Sedang Membaca
Mengenal Kitab Pesantren (45): Kitab Tarikh Auliya’, Membaca Sejarah Wali Tanah Jawa

Pelajar di Islamic Home Schooling Fatanugraha Wonosobo, sedang mengaji Tari Topeng Lengger yang ada di Wonosobo.

Mengenal Kitab Pesantren (45): Kitab Tarikh Auliya’, Membaca Sejarah Wali Tanah Jawa

Kitab Tarikh Auliya’, Membaca Sejarah Wali Tanah Jawa

Kitab Tarikh al-Auliā’: Tārīkh Wali Sanga, merupakan kitab sejarah yang ditulis oleh  seorang Kiai. Sekilas membaca judulnya kita akan berpikir bahwa kitab itu hanya membahas Wali Sanga. Namun pandangan semacam itu akan hilang saat membaca sampul dalamnya. Tertulis, “Nerangaken babad ipun Wali tanah Jawi, dipun tambah cathetan-cathetan tarikh Indonesia kanthi ringkes”.

Adapun latar belakang penulisan kitab itu, dapat kita simak sebagai berikut:

“Wiwit kita bangsa Indonesia dados bangsa ingkang merdeka, rupi-rupinipun kita lajeng sami giat naluri leluhur-leluhur kita, babad-babad dipun sinau, sejarah-sejarah dipun wucalakèn ing sekolahan-sekolahan, ingkang mawi bahasa Indonesia, daerah lan sanes-sanesipun. Nanging buku-buku sejarah ingkang sampun sumebar utawi kawucalaken ing madrasah-madrasah punika sebagian ageng mboten nerangaken bab-bab ingkang magepokan kalian sejarahipun para wali-wali, para sunan-sunan pemedar agami Islam umumipun lan ing tanah Jawi khususipun.”

Kitab Tarikh al-Auliya ini ditulis oleh Kiai Bisri Musthofa, Rembang, Jawa Tengah Tertulis di bagian akhir kitab tanggal 12 Rabiul Awal 1372 H. Atau 19 November dalam kalender masehi.

Berangkat dari kegelisahan itulah, kitab Tarikh al-Aulia’ dilahirkan. Lanjut, dengan tawadlu’ Kiai Bisri Musthofa mengatakan tujuan penulisan kitab itu, yaitu sebagai bumbu bagi para guru dalam mengajarkan sejarah Indonesia. Seakan beliau mengajak kita untuk tidak melupakan sejarah dan terus mencintai negara ini, Indonesia. Sebuah tema yang mungkin dianggap lumrah hari ini, namun belum tentu seperti itu dan puluhan tahun yang lalu, telebih saat kitab itu ditulis oleh seorang Kiai pesantren.

Secara sistematika, bagian awal kitab itu mewedar garis keturunan para Wali dan Sunan, terutama di tanah Jawa. Dilanjutkan dengan beberapa kisah tentang perjalanan hidup sebagian Sunan dan masuknya Islam di Indonesia. Selanjutnya kitab bercerita tentang masuknya beberapa penjajah di indonesia, serta konflik yang terjadi di berbagai kerajaan.  Hingga akhirnya kitab ditutup dengan sejarah Indonesia, mulai masa pergerakan, hingga terbentuknya “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI).

Baca juga:  Kisah-Kisah Spiritual: Pertemuan Para Burung

Awal cerita, dikisahkan adanya seorang raja di negeri Campa bernama Kuntara, yang  memiliki tiga anak yaitu, Darawati Murdaningrum, Dewi Candrawulan dan Raden Cingkara. Kemudian hari, Dewi Candrawulan menjadi istri Ibrahim Asmaraqandi. Sedangkan Darawati Murdaningrum menjadi istri Kertawijaya—Raja Majapahit.

Kemudian, setelah memaparkan garis keturunan, bagian berikutnya bercerita tentang masuknya agama Islam di Indonesia. Menurut Abah dari KH Musthofa Bisri atau sering disapa gus Mus ini, Islam masuk ke Indonesia tidak lewat jalur perdagangan. Tujuan kedatangan para Wali ke jawa memang untuk berdakwah, seandainya ada yang berdagang hal itu hanya dijadikan sebagai penyamaran.

Kemudian jalan dakwah yang ditempuh oleh para Wali bukanlah kekerasan. Biasanya para Wali mendatangi para raja dan adipati untuk memeperkenalkan Islam. Jika dakwahnya ditolak, para Wali tidak pernah memaksa. Menghormati dan menghargai.

Bagian berikutnya, kitab tersebut bercerita tentang masuknya negara asing ke Indonesia. Dalam versi itu, Portugis menyerang Indonesia karena sentimen keagamaan. Saat itu, Indonesia masyhur sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam, sedangkan negara Portugis pernah diobrak-abrik oleh umat Islam Turki pada tahun 1453 M. Selain itu, penyerangan juga dikarenakan adanya motif penguasaan hasil bumi. Tak dapat dipungkiri Indonesia merupakan negara yang makmur dan subur. “Loh Jinawi” begitulah Kiai Bishri Musthofa menyebutnya. (hlm. 26)

Hal itu membuat Sultan Demak—Raden Fatah, khawatir, sehingga ia mengirimkan angkatan laut yang dipimpin oleh anaknya sendiri. Pengiriman pasukan bertujuan untuk mengusir Portugis. Patiunus dan bala tentaranya ternyata kalah persenjataan dengan Portugis. Ia kemudian pulang dan menggantikan ayahnya saat wafat pada tahun 1518. Sepeninggalnya, ia digantikan oleh anaknya, Pangeran Trenggana sebagai Sultan Demak ke-III. (hlm. 27)

Baca juga:  Ramdhaniyyat, Kitab Buya Yahya yang Terbit pada Bulan Ramadan Tahun Ini

Mulai melemahnya keadaan Indonesia, itulah keuntungan Portugis saat itu.  Konon, keadaan itu disebabkan adanya perpecahan di dalam dan para Wali yang menjadi penasehat para raja telah meninggal. Kemenangan berada di pihak Portugis dan Malaka dikuasai pada tahun 1511 M.

Bagian berikutnya, cerita beralih tentang berdirinya kerajaan Pajang. Saat Pangeran Trenggana wafat pada tahun 1550 M, terjadilah perebutan kekuasaan antara Jaka Tinggkir, menantu Pangeran Trenggana, dan Arya Jipang. Jaka Tingkir menang atas bantuan Suta Wijaya. Kerajaan pindah ke Pajang dan Suta Wijaya dianuherahi tanah Mataram.  Suta Wijaya pada akhirnya memberontak dan mendirikan kerajaan Mataram pada tahun 1582 M.

Singkat cerita, pada periode kepemimpinan ke-3 Mataram, Belanda mendarat di Banten (1628-1629 M). Belanda di Jakarta diserang oleh Sultan Agung, namun serangan itu tak membuahkan hasil. Hal itu memicu penyerangan berikutnya dari beberapa Kerajaan. Dimulai dari Mataram, Kesultanan Banten, Maluku,  Palembang, Makasar dan lainnya. Bangsa kita telah dipecah belah oleh Belanda, sehingga beberapa serangan itu kandas tanpa hasil apapun.

Selain itu, tipu muslihat Belanda juga menyebabkan perpindahan Kerajaan Mataram ke Kartasura pada Tahun 1678. Hal itu terus berkelanjutan hingga akhirnya Kerajaan Mataram terbelah menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Surakarta diduduki oleh Susuhunan Pakubuana III, sedangkan Yogyakarta diduduki oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuana.

Selanjutnya, Kiai Bisri Musthofa menceritakan kisah pemberontakan Diponegoro. Pertempuran hebat dengan Belanda itu tak hanya dilakukan oleh Diponegoro dan prajuritnya, tetapi juga para ulama. Belanda merasa kualahan dan lagi-lagi melancarkan tipu muslihatnya.  Perjanjian damai yang dibuat Belanda hanya merupakan siasat untuk melucuti persenjataan. Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado hingga wafat di sana.

Baca juga:  Hal yang Luput dari Keberagamaan Kita

Setelah beratus tahun hidup di bawah tekanan Belanda, bangsa kita sadar akan pentingnya sebuah kedaulatan. Hal ini memicu berdirinya berbagai organisasi pergerakan dan partai politik di tahun 1908 hingga tahun 1926. Mulai Budi Utomo, Sarekat Islam, Partai Komunis, Partai Nasional dan lain sebagainya. Meski memiliki cara yang berbeda, semua organisasi dan partai tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu terbebas dari penjajahan.

Cerita bergulir sambung-menyambung masuk pada masa Jepang. Meski singkat, kependudukan Jepang di Indonesia telah membuat bangsa kita semakin menderita dan kalang kabut. Diibaratkan “Koyo gabah den interi” begitu Kiai Bishri Musthofa menggambarkannya. Hinga akhirnya, Kaisar Jepang takluk kepada Sekutu dan bangsa kita mendeklarasikan kemerdekaan pada tanggal 15 Agustus 1945. Setelah itu, berita berlanjut tentang dinamika Indonesia pasca kemerdekaan. Mulai perjanjian Linggar Jati, desakan Portugis, terbentuknya R.I.S (Republik Indonesia Serikat) dan kembalinya menjadi Negara Kesatuan.

Berbicara tentang fakta sejarah, mungkin kitab ini terlalu singkat dan perlu dievaluasi. Meski begitu, Kiai Bisri musthofa telah memberikan pelajaran yang sangat baik dalam beragama dan bernegara. Bahwa,  kecintaan terhadap Tuhan, seharusnya berbanding lurus dengan kecintaan pada bangsa dan negara. Hal ini tercermin dari kalimat yang dipilihnya untuk menutup isi kitab, yaitu “Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Kecintaan terhadap tanah air telah diajarkan dan diwedar untuk kita semua dan ditanamkan sejakdini, bahwa hubbul wathon minal iman, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Jadi sangat penting sekali sebagaimana cuplikan puisi dari Yai Zawawi Imron bahwa, Kita minum air Indonesia menjadi darah kita//Kita makan buah-buahan dan beras Indonesia menjadi daging kita//Kita menghirup udara Indonesia menjadi napas kita//.. Siapa mencintainya//Jangan mencipratinya dengan darah//Jangan mengisinya dengan fitnah, maksiat, dan permusuhan Tanah air Indonesia//Adalah sajadah//Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
5
Senang
4
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
2
Scroll To Top