Sebagai seorang santri kelana sejati, Gus akrab dengan pelbagai jenis moda kendaraan. Bus, kereta api, kapal, mobil pribadi, bahkan vespa (bisa klik di sini tentang Gus Dur dan Vespa). Dan tentu saja Gus Dur akrab dengan bermacam-macam jenis transportasi udara, karena mibilitasnya yang tinggi, baik saat menjadi Ketua Umum PBNU, apalagi saat menjadi presiden RI ke-4. Dari pesawat perintis, pesawat komersial, pesawat kepresidenan (waktu Gus Dur jadi presiden masih sewa, istana belum punya pesawat), hingga pesawat yang dimiliki militer (baca: Gus Dur Tidak Panik, Meski Mesin Pesawat yang Tumpanginya Mati). Gus Dur terbiasa dengan semua itu. Dia mau naik apa saja, bahkan naik becak, padahal banyak membawa berkas dan dokumen-dokumen (baca ini: Gus Dur mengabdi).
Banser Salah Ucap Abdurrahman Wahid
Dari semua itu, yang mungkin tidak dipikirkan Gus Dur adalah namanya diabadikan menjadi nama bandara. Gus Dur mungkin sudah cukup senang ketika seorang Banser keliru menyebut bandara di Malang, Jawa Timur. Harusnya bandara Abdurrahman Saleh, eh, Banser itu menyebut bandara Abdurrahman Wahid. Ini lengkapnya cerita Banser keliru sebut nama bandara.
Pada akhir April 2000, Gus Dur sampai ke Malang, dan mendarat di Bandara Abdurrahman Saleh. Ini mengingatkan dia pada peristiwa belasan tahun silam, ketika dia mendarat di bandara yang sama dari Jakarta, saat masih ada penerbangan reguler dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Malang (penerbangan yang sempat mati ini ini sekarang hidup lagi, red).
Waktu itu Gus Dur bersama, antara lain, almarhum Jaksa Agung Sukatron Marmosujono. Sebagaimana lazimnya untuk rombongan orang penting, mereka pun disambut Banser NU.
Ketika rombongan sudah siap berangkat ke Selorejo, sekitar 60 kilometer dari bandara, petugas dari Banser itu melapor pada poskonya melalui handy talky.
“Halo, halo, rojer,” kata Kang Banser, “Lapor: Abdurrahman Saleh sudah mendarat di bandara Abdurrahman Wahid!”
Humor kedua di bawah ini masih bersumber dari tingkah Banser:
Gus Dur mengisi di Magelang, pada suatu hari. Cuma saja, waktu Gus Dur mepet sekali dengan jadwal pesawat ke Jakarta, yang berangkat dari bandara Adi Sucipto, Jogjakarta. Siasatnya, Banser diutus ke bandara untuk men-check in-kan. Diperekiraan, jika check in dulu, Gus Dur tidak akan terlambat. Waktu itu, tahun 1990an, saat Gus Dur jadi Ketua Umum PBNU, belum ada check in daring seperti sekarang ini.
Berangkatlah Banser ke bandara di Jogjakarta, perintahnya: men-check in-kan. Setelah itu, tunggu Gus Dur di bandara.
Selang berapa lama, Gus Dur tiba di bandara, dan Banser tadi segera menyambutnya. Waktu take off tinggal 30 menit. Cukuplah, karena sudah check in.
“Mana boarding pass saya, Kang?” tanya Gus Dur.
“Ini Gus… Alhamdulillah, nama Gus Dur ada. Saya sudah check,” jawab Gus Dur.
Gus Dur memperhatikan dengan seksama tiketnya, yang ternyata belum berupa boarding pass. Artinya belum check in. Wajah Gus Dur, mungkin ingin marah, tapi juga tak berguna. Akhirnya hanya berujar, “Kang, bener sampean sudah ‘check’, tapi belum ‘in‘.”
Gus Dur terlambat, karena Banser yang tidak mengerti prosedur naik pesawat.
Humor ketiga tentang seoerang kiai yang terkencing-kencing diajak karena diajak Gus Dur naik pesawat perintis.
Kisah Gus Dur Ajak Kiai Naik Pesawat
Saya pernah dengar cerita Gus Dur mengajak seorang kiai naik pesawat perintis. Semula kiai tersebut tidak mau naik pesawat, tapi karena Gus Dur memaksa, akhirnya mau juga.
“Kula ngebis mawon, Gus. (Saya naik bus saja),” kiai menawar.
“Mboten, wong wis dituku karcise (Jangan. Sudah dibeli karcisnya),” kata Gus Dur.
“Takut ya? Katanya Sampeyan cuma takut Gusti Allah. Lah ini kok takut naik pesawat?” Gus Dur meledek.
Sang kiai akhirnya ikut Gus Dur naik pesawat. Ia mesti membuktikan hanya Gusti Allah yang takuti.
Pesawat perintis hanya terbang pendek, awan-awan tipis ditabraknya. Pesawat bergoyong ke kiri ke kanan, naik ke atas turun ke bawah tanpa bilang-bilang. Suaranya amat bising.
Gus Dur tertidur mendengkur sesaat setelah terbang landas. Sesekali Gus Dur bangun. Saat bangun itulah, Gus Dur meledek lagi sang kiai:
“Tenang aja, Kiai, podho numpak dokar (persis naik dokar).” Setelah meledek begitu Gus Dur tidur lagi, mendengkur lagi dalam perjalanan 40 menit.
Di sebelahnya, sang kiai tak tahan, ia terpaksa mengendurkan “uratnya”, kencing di celana, di dalam pesawat yang sedang terbang.
Sekarang, nama Abdurrahman Wahid sudah jadi nama bandara di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kira-kira akan memunculkan kisah atau humor apa?