Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Mencintai Syair Cinta Rumi

Agama saya adalah cinta.  Kalimat pendek penyair sufi Maulana Jalaluddin Rumi itu menjadi sangat populer karena efeknya yang menenangkan,  rasanya seperti menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Banyak syair-syair cinta Rumi yang seperti menyihir orang,  dan itu karena penghayatan Rumi pada cinta itu sendiri,  cintanya kepada Tuhan,  semesta,  dan manusia. 
Maka itu,  syair-syair Rumi tak akan pernah tuntas dibahas,  tak akan pernah selesai dikuliti, sulit kita berhenti menghayatinya dalam diam,  dan sulit kita menepis magisnya.  Penulis buku syair-syair Rumi yang produktif,  Haidar Bagir,  merasakan puisi-puisi Rumi seperti menggedor-gedor kalbunya. Puisi-puisi itu bak magnet yang menyerap energi cinta lalu kita ingin menebarkannya.
Maka itu, Haidar Bagir pada perkembangannya merasa harus memberikan syarah atau penjelasan lebih panjang mengenai syair-syair Rumi, yang diwujudkan di dalam buku terbarunya,  Dari Allah Menuju Allah: Belajar Tasawuf dari Rumi (Januari 2019). Dalam bedah buku terbitan Noura Books itu pada tanggal 14 Februari 2019 di Kinokunia Plaza Senayan, Haidar menjelaskan alasan ia menulis  syarah cukup panjang pada puisi Rumi itu.
Pada buku sebelumnya,  Belajar Hidup dari Rumi dan Mereguk Cinta Rumi, syair-syair Rumi dinukil dengan syarah ringkas karena keengganan Haidar untuk mengintervensi terlalu dalam keindahannya dan dampak yang ditimbulkan (akibat penjelasan itu). Akan tetapi, muncul banyak keluhan dari para pengikutnya di Twitter, yang merasa kurang memahami makna puisi Rumi atau “takut” salah memaknai. Akhirnya Haidar menjelaskan satu per satu  puisi-puisi itu secara lisan yang kemudian diunggah ke YouTube. Rekaman penjelasan itu lantas ditranskrip dan diedit menjadi buku.
Bedah buku Dari Allah Menuju Allah: Belajar Tasawuf dari Rumi karya Haidar Bagir, di Kinokuniya Plaza Senayan Jakarta
Puisi pertama yang diberi syarah adalah Sirnalah dalam Seruan.
Sirnalah dalam Seruan
“Paduka,” kata Daud, “karena Kau tak butuh kami, kenapa Kau cipta dua dunia ini?’
Sang Hakikat menjawab, “Wahai tawanan waktu…
Dulu Aku perbendaharaan rahasia
Kebaikan dan kedermawanan,
Kurindu perbendaharaan ini dikenali,
Maka, Kucipta cermin:….
Mukanya yang cemerlang, hati;
Punggungnya yang gelap, dunia.
Punggungnya kan memesonamu
jika tak pernah kaulihat mukanya.
Pernahkan ada yang membuat cermin dari lumpur jerami?
Maka, sapulah lumpur dan jerami
itu, sebilah cermin pun kan
tersingkap…
Ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya
hingga kau terlupakan.
Biarkan penyeru dan Yang Diseru
musnah dalam Seruan”.
Dalam pejelasannya, Haidar menulis bahwa puisi itu bisa dikatakan menjadi sari pati dari inti pemikiran Rumi. Rumi adalah penyair yang luar biasa kaya membahas banyak hal. Rumi membahas alam, manusia, dunia fisik, dunia ruhani, dan terutama membahas Tuhan dan hubungan antara manusia dan Tuhan. Puisi ini menggambarkan satu inti pandangan Rumi mengenai hubungan Tuhan dan manusia, hubungan Tuhan dengan alam semesta.
Rumi bukanlah penulis irfan (tasawuf filosofi) seperti Ibnu Arabi, yang menulis puluhan jilid buku. Karya utama Rumi adalah Matsnawi, yang darinya kutipan-kutipan dalam buku ini diambil. Namun, efisiensi medium puisi membuat apa yang diungkapkan dalam berjilid-jilid buku oleh seorang arif seperti Ibnu Arabi, bisa dimampatkan menjadi puisi-puisi yang lebih pendek.
Dalam puisi di atas, Rumi membuka dengan dialog antara Nabi Daud dan  Allah. Lewat dialog ini Rumi ingin mengungkapkan Hadis Qudsi (firman Allah yang selalu dikutip para sufi karena merupakan sumber dalam memahami hakikat ketuhanan dan hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya). Dua dunia yang dimaksud adalah dunia fisik dan dunia ruhani.
Wahai tawanan waktu….“. Ucapan ini adalah cara Allah yang dipahami Rumi untuk menunjukkan betapa manusia ini –meskipun sesungguhnya berasal dari Allah– cenderung terikat pada hal yang bersifat duniawi. Sebab, waktu adalah sifat dari kehidupan duniawi. Lebih tepatnya, waktu linier atau yang disebut dengan zaman. Jadi, wahai tawanan waktu maksudnya adalah wahai makhluk yang terikat oleh kehidupan dunia fisik.
Kalimat dulu aku perbendaharaan rahasia (dan seterusnya sampai kata cermin) juga merujuk pada Hadis Qudsi:  Dulu aku adalah perbendaharaan tersembunyi. Aku rindu untuk dikenali. Maka Kucipta ciptaan, agar Aku dikenali. Masih panjang penjelasan dari satu syair di atas.
Satu hal yang perlu ditekankan, bahwa sesungguhnya tajalli (manifestasi) Allah itu berada di dalam hati kita. Sayangnya, sebagai manusia yang hidup di alam fisik ini, kita cenderung menyibukkan diri dengan dunia yang gelap, sehingga tujuan kita untuk mencapai hakikat keilahian justru tertutup olehnya.
Beberapa puisi yang dikutip serta dijelaskan di dalam buku ini di antaranya adalah mengenai jiwa yang kotor sehingga bayangan Allah di dalam diri tidak tampak.
Jiwa adalah cermin bening,
tubuh adalah debu di
atasnya.
Kecantikan dalam diri tak
tampak,
karena kita tersuruk di
bawah debu
Cuplikan puisi lain:
Kita mencari-Nya di
sana-sini, padahal sedang
menatap-Nya lurus-lurus.
Duduk di sisi-Nya kita
bertanya, wahai Kekasih
di mana Sang Kekasih?
Cuplikan puisi lain:
Malam hari kuminta
rembulan satang…
Kututup pintu bahasa
dan kubuka jendela
cinta.
Rembulan tak masuk
lewat pintu,
hanya jendela.
Cuplikan puisi lain:
Tugasmu bukan mencari
cinta,
tapi hanya mencari
semua halangan dalam
dirimu,
yang kaubangun tuk
melawannya.
Hawa nafsu!
Memang benar, makin dalam menyelami puisi cinta Rumi, makin haus kita untuk menyelam lebih dalam lagi. Penjelasan kadang-kadang dibutuhkan, namun menghayati penggalan-penggalan puisi itu tidak perlu harus membaca penjelasannya, karena apa yang dirasakan masing-masing orang bisa berbeda. Makin dalam kita menghayati puisi cinta Rumi, makin kita mencintai puisi-puisi itu, dan makin cintalah kita kepada Rumi.
Baca juga:  Genealogi Kewalian dalam Literatur Islam Klasik
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top