Sedang Membaca
Kuburan dalam Puisi
Nanda Aziz Rahmawan
Penulis Kolom

Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Semarang. Mengasuh menikmatilangit.wordpress.com. Bisa ditemui di Instagram @nandaaziz17

Kuburan dalam Puisi

Orang mengunjungi kuburan itu hilang dan sedih. Kita menyaksikan gundukan dan nisan seperti melawan ingatan tak lengkap tentang penghuni kubur, sesal dan salah di waktu lalu. Kuburan mungkin patut dijadikan dalih untuk refleksi kehidupan dan menghikmati kematian, ketimbang mimbar-mimbar khutbah dan ceramah. Hatimu tak terenyuh mengingat mati? Berdoalah sungguh-sungguh, minta hati yang baru.

Di masa lalu, bocah-bocah diajak orang tua atau madrasah untuk diajarkan adab mengunjungi kubur dan tata cara mendoakan ahli kubur. Pelajaran tentang kepedulian pada sesama dan ketundukan pada Mahakuasa. Mereka dianjurkan mengerti peristiwa mati. Peristiwa ngeri itu mestilah terjadi pada tiap makhluk. Pelajaran mengunjungi kubur bermakna mengingatkan bocah-bocah agar sadar tentang mbeling dan badung.

Pada 2015, penyair bercap santri menggubah puisi tentang kuburan. Puisi ditulis M. Faizi berkisah gelisah penyair tentang makna kuburan yang hilang. Puisi berjudul “Suatu Malam Melintasi Kuburan”: Saat lewat di sebuah kuburan ranggas/ tertegun aku melintas/ melihat banyak guguran daun dan gelagah/ sedikit pertanda tiada jejak ziarah.

Sekarang kuburan itu sepi peziarah. Buktinya, kuburan hanya ramai gugur daun-daunan dan tumbuh rerumputan panjang. Orang-orang tak sempat merapikan dan membersihkan? Kuburan tak terawat itu tanda tak pernah dikunjungi. Kita berharap orang-orang tidak lupa untuk tetap mendoakan sanak saudara yang telah meninggal. Barangkali, doa lebih teknologis dan elektronis, tetap sampai dan diterima walau ‘tak saling bersua’.

Baca juga:

Baca juga:  Djamil Suherman dan dunia Sastra Pesantren

Penyair asal Sumenep melanjutkan: Suatu hari, akan datang sanak seberinda/ membabat semak, menabur bunga, duduk berdoa/ setelah berfoto dan pulang. Kita sulit mengulang masa lalu. Dulu, bocah-bocah diajak ke kuburan belajar tentang kemanusiaan dan hukum Tuhan. Kini, ritual dan pemaknaan itu mesti diisi dengan tradisi gandrungisme memotret situasi dan diri sendiri.

Penyair mengakhiri puisi: Malam sepi, gelap juga/ saat lewat di sebuah kuburan ranggas/ aku berjalan tergesa-gesa lalu menoleh ke belakang:/ menjauh secara jarak, mendekat secara waktu. Malam sepi dan gelap mengartikan mencekam. Tindakan ‘tergesa’ seperti keinginan lekas beranjak, sedang ‘menoleh’ menunjukkan ingatan atau kenangan atau hal tertinggal.

Kita menduga itu sesal dan dosa. Penyair mengakhiri puisi dengan keinsafan gerakan tergesa menjauh pada kubur tak dapat menyiasati gerak umur yang melaju.

Tahun 2009, barangkali M. Faizi selesai membaca puisi gubahan Berto Tukan berjudul “Sayonara”. Puisi pendek mengajak kita merenungi diri tentang garis kehidupan dan kematian. Simak puisi berbait dua:

Hujan jatuh di atas kuburan
Tanah merah sembunyikannya perlahan

Hujan jatuh di atas kuburan
Lulaby kehidupan

Puisi tak cuma keindahan kata-kata. Tak cuma keseragaman rima. Bunyi-bunyi terkadang menimbulkan efek mantra. Puisi bergelimang makna tak mesti panjang kata. Berto Tukan mengajak pembaca menapak tilas tentang ‘hujan-hujan’ dalam kehidupan. Muaranya pada ‘kuburan’ bertanda semua ‘kejatuhan’ hanya tertuju pada kepastian; kematian. Kehidupan cuma lulaby kehidupan. Cuma pengantar menuju tidur yang panjang. Puisi termua di kompasonline mengajak kita bercengkrama dan mengingat segala cobaan dan tempat segala pengembalian.

Baca juga:  Tradisi Lebaran Masyarakat Sunni dan Syiah di Arab Saudi

Berto Tukan berbeda pengisahan tentang kuburan meski sama-sama berbicara antara kehidupan dan kematian.

Masih di tahun 2009 kita mungkin tak wajib menyimak puisi gubahan Timur Sinar Suprabana. Tetapi sebagai bentuk ‘keimanan’ pada Tuhan melalui literasi, kita mesti mengusahakan membaca dan merenungi puisi milik penyair kelahiran Semarang. Puisi cukup pendek berbicara ‘cinta’ dan ‘kubur’. Ia menulis:

siapa, wahai
bikin kubur bagi Segala cinta

mengubah negeri
jadi mata air airmata

“cinta,” katamu, “yang kautumpas
dari Jiwa!”

Puisi berjudul “kubur bagi Segala cinta” bernada kritik pada lelaku kehidupan mutakhir. Pengertian cinta, mengubah negeri, dan mata air belakangan sedemikian kabur makna dan ideologinya oleh gempita urban, politik dan kebudayaan yang berpijak hanya pada kepentingan golongan elitis.

Timur Sinar Suprabana menggunakan kata ‘kubur’ sebagai metafora ‘Segala cinta’ yang mati di hati manusia-manusia modern. Ia tetap membicarakan kehidupan dan kematian. Hampir serupa dengan M. Faizi bercerita tentang ‘hegemoni’ modernitas, tetapi berbeda cara dalam penuturan.

Menyimak ‘kuburan’ dalam puisi, tak lengkap bila tak menyisipkan puisi fenomenal super pendek gubahan Sitor Situmorang. Puisi berjudul ”Malam Lebaran” berisikan sebaris kalimat pendek: Bulan di atas kuburan. Puisi sempat menuai perdebatan tafsir, bukti bahwa puisi pendek memiliki kekayaan makna dan interpretasi.

Kita tak perlu berandai-andai memaknai puisi penyair kelahiran Tapanuli Utara, Sumatera Utara ini dapat dibenarkan oleh kelompok ‘perdebatan’ tafsir itu. Sebagaimana pesan Sitor untuk menghidupkan ‘organisma sajak’ ini di meja analisis dan pisau bedah sastra, kita diperbolehkan urun rembug interpretasi.

Baca juga:  Menyimak Puisi Islam Awal Abad 20

Secara ilmiah, teks ini bakal langsung ‘terdepak’ dari pembahasan, lantaran Sitor ‘memaksa’ bulan nongol di hari pertama bulan Qomariyah. Dalam kaidah puisi yang tidak menuntut logika ilmiah, kita dapat mengartikan bulan sebagai lambang ‘cahaya’ di gelap malam.

Sebagaimana lebaran diartikan sebagai tanda ‘cahaya’ atau harapan baru tempat dimungkinkan seluruh dosa kepada Mahakuasa dikembalikan mulai dari nol. Sementara kuburan melambangkan kengerian atau ‘gelap’. Bisa berarti dosa atau pengingat bahwa segala maaf akan terputus di masa menemui kubur. Kuburan dapat bermakna ‘gelap’ atau secara literal sebagai tempat ‘pemutus’ kehidupan nyata.
***

Puisi bisa jadi wahana menyampaikan pesan-pesan menohok tentang kehidupan dan kematian. Pengingatan terhadap muasal dan muara hidup membuat setiap kita insaf mengusahakan hidup mulia dan bermartabat.

Kuburan menjadi referensi yang dianggap penting untuk menggerakan hati manusia dalam mengingat firman-firman Allah khususnya kematian.

Secara tidak langsung puisi akhirnya melatih mental untuk sanggup bertarung dengan kehidupan: perubahan-perubahan yang terjadi, kejatuhan-kejatuhan yang dialami dan kematian yang menanti sebagaimana diterakan M. Faizi, Berto Tukan, Timur Sinar Suprabana dan Sitor Situmorang. Kita wajib mengagendakan turut membaca warisan-warisan puisi, sebagai bahan perenungan dan pemuliaan diri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top