Sedang Membaca
Catatan Perjalanan Ibnu Jubair: Inklusifitas Mazhab Fikih di Masjidil Haram (4-Habis)
Muhammad Idris
Penulis Kolom

Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren

Catatan Perjalanan Ibnu Jubair: Inklusifitas Mazhab Fikih di Masjidil Haram (4-Habis)

Salah satu keajaiban yang menunjukkan kebesaran-Nya adalah bahwa Kakbah tidak pernah sepi dari orang-orang yang melakukan tawaf. Baik siang maupun malam hari selalu dipenuhi oleh umat Islam yang melakukan tawaf di sana. Tidak pernah ada cerita yang mengatakan bahwa Kakbah sepi tanpa orang tawaf. Sebuah kehormatan dan keagungan yang Allah berikan untuk tanah suci hingga hari kiamat nanti. ~Ibnu Jubair

 

Setelah di tiga tulisan sebelumnya saya telah mengulas seputar perjalanan ibadah haji Ibnu Jubair hingga catatannya terkait Kakbah dan sekitarnya, pada tulisan keempat yang sekaligus seri terakhir ini akan diulas ihwal kondisi ritual ibadah di tanah suci ini. 

 

Salah satu yang dipotret secara baik dan cukup detail oleh pelancong asal Andalusia ini adalah sisi inklusifitas bermazhab fikih di Makkah pada saat itu. Ibnu Jubair menyaksikan betapa toleransi bermazhab sangat dijunjung tinggi. Ia mengamati kebebasan bermazhab saat melakukan ibadah salat Jumat dan ibadah salat maktubah lainnya. Mengenai prosesi salat Jumat di Masjidil Haram ia mengisahkannya berikut ini:

 

Di hari Jumat dan waktu salat sudah semakin dekat para jamaah berkumpul di sekitar Kakbah. Tepatnya di antara rukun aswad dan iraqi mimbar. Kemudian sang khatib masuk ke pintu Nabi saw, dengan menghadap Maqam Ibrahim dengan mengenakan pakaian hitam yang dihiasi (warna?) emas dan memakai serban warna hitam……. Ketika dekat mimbar dan kemudian naik ke Hajar Aswad, ia menciumnya lalu berdoa dan kemudian menuju mimbar kemudian sang imam menemui muadzin dari (klan Zamzami) yang merupakan pemimpin para muadzin di Masjidil Haram …Sang muadzin berjalan di depannya. Ia juga mengenakan pakaian serba hitam. Di bahunya terdapat pedang yang tidak dikalungkan. Ketika sang Imam melangkahkan kakinya yang pertama menuju mimbar, sang muadzin menyarungkan pedangnya. Lalu dilanjutkan dengan memukulkan pedang ke sarung pedangnya dengan suara yang cukup keras dan terdengar oleh para jamaah. Begitu selanjutnya hingga sang Imam menaiki tangga kedua dan ketiga. Pada saat naik ke tangga mimbar yang keempat (tertinggi) sang muadzin memukulkan kembali pedangnya yang kemudian dilanjutkan dengan doa secara lirih. Sang khatib lalu menoleh ke kanan dan kiri jamaah kemudian dilanjutkan mengucapkan “assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh” yang dijawab oleh para jamaah yang hadir. Kemudian khatib duduk dan segera dilantunkan adzan kedua yang kemudian dilanjutkan khutbah oleh sang khatib. Seusai khutbah pertama, sang khatib duduk dan dilaniutkan dengan pukulan pedangnya muadzin yang kelima kalinya. Kemudian sang khatib berdiri kembali untuk menyampaikan khutbah keduanya. Membaca salawat kepada Nabi, keluarganya, dan secara khusus juga menyebut empat khalifah pengganti rasulullah saw. Lalu mendoakan dua paman Nabi; Hamzah dan Abbas, Hasan dan Husain. Kemudian mendoakan ummahatul mukminini, isteri-isteri Rasulullah saw. Membaca taradhi Fatimah az-Zahra dan Khadijah al-Kubra. Khalifah Abbasiyyah, Abul Abbas Ahmad Nashir, Amir Makkah Muktsir bin Isa bin Fulaitah bin Qasim, lalu Shalahuddin Al-Ayyubi. Ketika sang khatib menyebut nama Shalahuddin, jamaah menyahutnya dengan membaca “aamiin” dengan serentak dan keras di setiap sudut Masjid.

Baca juga:  Bangunan dan Arsitektur Jawa: Representasi Cinta Kepada Kanjeng Nabi

 

Secara khusus, Ibnu Jubair mengomentari bacaan amin dari para jamaah yang serentak dan keras di setiap sudut saat penyebutan nama Shalahuddin al-Ayyubi. Ia mengatakan dengan mengutip sebuah syair:

 

Ketika Allah memberikan cinta-Nya kepada seorang hamba, maka Dia akan melimpahkan cinta-Nya kepada manusia untuk mencintainya.  

 

Lima Mazhab Fikih di Masjidil Haram

Satu hal yang juga penting dalam catatan yang ditulis oleh Ibnu Jubair adalah persoalan kebebasan bermazhab di Masjidil Haram. Mazhab-Mazhab besar mendapatkan tempat yang cukup seimbang pada waktu itu. Tidak hanya Mazhab sunni (Aimmatul Mazahib al-Arba’ah), bahkan mazhab Syiah juga. Meskipun ia sendiri, sebagaimana bisa dibaca dalam catatan perjalanannya tersebut, terlihat kurang begitu sreg dengan mazhab Syiah Zaidiyyah. Ia menulis demikian:

 

Di tanah haram terdapat empat imam sunni (Syafii, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) dan satu imam mazhab Syiah Zaidiyyah. Sebagian besar masyarakat di sini mengikuti mazhab Zaidiyyah. Mereka menambahkan adzan dengan kalimat: “Hayya ‘Ala Khair al-‘Amal” setelah kalimat “Hayya ‘Alal Falah”. Mereka adalah kaum rafidhah yang kerapa melakukan kecaman (kepada sebagian sahabat Nabi?). Allah Swt sendiri yang akan menghisab dan mengganjar mereka.

 

Urutan dan posisi jamaah salat di Masjidil Haram disesuaikan dengan mazhab fikih setiap jamaah bersama imamnya masing-masing. adalah sebagai berikut: Imam pertama adalah imam dari mazhab Syafii. Mereka didahulukan karena merupakan mazhabnya khalifah Abbasiyah. Ia adalah orang pertama yang melakukan salat. Posisinya di belakang Maqam Ibrahim. Kecuali pada saat salat Magrib dilakukan. Semua mazhab salat dalam waktu bersamaan karena waktu salat Magrib sangat sempit. Muadzin mazhab Syafii memulai adzan dan dilanjutkan ikamah, lalu diikuti mazhab fikih lainnya. Terkadang sebagian jamaah salat lupa dan keliru karena suara takbir kerap bersamaan dari setiap sudut. Rukuk-nya pengikut Malikiyyah ada yang mengikuti rukuk-nya imam mazhab Syafii atau Hanafi. Atau bahkan ada yang mengucapkan salam sebelum imamnya selesai salat. 

Baca juga:  Selayang Pandang Gerakan Sumatera Thawalib

 

Demikianlah uraian tentang catatan perjalanan haji Ibnu Jubair yang bisa saya bagikan. Banyak hal yang dapat kita teladani dari kesabarannya melakukan perjalanan panjang dari Andalusia hingga sampai ke Mekkah. Terutama bagaimana ia menuliskan apa yang ia saksikan dalam lembaran-lembaran yang kemudian dibukukan dengan judul “Tadzkirah bil Akhbar ‘an Ittifaq al-Asfar” (Pengingat Cerita Tentang Perjalanan) atau lebih dikenal dengan nama “Rihlah Ibn Jubair” (Kisah Perjalanan Ibnu Jubair) ini.

 

Kesaksiannya tentang inklusifitas mazhab Fikih di tanah Haram juga bisa menjadi perhatian kita semua, terlebih di masa di mana banyak dari orang-orang Islam merasa paling benar dan memvonis salah di luar kelompoknya. Bukankah di Mekkah pada abad keenam hijriyah sudah sedemikian terbukanya dalam bermazhab? Bagaimana dengan kita hari ini? Jawablah! Wallahu A’lam bis-Shawab (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top