Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Huru-hara Kudus dan Dipenjarakannya K.H. Raden Asnawi

Perihal K.H. Raden Asnawi Kudus pada tulisan sebelumnya penulis sempat membincang ihwal kenangan penulis bersama kitab Fasholatan karangan beliau dengan judul “Kitab Fasholatan dan Kenangan Belajar Salat Masa Kecil“, lalu pada tulisan selanjutnya membincang “Semangat Literasi KHR. Asnawi dalam Kitab Fasholatan“.

Namun pada tulisan kali ini, penulis akan menceritakan perihal huru-hara Kudus dan dipenjarakannya K.H. Raden Asnawi bersama beberapa ulama Kudus di rumah tahanan kolonial. K.H. Raden Asnawi bersama beberapa ulama terkena fitnah mendalangi peristiwa huru-hara Kudus. 

Ceritanya begini, tahun 1917 M., K.H. Raden Asnawi mendirikan madrasah Qudsiyah yang ditempatkan di sebelah barat masjid menara Kudus. Setahun  kemudian 1917 M, K.H. Raden Asnawi bersama tokoh masyarakat memprakarsai ndandani dan mempecntik masjid menara Kudus. Pembangunan itu pun dilakukan dengan gotong royong. 

Malam harinya para santri kerja bakti mencari batu dan pasir dari kaligelis dan diletakkan di sekitar lokasi pembangunan masjid, siang harinya batu dan pasir tadi dikerjakan para tukang yang bekerja secara sukarela. Pembangunan masjid pun berjalan mengalir begitu saja.

Namun situasi berubah kala sebuah peristiwa yang disebut “Huru-hara Kudus” terjadi di tengah proses pembangunan masjid. K.H. Raden Asnawi bersama beberapa ulama Kudus terkena fitnah dan harus mendekam di penjara kolonial.

Baca juga:  Asal-Usul Kelompok Islam Puritan (4): Perjumpaan dengan Islam Nusantara

Dalam catatan buku Intelektualisme Pesantren seri 2 (2003), sabab musabab peristiwa ini ditengarai orang-orang Cina yang hendak mengadakan pawai yang rutenya melewati depan masjid Menara Kudus. Lantas para ulama dan pemimpin Islam menyurati pada komunitas Cina agar rute pawainya tidak melewati jalan masjid Menara Kudus, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pembangunan masjid, serta mengambilan batu dan pasir dari kaligelis.

Namun tampaknya komunitas Cina tak menggubris surat itu, rute pawai mereka tetap saja melewati jalan di depan masjid Menara Kudus. Rombongan pawai Cina yang datang dari depan masjid Menara Kudus menuju ke selatan bertemu dengan rombongan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil batu dan gerobang dari selatan ke utara.

Huru-hara pecah tatkala salah seorang santri yang menarik gerobak dipukul oleh pihak komunitas Cina. Namun entah bagaimana, huru-hara itu berkembang sedemikian dahsyatnya. Agaknya ada pihak ketiga yang bertindak di air keruh yang membuat kisruh suasana. Korban pun berjatuhan dari pihak kedua komunitas ini. Banyak rumah penduduk Cina dan Jawa yang terbakar.

Beberapa pihak berpendapat, sulit dipastikan bahwa huru-hara ini murni konflik antarentnis. Mengingat hubungan etnis Cina dan Jawa sudah sedemukian erat sejak zaman Sunan Kudus. Hal itu dibuktikan dengan adanya makam tokoh Cina yang sangat dihormati di Kudus, yaitu Kiai Telingsing yang nama aslinya The Ling Sing. Sudah dimaklumi bahwa Kiai Telingsing adalah guru dan sahabat Sunan Kudus (Al-Qurtubi, 1999).

Baca juga:  Masjid Pesantren Tambakberas, Saksi Sejarah Pejuang Revolusi

Kendati demikian, nyatanya “Huru-Hara Kudus” tetap terjadi dan tak terhindarkan. Fitnah pun menimpa K.H. Raden Asnawi dan beberapa ulama. Dengan dalih memberikan fatwa memperbolehkan tindakan pengrusakan dan perampasan, serta memimpin tindakan itu, maka pemerintah Kolonial Belanda menangkapi para alim ulama termasuk K.H. Raden Asnawi.

K.H. Raden Asnawi sendiri dijatui hukuman selama tiga tahun. Mula-mula beliau dipenjara di Kudus, kemudian ia dipindah ke penjara semarang bersama-sama dengan K.H. Ahmad Kamal Damaran, K.H. Nurhadi dan K.H. Mufid Sunggingan serta tokoh lainnya (Zuhri, 1983).

Dalam catatan K.H. A. Minan Zuhri yang sekaligus merupakan cucu K.H. Raden Asnawi, selama berada di penjara Kudus, setiap malam jum’at, K.H. Raden Asnawi dan ulama lainnya memperbanyak membaca salawat dan membaca kitab Barzanji. Di samping itu, beliau sempat menerjemahkan kitan  Ajrumiyyah (ilmu nahwu) ke dalam bahasa Jawa. Sayangnya naskah itu belum ditemukan sampai sekarang (Zuhri, 1983).

Pasca keluar dari penjara semangat dakwah K.H. Raden Asnawi tak pernah padam. Beliau pun giat berdakwah ke pelbagai penjuru Jawa Tengah untuk mengajar ilmu agama dan membacakan kitab kuning.

Begitulah kisah “Huru-Hara Kudus” dan dipenjarakannya K.H. Raden Asnawi. Kendati diterpa fitnah hingga masuk dalam penjara, namun semangat belajar dan dakwahnya tak pernah kendur. Sungguh memetik hikmah kisahnya adalah sebuah kebajikan. Wallahu A’lam. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top