Sedang Membaca
Khutbah Jumat: Syawalan dan Tradisi Islam Nusantara
Noor Sholeh
Penulis Kolom

Penulis pernah mengajar di SMKN 2 Jepara, dan mengabdi di Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kabupaten Jepara. Pernah juga diamanahi menjadi Ketua MWC NU Kota Jepara. Kolom Khutbah Jumat adalah kumpulan naskah-naskah yang pernah disampaikan oleh almarhum dalam mimbar Jumat. Naskah itu kini diketik ulang supaya bermanfaat dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Lahu-alfaatihah..

Khutbah Jumat: Syawalan dan Tradisi Islam Nusantara

Tidak terasa kita sudah melewati bulan suci Ramadhan, satu bulan penuh kita belajar menundukkan hawa nafsu, berlomba-lomba dalam meraih kebaikan. Semoga segala amal ibadah yang kita kerjakan selama bulan suci Ramadhan diterima oleh Allah Swt. Amin Ya Rabbal ‘alamin. Dan kini, kita sudah memasuki bulan Syawal. Dalam tradisi orang Jawa, berselang satu minggu dari perayaan hari raya Idul Fitri, ada sebuah tradisi yang sangat unik, yaitu syawalan atau bodo kupat, atau kupatan. Momentum itu juga sudah kita lewati. Namun perlu kiranya khotib ingatkan kembali mengenai filosofinya.

Ketupat dalam bahasa jawa diterjemahkan dengan “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Makanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Tradisi seperti ini merupakan tradisi yang sangat baik, dan sesuai dengan ajaran Islam, Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam QS. Al-A’raf: 199.

خُذِ الْعَفْوَ

  Jadilah engkau pemaaf

وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ

dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik,

وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

berpisahlah dari orang-orang yang bodoh.

Kaum Muslimin Jama’ah Sidang Jum’at yang berbahagia

Selain tradisi kupatan ketika lebaran tiba, ada juga tradisi halal bi halal. Istilah ini tentu tidak akan kita ditemui di negara-negara lain yang mayoritas beragama Islam. Di negara Arab seperti Yaman, Mesir, Arab Saudi, Irak, dan lain-lain tentu kita tidak akan menemui istilah “halal bi halal”. Bagi orang Arab, istilah tersebut tentu akan membingungkan. Karena kata Halal: yang mempunyai arti “boleh” dan bi berarti: “dengan” dan Halal: “boleh”, dan jika diartikan menjadi “boleh dengan boleh”. Padahal, “Halal bi Halal” mempunyai arti kultural, yakni budaya saling memaafkan, budaya saling berkunjung ke rumah sanak saudara untuk memberi dan memohon maaf. Oleh sebab itu, kita sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, harus bangga dengan kebudayaan-kebudayaan luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.

Baca juga:  Obituari: Hamsad Rangkuti, Kebohongan yang Indah

Oleh karenanya, momentum hari raya Idul Fitri ini selain kita refleksikan sebagai hari saling maaf memaafkan, kita juga jadikan momentum ini untuk menguri-uri tradisi yang ada di tanah Nusantara ini.

Semua orang tentu boleh memaknai perayaan dari hari raya idul fitri dengan cara yang berbeda-beda. Ada istilah syawalan, ada lombanan, ada kupatan, berziarah ke makam atau nyadran, ada mudik, ada takbir keliling, dan semua itu merupakan warisan dari leluhur kita yang harus kita uri-uri.

Sehingga agama Islam datang tidak menghapus budaya, tradisi dan kultur masyarakat setempat, akan tetapi Islam mampu melebur dengan tradisi tersebut. Tentunya dengan catatan bahwa tradisi atau budaya setempat tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Dan cara dakwah seperti itulah yang telah dikenalkan oleh para ulama atau Walisongo di tanah Nusantara ini, yakni bagaimana beliau memasukkan nilai-nilai Islam dengan menggunakan pendekatan-pendekatan budaya, bukan dengan pendekatan senjata dan peperangan.

Dan cara dakwah dengan menggunakan pendekatan budaya seperti yang dilakukan oleh ulama’ nusantara atau para walisongo tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, dimana Rasulullah melakukan dakwah dengan melalui jalur dakwah kultural yang disesuaikan dengan kondisi politik, sosial budaya atau kultur masyarakat setempat. Allah sendiri menegaskan dalam Al-Quran:

Baca juga:  Sajak-sajak Gus Mus dan Pengisahan Indonesia

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan lisan kaumnya

لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

supaya ia memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. Ibrahim [14]: 4).

Bagi sebagian ulama, lisan itu lebih luas dari bahasa. Akan tetapi mencakup di dalamnya budaya, adat-istiadat, tradisi, dan peri kehidupan manusia itu sendiri. Dan keberhasilan dakwah yang dilakukan oleh rasulullah tersebut bisa kita lihat bersama, bahwa sampai saat ini, agama Islam tersebar dengan luas, sangat lentur dan bisa diterima oleh seluruh kalangan, karena rahmat dan kasih sayang.

Jama’ah Sidang Jum’ah Rahimakumullah

Oleh sebab itu, mari kita perkenalkan wajah Islam yang rahmatan lil’alamin, yang ramah dan bisa diterima oleh semua kalangan, bukan dengan wajah marah dan arogan. Kita rangkul semua orang, bukan dengan memukul. Karena masyarakat Indonesia atau Nusantara ini dikenal sebagai masyarakat yang terbuka, moderat, rukun, cinta damai, murah senyum dan harmonis. Dan wajah seperti itulah adalah karakter dari Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang digambarkan oleh al-Qur’an QS. Al-Anbiya: 107.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” .

Semoga selepas dari kita menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita tetap menjadi pribadi yang istiqamah, baik dalam beribadah maupun dalam menebarkan kebaikan. Dan di bulan syawal ini semoga hati kita dilapangkan dalam memberi dan menerima maaf, dan kita juga selalu diberi kekuatan dalam melawan hawa nafsu. Amin amin yaa rabbal ‘alamin.

Baca juga:  Dilema Mimbar Agama, Berkaca pada Masjid di Madura

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top