Tokoh kita ini bernama lengkap ‘Ayyad Syakir Hena, sosok koptik yang bergelar al-Muallim (pengajar/pendidik/guru) mencetak banyak generasi muslim menghafal Alquran.
Tak sulit menemukan rumahnya, meski berada 11 km dari pusat kota Provinsi Menia, Mesir. Rumah al-Muallim sangat terkenal. Sebelum memasuki kampungnya –yang mayoritas beragama koptik ini– orang-orang mengenal “pesantren tahfiz” ini. Setiap orang tua, muda, hingga anak-anak sangat mengerti lokasi persis kediaman sang al-Muallim. Memang, beliau sosok besar di kampung ini, bahkan kampung-kampung tetangga yang agak jauh.
Sepanjang menyusuri jalanan kampung, kita akan “dikejutkan” dengan pemandangan luar biasa; ibu-ibu berjilbab berdaster gelap dan berkalung salib. Salib?
Iya salib! Memang mereka penganut Kristen Koptik. Beberapa tak berjilbab. Sebagian kecil, muslim. Mereka hidup bertetangga, tak hanya rukun dan toleran, dan bersama-sama menghadapi suka dan duka kehidupan.
Gang-gang kecil berkelok akhirnya mengantarkan kita berempat sampai rumah al-Muallim. Dr. Muhammad Saifuddin, bersama Bapak Afandi, Husein (supir) Mesir, dan saya sendiri. Pohon petai rindang menyambut kita di depan rumahnya.
“Kita tak memakannya. Hanya buat peneduh rumah,” tukas Ammu Nageh, anak al-Muallim.
Kita disambut sangat ramah. Anak-anak kecil juga pada berkumpul mengitari kami. Pak Mena, cucu Al Muallim mempersilahkan kita masuk ruang tamu dengan terbuka, meski tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Baca juga:
Mesir Pernah Bersinar, Jepang pun Datang Belajar
Petualangan Gus Dur Muda di Kairo
Kami “disuguhi” pemandangan “Kristen”, ruangan penuh gambar Jesus, patung bersalib dan beberapa foto al-Muallim tertempel di dinding. Semuanya terlihat rapi dan bersih. Di samping ruang tamu, adalah tempat legendaris al-Muallim mengajarkan Alquran dan beberapa materi lain.
“Itu foto Al Muallim sedang mengajar anak-anak kampung. Mereka semua memanggilnya ‘Ayahku’. Para pelajar laki-laki dan perempuan, muslim dan koptik. Meski sebagian orangtua mereka juga pengajar, tapi mereka lebih suka diajar Al Muallim. Bahkan sebagian keluarga muslim mempercayakan anak-anaknya diajar Alquran oleh al-Muallim. Sebagai ucapan termakasih atas jasanya, beberapa orang tua muslim memberi hadiah Mushaf Alquran pada Al Muallim,” kenang Pak Marie, cucu Al Muallim yang lain.
‘Ayyad Syakir Hena memang bekerja sebagai pengajar, guru. Tahun 1956 beliau mendapat “Diploma Muallimin”. Sempat ditawari pemerintah menjadi guru, tapi beliau lebih memilih mendidik anak-anak kampung miskin bernama Thehna el-Gabal, yang jauh dari keramaian kota. Awal madrasahnya ada di dalam gereja kampung. Begitu kisah yang saya terima.
“Di sana, beliau meneruskan karir ayahnya, Syakir Hena, mengajar baca-tulis Alquran di Kuttab dalam gereja. Gereja saat itu juga menjadi madrasah kampung. Sebelum akhirnya dipindah ke rumah beliau sendiri,” kenang Pak Nageh anak al-Muallim ‘Ayyad bin Syakir Hena.
Di awal karir, beliau memang sering mengajar. Ada cerita Muallim Ayyad diminta khotbah juga, tapi cerita ini tidak valid. Tapi memang dia belajar dan menghadal Aluran sejak kecil, karena bapaknya pun demikian. Beliau mendidik Alquran lebih dari 50 tahun. Mengapa semua itu bisa terjadi?
Jawabannya cukup mencengangkan, masyarakat di sana, para penganut Koptik, tidak menganggap bahwa Alquran juga kitab suci mereka. “Alquran bukan kitab suci liyan,” kata Muhammad Saifuddin yang menyelesaikan S3 di Universitas Al Azhar. Tidak mengherankan, Alquran mereka baca, mereka amalkan, mereka hayati, tanpa ada ketakutan menjadi muslim. Tapi di sisi lain, kata Saifuddin, mereka tidak mengakui keislaman sebagai lembaga agama.
“Mereka sepakat mengatakan Tuhan kita sama, Tuhan kita satu, hanya cara menyembah dan menujunya yang beda.”
Tapi sedih sekali, kami baru sempat berkunjung ke rumah legendarisnya sore ini, setelah beliau wafat dua bulan sebelumnya. Al Muallim pun menemui Tuhannya berumur 87 tahun. Semoga semua kebaikan Al Muallim mendapat ganjaran di sisi-Nya.