Orang-orang Arab yang sekarang ini bermukim di Nusantara kurang lebih berasal dari Hadramaut. Hanya satu atau dua di antara mereka yang datang dari Maskat, di tepian Teluk Persia, dari Yaman, Hijaz, Mesir atau dari pantai timur Afrika. ~LWC van den Berg
Membincang sejarah Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan orang-orang Hadramaut (Hadrami). Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia dan negara-negara di sekitarnya memiliki hubungan erat dengan sejarah Al-Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir dan keturunannya (Abdullah bin Nuh, 1980 :169).
Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir (820-924 M) merupakan keturunan dari Ali bin Abi Thalib yang melakukan migrasi dari Bashrah ke Hadramaut pada saat dinasti Abbasiyah memegang tampuk kekuasaan. Anak-cucu Imam Al-Muhajir ini kemudian melakukan migrasi ke sejumlah negara seperti India, Afrika, hingga Nusantara. Konon, Syekh Jumadil Kubra, salah satu penyebar Islam terkemuka di Nusantara ini merupakan salah satu keturunannya.
Sejarah migrasi dan persebaran kaum Alawiyin (keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir), ke berbagai daerah ini terbagi ke dalam beberapa fase. Sayyid Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri dalam bukunya berjudul “Sirat as-Salaf min Bani Alawi al-Husainiyyin” membagi persebaran “Sadah Alawiyin” ke dalam empat fase: Fase pertama, dimulai dari abad ketiga hingga abad ketujuh Hijriah, yakni era Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir hingga Al-Faqih Al-Muqaddam.
Fase kedua, dari abad ketujuh hingga pertengahan abad kesebelas. Persisnya era Al-Faqih Al-Muqaddam hingga Al-Haddad. Fase ketiga, dimulai dari pertengahan abad kesebelas hingga abad empat belas. Fase keempat, terhitung sejak permulaan abad keempat belas hingga sekarang.
Dalam empat fase ini para keturunan Nabi, masih menurut asy-Syathiri, mendapatkan julukan yang berbeda-beda: Era pertama dijuluki “Al-Imam”. Fase kedua diberi gelar “Asy-Syaikh”. Fase ketiga, “Al-Habib”. Dan terakhir, fase keempat dijuluki “As-Sayyid”.
Sayyid Muhammad Asy-Syathiri menjelaskan alasan perubahan julukan tersebut dengan menguraikannya sebagai berikut:
Fase awal merupakan gerakan pendirian kehidupan baru, tanah baru dan masyarakat baru. Gelar Imam pada periode ini salah satunya disebabkan kemampuan keturunan Nabi dalam bidang ijtihad. Mereka adalah para mujtahid. Sehingga digelari “al-Imam” sebagaimana al-Imam al-Muhajir, al-Imam Alawi bin Ubaidillah, dan seterusnya.
Baca juga:
Fase kedua, ditandai dengan masuknya tasawuf ke Hadramaut. Tasawuf masuk ke tanah Hadramaut pada permulaan abad ketujuh Hijriah. Syekh Abu Madyan (salah satu sufi kenamaan asal Maghrib) mengutus salah satu muridnya yang cerdas untuk bertemu dengan Al-Faqih Al-Muqaddam.
Dikatakan, di era inilah kemudian muncul istilah Tarekat Alawiyah. Bani Alawiyin adalah para sufi yang dalam fikih bermazhab Syafii dan dalam akidah mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Meski demikian, masih menurut asy-Syathiri, mereka tidak taklid secara buta. Ada beberapa hal dari kedua mazhab besar fikih dan akidah tersebut yang tidak diikuti oleh Bani Alawiyin.
Fase Ketiga ditandai dengan munculnya Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi, Al-Habib Hasan bin Shalih Al-Bahr, All-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, dan lain sebagainya. Fase ini agak berbeda dengan dua fase sebelumnya. Salah satunya adalah dimulainya migrasi secara besar-besaran ke wilayah India dan sekitarnya.
Pada abad kesebelas dan dua belas Hijriyah keturunan dari generasi ini hijrah ke Nusantara. Salah satu karakter Bani Alawi adalah hidup secara nomaden. Dalam sepanjang hidupnya tidak menetap di satu tempat. Suka berpindah-pindah. Bagi mereka, masih menurut asy-Syathiri, hidup di satu tempat terlalu sempit. Terlebih di Hadramaut.
Fase keempat yang dimulai dari awal abad keempat belas hingga sekarang tidak dijelaskan oleh asy-Syathiri secara detail. Bahkan cenderung melakukan introspeksi diri bagi kalangan Alawiyin ini.
Menurutnya, di fase ini semuanya mengalami kemunduran di segala aspek. Ia menguraikan bahwa hanya satu obat yang bisa mengembalikan Alawiyin seperti fase sebelumnya. Kembali kepada apa yang telah diteladankan oleh para pendahulunya baik dari sisi ilmu pengetahuan, amal, akhlak dan kepemimpinan.
Dari uraian Sayyid asy-Syathiri ini saya jadi mafhum atas penjelasan dari Habib Zein Umar bin Smith Ketua Umum Rabithah Alawiyah saat diwawancara oleh Tirto.id :
Sebetulnya, “Habib” ini punya kedudukan tertentu, istimewa. Artinya dipanggil “Habib” itu orang yang benar dan dicintai. Kemudian yang kedua: dia benar menjadi ahli ilmu. Misal, orang biasa dari keturunan mungkin cukup dengan “Sayid”.
Pun demikian saya juga menjadi mengerti ucapan Sayyid Salim, putera dari Habib Umar bin Hafidz yang mengatakan: “Saya bukan Habib. Saya bukan Habib! Semua itu dari ayah saya, saya bukan Habib!”
Dari sini juga dapat dipahami bahwa panggilan Habib bagi kalangan Alawiyin berlaku pada abad kesebelas hingga permulaan abad keempat belas Hijriah. Sedangkan di masa sekarang, mereka dipanggil Sayyid.
APAKAH ‘MASIH’ ADA PARA PEWARIS KETURUNAN MUHAMMAD (QS. 19:58)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ليس مِن رجلٍ ادَّعى لغير أبيه وهو يَعلَمه إلاَّ كفر بالله، ومَن ادَّعى قوماً ليس له فيهم نسبٌ فليتبوَّأ مقعَدَه من النار ))، رواه البخاريُّ (3508)، ومسلم (112)، واللفظ للبخاري
“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
motto:
HABIB merupakan gelar mulia untuk KETURUNAN HUSSEIN bin Ali bin Abi Thalib (Muhsin Labib)
Untuk tidak salah dalam mengartikan sebutan ‘habib’ maka simak artikel ini:
Habib merupakan gelar mulia untuk keturunan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Cucu Nabi Muhammad ini dibunuh secara kejam di Karbala. Anaknya, Ali Zainal Abidin, karena tekanan penguasa khalifah “Islam”, hanya bisa menjadi ahli ibadah, maka di belakang namanya ada gelar abidin. *)
Sementara sebagian umat Muslim sering menggunakan istilah atau sebutan pewaris Keturunan Rasullullah atau keturunan ahlul bait atau keturunan nabi. Pada hal jika berdalil pada Al Quran maka istilah KETURUNAN AHLUL BAIT atau KETURUNAN NABI apa lagi sebutan KETURUNAN RASUL maka ketiga istilah ini tidak ada sama sekali.
Jangankan ketiga istilah tersebut, sebutan KETURUNAN MUHAMMAD saja tidak di-abadi-kan di dalam Al Quran sama halnya dengan tidak ada sebutan KETURUNAN NUH (QS. 19:58). Kenapa sebagian umat Muslim ada yang berani mengaku-ngaku sebagai pewaris dari keturunan ahlul bait, keturunan nabi atau keturunan rasul??? Bagaimana dengan bunyi dan hakikat hadits Nabi Muhammad SAW di atas?
Selanjutnya, jika definisi Muhsin Labib digunakan timbul pertanyaan lalu bagaimana dengan Keturunan Hassan bin Ali bin Abi Thalib, gelar mulia apa yang bisa disematkan kepada pewaris keturunanya?
https://www.beritaislam.org/2019/08/kenapa-disebut-habib.html
*) https://muhsinlabib.com/mencari-habib-sejati/
Komentar juga atas: https://www.idntimes.com/news/indonesia/ilyas-listianto-mujib-1/apa-itu-gelar-habib-dan-siapa-yang-berhak-menyandangnya/full