Sekira dua bulan lalu, tepatnya 19 Mei 2018, sejumah rumah penganut Ahmadiyah di Lombok Timur dirusak massa. Ironisnya, sampai saat ini tidak ada proses hukum terkait peristiwa tersebut. Laporan warga Ahmadiyah ke Polsek Lombok Timur pun nyaris tidak mendapat tindak lanjut. Pekan lalu, korban yang diwakili kuasa hukumnya melaporkan kasus ini ke Polda NTB. Mereka berharap, keadilan masih tegak di negeri ini.
Ahmadiyah dan kekerasan seolah dua hal yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Secara verbal, penganut Ahmadiyah kerap dipersepsikan sebagai kelompok sempalan, menyimpang, bahkan dianggap kafir. Secara fisik, pengusiran, perusakan tempat ibadah, bahkan penyerangan berujung pembunuhan adalah kenyataan yang harus mereka hadapi.
Kita tentu masih ingat peristiwa penyerangan penganut Ahmadiyah di Cikeusik 2011. Tiga orang tewas dalam peristiwa tersebut. Sebelumnya, pada 2005 kampus al Mubarok di Parung, Bogor yang merupakan kompleks universitas sekaligus kantor pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) diserang oleh ribuan massa. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, namun sejumlah fasilitas milik JAI dirusak dan dibakar.
Ironisnya, dari sederet kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah, nyaris tidak ada satu pun penegakan hukum yang memuaskan rasa keadilan publik.
Perbedaan Tafsir
Penyerangan jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur tergolong sebagai apa yang disebut oleh teolog John Hick sebagai “kekerasan teologis”. Istilah kekerasan teologis, dipakai Hick untuk menyebut fenomena konflik sosial yang dilatari oleh perbedaan pandangan terkait ajaran agama. Menurut Hick, perbedaan pandangan dan penafsiran terkait satu ajaran agama tertentu merupakan salah satu faktor yang potensial menyulut konflik sosial. Ia mencontohkan konflik berdarah antara penganut Katolik dan Protestan yang terjadi di sejumlah negara di Eropa.
Hal yang sama terjadi dalam fenomena kekerasan yang menyasar penganut Ahmadiyah. Kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah umumnya dilatari oleh perbedaan pandangan dalam menafsirkan ajaran Islam. Salah satu yang paling mencolok ialah perbedaan tentang konsep kenabian.
Dalam pandangan arus utama umat Muslim, Nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir (khatiman nabiyyin). Sedangkan Ahmadiyah memiliki pandangan lain terkait konsep kenabian.
Dalam buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Iskandar Zulkarnanin menyebut bahwa Ahmadiyah mengklasifikasikan nabi ke dalam tiga macam. Pertama, nabi yang datang dengan membawa syari’at baru (shahibus syariah). Kedua nabi yang datang dengan tidak membawa syariat baru (mustaqil ghairut tasyri’). Ketiga, nabi yang mendapat anugerah kenabian dari Allah semata-mata karena tingkat kepatuhan dan kesalehannya mengikuti syariat Islam. Penganut Ahmadiyah menyebutnya dengan nabi dzilli.
Di tubuh Ahmadiyah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang konsep nabi dzilli. Perbedaan itu kemudian melahirkan dua faksi dalam Ahmadiyah, yakni Ahmadiyah Lahore dan Qadian.
Penganut Ahmadiyah Lahore meyakini bahwa Nabi Muhammad nabi terakhir. Mereka menempatkan Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri Ahmadiyah sebagai seorang mujaddid (pembaharu), alih-alih nabi. Sebaliknya, penganut Ahmadiyah Qadian meyakini bahwa kenabian dan kewahyuan tidak berhenti di Nabi Muhammad, melainkan terbuka hingga kiamat tiba. Mereka juga meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi (mesias) yang dijanjikan oleh Allah.
Penafsiran Ahmadiyah tersebut cenderung baru dalam tradisi Islam arus utama. Hal inilah yang kerap menjadi pangkal dari tindakan intoleran dan kekerasan.
Menanti Peran Negara
Fenomena Ahmadiyah di Indonesia mirip dengan fenomena sekte Mormon dalam tradisi Nasrani di Amerika Serikat. Penganut sekte Mormon juga percaya pada konsep mesianisme atau mahdiisme. Dalam keyakinan mereka, Daud Joseph Smith adalah nabi dan anak tuhan yang diutus menjadi juru selamat.
Serupa dengan Ahmadiyah, konsep teologi Mormon juga dianggap kontroversial di kalangan Nasrani. Bedanya, kebencian pada penganut Mormon oleh mayoritas Nasrani tidak lantas berujung pada intoleransi dan kekerasan. Hal ini karena konstitusi AS memberikan jaminan penuh pada kebebasan beragama.
Secara konstitusional, jaminan kebebasan beragama dan beribadah sebenarnya sudah termaktub dalam UUD 1945, tepatnya pasal 29 ayat 1 dan 2. Dalam konteks Ahmadiyah, jaminan legalitas organisasi ini sudah ada sejak zaman kolonial, yakni pada tahun 1928 (Ahmadiyah Lahore) dan 1929 (Ahmadiyah Qadian).
Di masa kemerdekaan, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasar SK Menteri Kehakiman No. A 5/23/13 pada tanggal 13 Maret 1953. Tidak cukup sampai di situ, Ahmadiyah kemudian diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003.
Namun, fakta-fakta hukum itu belakangan seolah diabaikan oleh pemerintah. Pengabaian itu tampak dalam sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah. Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Puncaknya, pada tahun 2011 pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang intinya melarang aktivitas keagamaan penganut Ahmadiyah.
Diakui atau tidak, fatwa MUI dan SKB 3 Menteri itu telah menjadi semacam alat untuk menjustifikasi dan melegitimasi tindakan kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah oleh kelompok intoleran. Pada titik ini, tidak berlebihan kiranya untuk menyebut bahwa tindakan intoleran dan kekerasan yang dialami komunitas Ahmadiyah secara tidak langsung “difasilitasi” oleh negara.
Kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah merupakan tindakan yang diistilahkan oleh Khaled Abou el Fadl sebagai despotisme beragama. Despotisme, sebagaimana ia jelaskan dalam bukunya Speaking in God’s Name ialah pola pikir yang mengklaim hasil tafsirnya sebagai yang paling mewakili kehendak Tuhan. Nalar despotik inilah yang menurut Khaled merupakan ancaman serius bagi kebebasan beragama.
Idealnya, negara ada di barisan paling depan dalam upaya memperjuangkan kebebasan beragama. Upaya itu dapat dimulai dengan menarik garis batas yang jelas antara persoalan tafsir keagamaan dengan hak dasar individu sebagai warganegara. Tafsir penganut Ahmadiyah atas konsep kenabian dan kewahyuan tidak dapat dijadikan alibi untuk mencerabut hak dasar mereka sebagai warganegara.
Menjamin terpenuhinya hak dasar para penganut Ahmadiyah bukanlah bentuk persetujuan atas konsep teologi yang mereka usung. Perjuangan terkait kebebasan beragama, termasuk bagi penganut Ahmadiyah, adalah semata perjuangan menegakkan konstitusi. Kehadiran negara pada persoalan-persoalan seperti ini bersifat mutlak agar kebebasan beragama tidak berakhir menjadi utopia.