siam bin Ahmad bin Muhammad Thahir bin Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau dilahirkan di Kampung Melayu Ilir, Martapura pada tahun 1915 M/1334 H. Ayahnya bernama Muhammad Abdan dan ibunya bernama Mulik. Beliau memiliki 7 saudara kandung yaitu Ali, Intan, Mutiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan Ahmad Ayyub. Selain 7 saudara kandung itu, adapula dua saudara seayah yang bernama Abd. Manan dan M. Hasan.

Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri kedua yang bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga orang, yakni Qadhi Abu Su’ud, Qadhi Abu Na’im, dan Khalifah Syahabuddin. Patut disebutkan di sini, bahwa Qadhi Abu Su’ud adalah anak Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang merupakan moyang Tuan Guru Husin Kedah bin Muhammad Thayyib, seorang ulama besar yang disegani dan dihormati oleh masyarakat muslim dari negara tetangga terutama di wilayah Kedah, Malaysia.

Guru Bangil tumbuh dari keluarga yang agamis dan didukung pula oleh lingkungan kota dan masyarakat Martapura yang agamis. Kota Martapura disebut sebagai “Serambi” Mekkah”, sebagaimana halnya dengan Aceh Darussalam. Menurut K.H. Abdul Syukur, Martapura disebut sebagai Serambi Mekkah karena kehidupan masyarakatnya yang agamis, peran ulama dalam mengembangkan ilmu, banyaknya madrasah dan pondok pesantren, banyaknya pengajian dan majelis taklim, masyarakatnya yang gemar ibadah-ibadah sunah, tokoh-tokoh panutan masyarakat yang berasal dari kalangan ulama dan guru-guru agama, dan tingginya kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan Islam.

Selain itu, Martapura disebut sebagai Serambi Mekah karena merupakan kota bersejarah yang pernah menerapkan syariat Islam di masa kerajaan Banjar melalui Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Ada pula yang menyebut Martapura sebagai “bumi ulama”, sebab di kota ini banyak bermunculan ulama-ulama besar dan pusat-pusat pengkajian ilmu (pondok pesantren, madrasah dan majelis taklim) dari dulu hingga sekarang. Karena itu, kondisi kota ini turut membentuk dan mempengaruhi pribadi Guru Bangil untuk menjadi figur ulama dikemudian hari.

Sejak kecil Muhammad Syarwani Abdan sudah mempunyai himmah yang kuat untuk belajar menuntut ilmu agama. Di samping dididik oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura dan dari sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu. Beberapa ulama tempatnya belajar di antaranya adalah KH. M. Kasyful Anwar, Qadhi M Thaha, dan KH. Isma’il Khatib Dalam Pagar dan Guru Mukhtar Khatib.

Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil kemudian melanjutkan studinya ke Tanah Suci Mekkah. Sekitar tahun 1931, saat berusia sekitar 16 tahun, beliau berangkat bersama-sama dengan KH. Anang Sya’rani Arif di bawa oleh paman beliau, Syekh Kasyful Anwar bin Ismail, yang juga ikut bermukim di Mekkah selama beberapa tahun sambil mengajar dan mengawasi kedua keponakannya.

Baca juga:  Pemikiran Syekh Al-Banjari Tentang Manusia

Selama di Mekkah, Guru Bangil mempelajari berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa ulama ternama, di antaranya adalah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Omar Hamdan, Syekh Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari, Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah Ad-Daghistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori.

Hanya dalam beberapa tahun Guru Bangil dan KH. Anang Sya’rani Arif mulai dikenal di antara teman-teman dan para guru mereka karena kecerdasan keduanya. Mereka dikenal dan digelari sebagai dua mutiara dari Banjar. Bahkan Guru Bangil mendapat kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram Mekkah selama beberapa tahun.

Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh Umar Hamdan, ijazah tarekat Sammaniyah dari Syekh Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari dan ijazah tarekat Idrisiyyah dari Syekh Syafi’iy bin Shalih al-Qadiri.

Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari guru Tasawufnya inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf. Tidak mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat. Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.

Dari sekian banyak ijazah tarekat yang diberikannya pada Guru Sekumpul salah satunya adalah ijazah tarekat Sammaniyyah. Jalur sanad ijazah tarekat Sammaniyah yang diterima oleh Guru Bangil adalah dari Syekh Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari, yang menerimanya dari Syekh Zainuddin al-Sumbawi, yang menerimanya dari Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, yang menerimanya dari Syekh Syihabuddin, yang menerima dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang langsung menerimanya dari Syekh Muhammad Samman al-Madani.

Guru Sekumpul (7 Muharram 1361 H/11 Februari 1942 M ― 5 Rajab 1428 H/10 Agustus 2005 M) yang menerima ijazah tarekat ini adalah sosok ulama kharismatik yang terkenal mulai kawasan Kalimantan hingga ke negeri jiran, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Guru Sekumpul merupakan generasi penerus Guru Bangil, yang semasa hidupnya juga dikenal sebagai seorang ulama yang menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat, dan satu-satunya ulama yang mendapat izin untuk mengijazahkan tarekat Sammaniyah.

Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941. Di kota santri ini beliau pernah ditawari untuk menjadi qadhi, namun ditolak karena lebih memilih untuk mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Beliau memilih mengajar di Madrasah al-Istiqomah Dalam Pagar Martapura. Namun setelah kurang lebih 5 tahun berdiam di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil (Jawa Timur) pada tahun 1946 menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.

Di kota Bangil inilah Guru Bangil menikah pada usia sekitar 30 tahun. Beliau memiliki beberapa istri. Istri pertama bernama Bintang binti Abdul Aziz, istri kedua bernama Gusti Maimunah dan istri ketiga bernama Fauziah. Dari hasil perkawinannya dengan beberapa istrinya ini beliau mendapatkan 28 anak. Dari ke-28 anaknya itu, KH. Kasyful Anwar, anak tertua yang berprofesi sebagai dosen IAIN/UIN Sunan Ampel, yang kemudian menggantikan posisi beliau di Pesantren Datu Kalampayan.

Baca juga:  Kang Jalal, Sang Kyai yang Sufistik

Meski sudah pernah menuntut ilmu di Mekkah, di Kota Bangil Guru Bangiltetap menuntut ilmu dan belajar kepada beberapa ulama terkenal di Bangil dan Pasuruan, di antaranya KH. Muhdar Gondang Bangil, KH. Abu Hasan Wetan Angun Bangil, KH. Bajuri Bangil dan KH. Ahmad Jufri Pasuruan. Tidak hanya belajar, Guru Bangil juga mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah mendapatkan restu dari Kiyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada waktu itu. Setelah cukup lama membuka pengajian, Guru Bangil kemudian mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datu Kalampayan” pada tahun 1970.

Pondok Pesantren Datu Kalampayan ini beralamat di Jalan Mujair Kelurahan Kauman Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Bila dilihat posisi letak bangunannya, maka tidak jauh dari masjid alun-alun kota Bangil. Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah.

Guru Bangil menguasai secara mendalam 14 disiplin ilmu keislaman, terutama Fiqih, Hadis, ‘Ulum al-Hadits, Tafsir, ‘Ulum al-Qur`an dan Tasawuf. Saat belum berusia 40 tahun, Guru Bangil banyak menggeluti fiqih dan setelah berusia 40 tahun beralih fokus mendalami Tasawuf terutama Tasawuf al-Ghazali. Dengan kedalaman ilmunya dalam berbagai bidang ilmu keislaman itu tidak mengherankan jika beliau mampu menghasilkan kader ulama yang berpengaruh dan diakui keilmuannya. Tidak hanya itu, ternyata Guru Bangil juga menguasai ilmu bela diri. Ilmu ini beliau ajarkan juga kepada santri-santrinya. Salah seorang santrinya yang mewarisi ilmu bela diri Guru Bangil dengan baik adalah Guru Masdar Balikpapan.

Sejumlah muridnya yang pernah belajar kepadanya di Bangil kemudian menjadi ulama yang menonjol di Kalimantan Selatan dan daerah lainnya. Di antara murid-muridnya itu adalah KH. Muhammad Zaini Ghani (Guru Sekumpul), KH. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri (pimpinan Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di Balikpapan), KH. Muhammad Syukri Unus (Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar Al-Mubarak Martapura), KH. Zaini Tarsyid (Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul Irang Seberang Martapura), KH. Iberahim bin KH. Muhammad Aini (Rantau), KH. Ahmad Bakeri (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin Gambut), KH. Asmuni atau Guru Danau (Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman Danau Panggang), KH. Syafii Tulungagung, KH. Abrar Dahlan (Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit), dan KH. Muhammad Safwan Zahri (Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa Kutai Kartanegara).

Tidak hanya mengajar, Guru Bangil juga menulis risalah-risalah ringkas yang berisikan materi pelajaran agama dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan melaksanakan ibadah (amaliyah) agama. Setidaknya ada tiga buku yang telah beliau tulis dan dipublikasikan untuk masyarakat luas. Buku pertama berjudul Adz-Dzakhiratus Tsaminah liahlilIstiqamahSimpanan yang Berharga yang menguraikan pembahasan berkenaan dengan masalah talqin, tahlil, dan tawasul. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 oleh penerbit Japida. Buku ini memuat sambutan sejumlah tokoh pada masa itu, yaitu KH. Machrus Ali (Rois Syuriah NU wilayah Jawa Timur), Prof. KH. Saifuddin Zuhri (Menteri Agama), Dr. KH. Idham Chalid (Ketua PBNU), dan Prof. Tk. H. Ismail Jakub SH., MA. (Rektor IAIN Sunan Ampel).

Baca juga:  Ulama Banjar (51): H. Hasbullah Yasin

Buku kedua yang ditulis oleh Guru Bangil adalah Risalah Sholat Tuntutan Pelaksanaan dari Takbir hingga Salam. Buku ini diterbitkan pada tahun 1969 oleh penerbit Japida (PP. Datuk Kelampayan). Buku ini merupakan kumpulan materi pengajian Guru Bangil yang disampaikan di gedung Darussalam Jl Kauman Bangil. Buku ketiga berjudul Qoshidah Burdah Imam Al-Bushiry (Terjemahan, Penjelasan, Faidah dan Khasiat). Buku ini dicetak pada tahun 2011 oleh penerbit Muara Progresif Surabaya. Buku ini belum banyak dikenal publik karena diterbitkan jauh setelah Guru Bangil wafat. Dari ketiga buku ini terlihat bahwa jika beberapa ulama Banjar menulis kitab atau risalah menggunakan huruf Arabbaik dalam bahasa Arab atau Melayu, Guru Bangil justru menulis ketiga karyanya di atas menggunakan huruf Latin berbahasa Indonesia.

Sepanjang hidupnya diabdikan untuk ilmu dan pendidikan Islam dan dakwah. Beliau tidak mau terlibat dalam dunia politik. Sejumlah orang yang mengajaknya masuk partai politik tertentu selalu ditolak. Karena itu, beliau baru mau menjadi bagian dari kepengurusan NU Bangil ketika NU tidak lagi menjadi partai politik dan memutuskan untuk kembali ke khitthah sebagai organisasi sosial keagamaan sebagaimana dimaksudkan pada awal berdirinya pada tahun 1926. Beliau bersedia dimasukkan sebagai bagian dari muhtasyar NU setelah NU tidak lagi berpolitik.

Setelah puluhan tahun berkiprah, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun pada tanggal 11 September 1989 M/12 Shafar 1410 H. dan dimakamkan di Alkah keluarga di Dawur Kelurahan Pekauman Kecamatan Bangil. Pemakaman ini tidak jauh jaraknya dari rumah dan pondok pesantren yang beliau bangun. Makam beliau berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad.

Makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, khususnya Kalimantan Selatan, baik dari kalangan biasa, ulama, habaib, keluarga, maupun kalangan pejabat pemerintah. Untuk memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, setiap tahun, yakni setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul Guru Bangil. Haul ini selalu dihadiri oleh ribuan jamaah yang datang dari berbagai daerah, termasuk dari Kalimantan Selatan.

Sepeninggal beliau aktivitas pendidikan di Pondok Pesantren terus berlanjut, santrinya semakin bertambah banyak. Mengingat sistem pendidikan di pondok ini adalah kaji duduk, maka tidak mengenal istilah tingkatan kelas atau jenjang. Sudah lazim bagi alumni Pesantren Darussalam Martapura, bagi yang mampu, pada umumnya, mereka meneruskan studinya di Pondok Pesantren Datuk Kalampayan ini. Sekarang kepemimpinan dan pengelolaannya dilanjutkan oleh putera sulung Guru Bangil sendiri, yaitu KH. Kasyful Anwar.

Menurut ulama terkenal dan pimpinan pondok pesantren ternama di kota Balikpapan, Kalimantan Timur, KH. Syarwani, Guru Bangil adalah sosok ulama yang sangat mencintai Allah dan Nabi Muhammad SAW. “Beliau mencintai Allah dan Rasul-nya sejak masih remaja. Tidak ada lain tujuan beliau dalam beramal ibadah adalah mendapat ridha Allah dan dekat dengan Rasul-nya di akhirat kelak. Mirip dengan satu sahabat Nabi Muhammad bernama Rabiah bin Malik RA.”

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top