Sedang Membaca
Gus Dur, Syekh Siti Jenar, dan Wahdatul Wujud
Nur Hasan
Penulis Kolom

Mahasiswa Islamic Studies International University of Africa, Republic Sudan, 2017. Sekarang tinggal di Pati, Jawa Tengah.

Gus Dur, Syekh Siti Jenar, dan Wahdatul Wujud

Dalam sejarah pemikiran, tidak ada satu pun sebuah pemikiran yang yang lahir begitu saja di luar konteks dan waktu di mana pemikiran itu tumbuh. Setiap pemikiran yang muncul, akan mencerminkan sebuah produk pada zamannya. Yang akan selalu terikat oleh ruang dan waktu, sehingga pemikiran tersebut menjadi sintesis antara kesinambungan dan perubahan.

Gus Dur yang lahir dari tradisi pesantren, tentu saja selalu bersinggungan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan bagian dari ajaran Islam khususnya di kalangan pesantren. Proses pembentukan terhadap pemikiran tasawuf yang dibawa Gus Dur tidak asal jadi, namun melalui proses ruang dan waktu yang begitu panjang.

Sehingga Gus Dur paham betul dengan problematika tasawuf, baik dari segi ilmu maupun praktik. Dan hal tersebut pernah ditunjukkan oleh Gus Dur, ketika mengkritik pemikiran Alwi Shihab tentang tasawuf. Kritik itu dibeikan Gus Dur, ketika dimintai untuk memberi kata pengantar buku yang ditulis Alwi Shihab. Khususnya tentang ajaran wihdatul wujud yang dianut oleh Syekh Siti Jenar.

Alwi Shihab yang mengatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara, yang dilakukan oleh para ulama pesantren dengan menggunakan pendekatan tasawuf sunni, sebagai pegangan penyebaran agama Islam, beberapa abad lalu. Adalah bentuk dakwah mereka dalam melawan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan nama Kejawen.

Baca juga:  Menghormati Tamu: Antara Orang Madura dan Gus Dur

Sebagai bukti sejarah atas penentangan tersebut, disebutkan oleh Alwi Sihab bahwa Syekh Siti Jenar sebagai seorang yang menyimpang dari tasawuf sunni, karena mengamalkan paham wihdatul wujud. Sehingga karena hal tersebut, Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para Wali Songo. Dan mereka yang mengikuti pandangan Syekh Siti Jenar, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan atau kejawen.

Tetapi Gus Dur menolak anggapan tersebut, hal itu didasari karena memang sejarah hukuman mati Syekh Siti Jenar mempunyai banyak tafsir yang berbeda-beda. Jika Alwi Shihab menganggap bahwa para ulama Nusantara menentang paham kebatinan atau kejawen. Maka para ulama tersebut telah menentang salah satu bentuk dari wihdatul wujud (pantheisme/manunggaling kawulo gusti).

Dalam hal tersebut, Gus Dur mempunyai pandangan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Wali Songo kepada Syekh Siti Jenar, bukan karena beliau berpaham Wihdatul Wujud.

Tetapi karena beliau mengajarkan Wihdatul Wujud kepada banyak orang, termasuk orang awam. Gus Dur beranggapan bahwa dosa Syekh Siti Jenar bukan pada penerimaannya tentang Wihdatul Wujud, tetapi Karena terlalu gegabah dalam mengajarkan paham tersebut dikalangan orang banyak.

Gus Dur yang lahir dari akar tradisi pesantren, dan mengetahui seluk beluk kultural ulama Nusantara. Dan beranggapan bahwa ulama tradisionalis Indonesia, banyak yang mengambil ajaran Wihdatul Wujud, tetapi untuk dirinya sendiri. Hal itu dikarenakan mereka telah menguasai syariat atau fikih.

Dalam tradisi Islam, orang yang ingin mendalami tasawuf dianjurkan untuk memperkuat syariatnya dulu. Agar tidak menjadi orang yang zinqid atau bejat, dan juga sebaliknya. Orang yang sudah kuat syariatnya dianjurkan untuk mengamalkan tasawuf agar tidak tersesat atau fasiq.

Baca juga:  Gus Dur, Sarwono, dan Laut Kita

Para ulama tradisional Indonesia menolak penyebaran wihdatul wujud dikalangan awam, tetapi bagi kepentingan diri sendiri banyak para ulama yang sudah pada maqomnya mengamalkan itu, dan mereka menjalankan amalan itu secara tertutup.

Salah satu ajaran wihdatul wujud yang digunakan adalah wihdatul syuhud. Sebuah ajaran untuk mengetahui sesuatu yang belum terjadi, atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan weruh sedurunge winarah.

Pemahaman tersebut diperkuat dengan sikap KH. M Hasyim Asy’ari, yang menolak ulang tahun kematiannya (haul) di Tebuireng. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu saat beliau akan disucikan atau dikultuskan.

Bagi Gus Dur tasawuf seharusnya menjadi milik semua kaum muslimin, sebagaimana kaum muslimin yang harus bertauhid dan berfikih. Dengan begitu, maka tasawuf akan menjadi karakter building dalam diri kaum muslimin untuk menghadapi dampak negative modernisasi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
6
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
3
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top