Memahami Alquran dari terjemahannya dalam bahasa Indonesia semata baik dari mushaf cetak atau ucapan seseorang bisa jadi menimbulkan pemahaman yang keliru. Hal ini akan diperburuk bila dalam membaca atau mendengarkan terjemahan itu seseorang dipengaruhi oleh hawa nafsunya dan semangat beragamanya yang salah tempat.
Semakin parah lagi bila seseorang tidak mau ngaji kitab tafsir karya para mufassir untuk menguji pemahaman yang didapatkannya dari membaca atau mendengar terjemahan itu.
Dampak akumulatif dari semua hal ini bisa menjadi sangat berbahaya jika ada sekelompok kecil orang yang menggerakkan mereka yang salah paham itu menuju suatu tujuan buruk tertentu didasarkan kekeliruan paham tersebut.
Jangan duga bahwa kekeliruan paham itu hanya bisa terjadi pada sekelompok kecil dari umat Islam saja! Sejarah awal Islam membuktikan sebaliknya. Sekelompok besar umat Islam, meski bukan mayoritas, bisa bersama-sama dalam keburukan karena gabungan beberapa hal di atas.
Di masa awal Islam pada tahun 37 H, ketika sahabat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah muncul sekelompok besar umat muslim, diperkirakan sekitar 12 ribu orang, yang keliru dalam memahami satu ayat Allah lalu diperparah dengan semangat yang menggebu dalam beragama yang didasari pemahaman yang salah itu.
Satu ayat yang salah dipahami oleh mereka ini dan munculnya dorongan dari hawa nafsu serta ajakan buruk dari para pembesar mereka berhasil menggerakkan mereka memberontak kepada kepemimpinan Imam Ali dan menumpahkan darah banyak kaum muslimin. Mereka adalah kelompok yang disebut oleh sejarahwan sebagai Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Imam Ali.
Kisah Khawarij berikut ini terdapat pada kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir juz 7 halaman 306-322. Ringkasannya adalah sebagai berikut:
Setelah terjadi peperangan yang cukup panjang antara pihak Muawiyah bin Abi Sufyan dan Imam Ali bin Abi Thalib di tanah Siffīn selama beberapa bulan dan kedua belah pihak saling bertukar pikiran melalui surat.
Akhirnya kedua kelompok tersebut bersepakat untuk melakukan tahkim, yaitu setiap kelompok mengirimkan satu perwakilan sebagai juru damai yang akan mencari titik temu bagi kemashlahatan seluruh umat muslim.
Ali memilih sahabat Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya, namun ditolak oleh para penghapal Alqur’an di antara pengikut beliau. Mereka berkata, “kami tidak rela kecuali kepada Abu Musa al-Asy‘ari.”
Pada akhirnya Imam Ali menerima pemilihan Abu Musa al-Asy‘ari sebagai wakilnya. Sedangkan dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin al-‘Ash.
Suatu ketika setelah peristiwa pemilihan wakil ini, seorang utusan Imam Ali, al-Asy‘ats bin Qais, mendatangi satu kelompok dari Bani Tamim yang berada dalam prajurit Sayyidina Ali untuk membacakan sebuah surat. Lalu berdiri dari kelompok ini Urwah bin Udzainah yang berkata:
“Apakah engkau akan mewakilkan keputusan menyangkut agama Allah kepada manusia?”.
Lalu dari ucapan orang tersebut, sebagian para penghapal Alquran yang ikut Imam Ali terpengaruh dan berbalik menentang beliau karena menurut mereka “tahkim” bertentangan dengan potongan surah al-Ma’idah ayat 44:
مَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُولَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Artinya: “Barangsiapa tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang-orang kafir.”
Dan penggalan dari surah Yusuf ayat 40:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Artinya: “Keputusan (hukum) hanyalah milik Allah semata.”
Mereka seakan berkata bahwa memutuskan dengan cara menunjuk juru runding (ḥakam) tidak sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah, yaitu al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa ayat 40 surah Yusuf di atas seakan berarti bahwa pemahaman al-Qur’an merekalah yang sesuai dengan keputusan Allah. Setelah itu mereka mensosialisasikan pemahaman sempit ini dengan selalu berkoar-koar:
“Lā ḥukma illā lillāh” yang artinya “tidak ada keputusan (ḥukm) kecuali milik Allah semata”; dalam arti keputusan mereka sendiri yang benar yang diatasnamakan kepada al-Qur’an adalah yang benar, sedangkan keputusan Sayyidina Ali ayng didukung banyak sahabat itu keliru.
Menjawab hal ini, Sayyidina Ali berkata, “Wahai mushaf (Alquran) berbicaralah kepada manusia!”
Seorang dari Khawarij berkata, “Wahai Ali apa yang kau inginkan? Mushaf ini hanyalah tinta di kertas, kamilah yang berbicara sesuai dengan pemahaman yang kami peroleh darinya.”
Mereka seolah berkata bahwa mereka lebih paham Alquran dari seorang sahabat dekat Nabi saw, Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Namun Sayyidina Ali bersabar dan menjelaskan kepada mereka bahwa dalam Alquran surah an-Nisa ayat 35 Allah berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَٱبْعَثُوا۟ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِۦ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصْلَٰحًا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيْنَهُمَآ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Artinya: “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya (suami istri), maka kirimlah seorang juru damai yang bijaksana dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai yang bijaksana dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri (itu). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal.”
“Bukankah umat Muhammad itu lebih lebih penting urusan kehormatan dan darahnya daripada urusan seorang wanita dengan suaminya?” lanjut Sayyidina Ali dalam rangka menafsirkan ayat tersebut.
Maksudnya adalah bahwa jika urusan rumah tangga yang mau hancur saja, yang hanya melibatkan dua orang suami dan isteri, Allah memerintahkan untuk mengutus dua juru damai dari masing-masing pihak, apalagi urusan yang bersangkutan dengan seluruh umat kanjeng Nabi Muhammad saw, yang berkaitan dengan pertumpahan darah yang sedang terjadi di antara mereka. Hal ini lebih penting dan lebih berhak untuk didamaikan, bukan?
Tetap saja perkara ini berjalan semakin parah hingga selain mengingkari keputusan Sayydina Ali dalam masalah tahkim, mereka semakin berani menunjukkan secara terang-terangan pengingkaran ini.
Seorang utusan dari khawarij berkata kepada Sayyidina Ali, “Wahai Ali, demi Allah, seandainya kamu tidak menolak mewakilkan keputusan menyangkut agama Allah kepada manusia (tahkim) maka aku akan membunuhmu karena mencari rida Allah dalam hal ini.”
Lihatlah mereka telah menjadi ganas dan melampaui batas meskipun tujuan mereka adalah mencari rida Allah.
Kepada mereka sahabat Ali mengutus Abdullah bin Abbas raḍiyallahu ‘anhuma seorang yang didoakan oleh Nabi saw: “Ya Allah jadikanlah dia faqih dalam agama dan ajarkanlah dia pemahaman terhadap Alquran”.
Sayyidina Ibnu Abbas berhasil menjadikan empat ribu orang bertobat dari keasalahan paham mereka, namun sisanya masih bersikukuh memberontak kepada Ali. Akhirnya Sayyidina Ali memerangi mereka setelah mereka telah melakukan kemungkaran yang sangat besar secara terang-terangan.
Mereka membunuhi orang-orang yang diharamkan untuk membunuhnya, sekalipun dalam perang. Misalnya mereka membunuh isteri seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Khabbab beserta bayinya yang sedang dalam kandungan.
Ibnu Katsir menuturkan bahwa mereka membelah perut wanita tersebut dan mengambil janinnya.
Sebenarnya mereka bukanlah orang yang jauh dari Alquran. Mereka justru adalah para penghapal Alquran namun bacaannya justru melaknatinya karena mereka melampaui batas dalam bertindak.
Ketika ditanya mengenai jatidiri mereka “Apakah mereka orang musyrik?”
Sayyidina Ali menjawab: “Dari kemusyrikan mereka lari”.
Kemudian ditanya lagi, “Apakah mereka orang munafik?”
Sayyidina Ali menjawab: “Sesungguhnya orang-orang munafik tidak mengingat Allah (berdzikir) kecuali sedikit.”
Lalu siapakah mereka?
Sayyidina Ali menjawab: “Mereka adalah saudara-saudara kita (seiman) namun mereka melampaui batas dan membangkang kepada kita, oleh karena itulah kita memerangi mereka.”
Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam mengambil pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran. Ambillah tafsir terhadap Alquran dari ahlinya. Lanjutkanlah pengajian baca Alquran menuju ke pengajian tafsirnya dari kitab-kitab tafsir yang terpercaya.
Jika tidak mampu membaca sendiri, ikutlah pengajian dari para ulama yang mengulas kitab-kitab tafsir tersebut. Jangan berhenti di Alquran terjemahan!
Bila sekelompok besar umat Islam di masa lampau yang bahasa kesehariannya adalah bahasa Arab itu bisa keliru memahami Alquran dan lalu menjadikan mereka melampaui batas dalam bertindak, apalagi kita bangsa yang bahasa ibunya bukanlah bahasa Arab.