Sedang Membaca
Nuzulul Quran: Merendah di Hadapan Alquran
Najib Mubarok
Penulis Kolom

Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam NU Temanggung, Alumni S1 Matematika UIN Yogyakarta, S2 Matematika UGM, Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakrta, dan Pondok Pesantren Al-Ishlah Temanggung

Nuzulul Quran: Merendah di Hadapan Alquran

Terdapat sebuah perumpamaan di dalam Alquran. Keagungan Alquran membuat gunung tunduk dan hancur lebur jika Alquran diturunkan kepadanya. Namun, manusia sebagai tempat salah dan lupa sering melupakan keagungan Alquran tersebut. Mengapa?

Boleh jadi karena terlena keyakinan pribadi telah mampu memahami Alquran, manusia melupakan kerendahan hati. Atau bahkan menolak untuk merasa malu, manusia berlaku sombong terhadap ayat Alquran yang ternyata sangat mencerminkan kerendahan hati.

Kita tentu masih ingat perdebatan tafsir al-Maidah:51. Entah apakah karena kepentingan politis dan egosentris kelompok, terjadi perdebatan sengit berkenaan tafsir Al-Maidah:51. Dengan tafsir masing-masing, dua kubu saling beradu argumentasi, saling berkukuh sebagai yang paling mampu menafsirkan Alquran. Tak ubahnya pion-pion dalam bidak catur, dalil-dalil tafsir Alquran dan hadits dilontarkan sebagai senjata mengalahkan pendapat lawan.

Ada sikap rendah hati yang sudah mulai terkikis dari hati manusia terhadap Alquran. Mungkin karena pengetahuan yang terlalu luas, keagungan Alquran lantas dilupakan. Ilmu padi untuk semakin merunduk seakan terabaikan.

Merendah di Hadapan Ayat Alquran

Semasa nyantri dulu, Menjadi penderek (pembantu) kiai adalah bagian dari kegiatan sehari-hari saya. Ada satu keanehan yang baru saya sadari baru-baru ini, yaitu jarang sekali saya dapati kiai saya ndalil.  Padahal, sehari-hari beliau mengajar tafsir Alquran dan Hadits. Dinasehati kiai merupakan makanan sehari-hari. Tetapi jarang sekali, bahkan mungkin tidak pernah, saya dinasehati dengan dalil nash Alquran maupun Hadits secara langsung.

Perilaku serupa juga nampak pada Almarhum Presiden RI IV, Gus Dur. Ketimbang mengatasnamakan Al-Baqarah:185, yuridullahu bikumul yusra wala yuridu bikumul ‘usra, Gus Dur lebih memilih dalil khas Gus Dur sendiri yaitu gitu aja kok repot. Gus Dur sangat lantang menyuarakan kemanusiaan baik secara lisan maupun tulisan. Namun, Gus Dur jarang sekali ndalil. Bahkan dalam melawan argumentasi terhadap paham-paham radikal yang mengatasnamakan ayat-ayat jihad, Gus Dur justru mengedepankan dalil-dalil kemanusiaan dengan menjadikan ideologi negara sebagai dasar pijakan.

Baca juga:  Surah Al-Ikhlas dan Keutamaannya

Tentu ada alasan khusus dari sikap jarang ndalil beliau-beliau tersebut. Dengan segala ketidaktahuan saya sebagai santri, saya hanya mampu menebak-nebak apa yang hendak kiai-kiai tersebut dawuh-kan kepada saya ketika saya tanyakan alasan sikap mereka tersebut.

“Seberapa muliakah saya sehingga merasa pantas menjadikan Alquran benteng keburukan argumentasi saya? Biarkan saja nanti Alquran yang memutuskan apakah hendak merasuk ke dalam kalimat-kalimat saya atau tidak.”

Ada nilai tanggung jawab dari sikap beliau-beliau tersebut dengan sangat berhati-hati mengatasnamakan ayat Alquran. Atas dasar kehati-hatian, muncul kekhawatiran menggunakan kalimat “Ini ayat Alquran” sebagai benteng pertahanan pembenaran dan anti penyangkalan.

Tidak ada yang salah dari mengutip ayat Alquran maupun Hadits dalam interaksi sosial kita. Terlebih jika ndalil ayat-ayat suci ini dilakukan dalam majlis ta’lim maupun kegiatan belajar mengajar yang mengharuskan merujuk dalil yang menjadi landasan. Namun, sikap rendah hati mutlak dijadikan dasar setiap kali mengatasnamakan ayat Alquran.

Belajar dari tradisi di pesantren-pesantren, Setidaknya terdapat tiga kebiasaan yang mencerminkan sikap rendah hati dalam mengutip ayat Alquran maupun Hadits. Pertama, setiap kali mengartikan potongan ayat Alquran maupun Hadits selalu diawali kalimat pembuka, ingkang kirang langkung artosipun (yang kurang lebih artinya). Sepintas penggunaan kalimat pembuka semacam ini menunjukkan keraguan dalam memaknai dalil, menunjukkan kesan kurang begitu paham. Namun dibalik itu semua, ada manifestasi sikap rendah hati dalam memaknai dalil. Penggunaan kalimat kirang langkung menyatakan bahwa pihak yang berbicara hanya mampu berusaha mendekati maksud suatu dalil, bukan memastikan maksudnya.

Baca juga:  Tren Identitas Syar’i dan Budaya Pop

Kedua adalah penggunaan kalimat penutup اَوْ كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ  (atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah) setiap kali selesai mengutip sabda Rasulullah SAW. Ini menunjukkan bahwa pihak yang berbicara hanya mampu mengupayakan mendekati redaksi asli yang disabdakan Rasulullah berdasarkan informasi yang diperoleh dalam rantai sanad tertentu.

Ketiga adalah penggunaan kalimat وَاللَّهُ اَعْلَمُ بِالصَّوَاب  (Allah maha mengetahui yang sebenarnya) yang lazim diucapkan setiap kali mengakhiri kegiatan mengaji. Di sini, ada pengakuan sebagai yang bodoh dan hanya Allah yang maha mengetahui. Ada pelajaran bagi setiap pembelajar bahwa manusia tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak yang hanya dimiliki Allah.

Hal hal sederhana tersebut terkesan sepele. Namun, hal-hal sepele tersebut memiliki dampak yang baik jika dijadikan dasar dalam membentuk budaya argumentasi yang santun saat mengatasnamakan Alquran dan Hadits. Menjadi hal sangat memalukan jika pengetahuan manusia yang sangat sedikit dalam memahami ayat Alquran justru merendahkan ayat Alquran yang sangat mencerminkan kerendahan hati.

Ayat Alquran yang “Rendah Hati”

Di dalam Alquran, disebutkan banyak nama-nama (asma’) Alquran yang menunjukkan sikap Alquran memposisikan diri di hadapan manusia. Saat Alquran sebagai Al-Hukm (peraturan), Alquran memberikan aturan hukum pasti tentang halal, haram, perintah, larangan, melalui bentuk kalimat (sighat) yang jelas (sharih). Misalnya dalam perintah salat dan larangan mendurhakai orang tua, Alquran memposisikan diri sebagai imam yang harus ditaati manusia sebagai makmumnya.

Perintah salat dan larangan mendurhakai kedua orangtua disampaikan dalam bentuk kalimat perintah (amr) dan larangan (nahiy) yang jelas dan terperinci. Ada pula sisi kelembutan Alquran lewat nama Al-Rahmah (kasih sayang). Dikisahkan dalam sejarah, Sayidina Umar bin Khattab yang terkenal memiliki perangai keras dan tegas diluluhkan hatinya oleh lantunan surah Thaha yang dibaca adik perempuannya.

Baca juga:  Pentingnya Belajar Fikih untuk Memahami Islam

Namun dari semua keagungan Alquran dalam semua namanya, terdapat satu fakta tersembunyi yang jarang terbahas, yang secara explisit tidak dikandung oleh nama-namanya. Sebagian ayat Alquran secara tersirat melalui bentuk redaksinya menunjukkan sikap rendah hati terhadap manusia.

Dari 114 surah di dalam Alquran, terdapat setidaknya 35 surah yang berisi kisah umat–umat terdahulu. Dalam 35 surah ini, kurang lebih terdapat 1600 ayat yang menggunakan narasi cerita (story telling). Jumlah ini merupakan jumlah ayat terbanyak saat dibandingkan dengan ayat tentang hukum, ibadah, maupun akidah.

Untuk mengajarkan keburukan sifat sombong, Alquran banyak bercerita tentang Fir’aun dan kesombongan iblis terhadap Nabi Adam. Untuk mengajarkan akibat keserakahan, Alquran bercerita tentang Qarun. Untuk mengajarkan kepemimpinan dan kesabaran, Alquran bercerita kisah Nabi Ibrahim. Dari semua kisah yang diceritakan, seakan Alquran memberikan kebebasan kepada manusia untuk memaknai sendiri. Alquran tidak selalu mendikte manusia lewat perintah dan larangan. Dalam 1600 ayat, Alquran lebih memilih berdialog dengan manusia untuk memikirkan sendiri mana yang baik dan mana yang buruk, lewat cerita keteladanan dan cerita kaum-kaum yang dilaknat. Sebagaimana teori story telling dalam ilmu pendidikan, bercerita memberikan pelajaran tanpa harus menggurui.

Jika Alquran sebagai tempat keagungan firman tuhan mampu menunjukkan teladan sikap rendah hati, maka hujjah apa yang membuat manusia sebagai tempat salah dan lupa merasa paling mampu menjadi juru bicara Alquran?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top