Drijowongso bukanlah orang yang dikenal sebelum ia memutuskan bergabung dengan Muhammadiyah pada tahun 1923. Dia seorang aktivis dari kaum buruh di Porong, Sidoarjo. Bekerja berpindah-pindah tempat sebagai tenaga buruh di perkebunan tebu, perusahaan kereta api, hingga pabrik gula, ia menjadi aktor penggerak aksi-aksi pemogokan.
Sepak terjangnya selalu dalam intaian tantara kolonial. Beberapa kali masuk bui tidak membuatnya jera menyuarakan keadilan bagi kaum buruh.
Ketika mendekam di tahanan di Semarang, ia berhasil didekati oleh para aktivis Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV). Ketika dipindah ke penjara di Magelang, ia mendengar kiprah sosok kiai kharismatik dari Yogyakarta yang memiliki pandangan cukup maju pada waktu itu. Dialah KH. Ahmad Dahlan, President Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah, yang kebetulan mengajar di OSVIA Magelang.
Siapakah sebenarnya sosok Drijowongso?
Dia hanya seorang buruh tani yang miskin asal Jawa Timur. Menikah dengan Marakati, Drijowongso dikaruniai seorang anak. Tetapi hingga kini nama anaknya belum diketahui. Namun sang istri yang bernama Marakati Drijowongso dapat diketahui perannya dalam sejarah pergerakan nasional ketika menghadiri Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta.
Drijowongso adal Porong mengadu peruntungan nasib menjadi buruh tani tebu di Klaten. Anak dan istrinya ditinggalkan di Porong, Sidoarjo. Pandangan hidup Drijowongso radikal-sekuler, jiwanya selalu memberontak. Sudah bekerja keras di bawah tekanan para cukung Belanda, pendapatannya tetap tak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk menghidupi anak dan istrinya.
Terbakar semangat oleh bujukan Haji Misbach, para buruh tani tebu di Klaten berontak. Mereka melakukan pemogokan kerja secara massal pada sekitar tahun 1921. Drijowongso termasuk salah satu aktor di balik aksi pemogokan buruh tersebut. Akibatnya, kerugian besar ditanggung perusahaan milik para cukong kolonial.
Akhirnya, buruh tani asal Porong tersebut ditangkap oleh tentara kolonial dan dijebloskan ke dalam penjara di Semarang yang kemudian dipindah ke Magelang selama satu setengah tahun.
Betapa sedih dan sengsara sosok Drijowongso selama di penjara. Anak dan istrinya tidak mendapat kiriman uang untuk membiayai hidup di kampung. Dalam keheningan di penjara, ia teringat pada sosok ulama modernis yang sangat murah hati. Teringat dalam pikirannya sebuah organisasi yang telah didirikan oleh ulama tersebut: Muhammadiyah.
Tampaknya, kemunculan sosok ulama modernis dari Kauman, Yogyakarta, sudah santer beredar di daerah Magelang. Bahkan, ulama tersebut juga mengajar di salah satu sekolah kolonial ternama di kota ini (OSVIA). Pandangan keagamaannya dinilai sangat maju. Apalagi, lahirnya gerakan Islam modern yang digagas oleh ulama modernis tersebut bertujuan untuk memajukan kaum pribumi.
Drijowongso pun tertarik. Ia mengajukan permohonan kepada HB Muhammadiyah supaya berkenan menghidupi anak istrinya yang berada di Porong.
Meskipun Drijowongso telah dipengaruhi oleh para agen ISDV selama di penjara, tetapi sebagai seorang suami dan ayah ia tetap memikirkan nasib istri dan anaknya di Porong. Tertarik setelah mendengar kisah seorang kiai kharismatik dari Yogyakarta, maka Drijowongso menulis surat ditujukan kepada HB Muhammadiyah memohon agar anak istrinya dibantu selama dirinya mendekam di penjara.
Surat Drijowongso langsung direspon oleh HB Muhammadiyah sehingga pada tanggal 20 November 1921, K.H. Ahmad Dahlan, Haji Fachrodin, dan Siti Mundjiyah berangkat ke Jawa Timur untuk menjemput anak dan istri Drijowongso. Sebenarnya, utusan HB Muhammadiyah ke Jawa Timur tidak hanya dalam rangka menjemput anak dan istri Drijowongso, karena sebelumnya ketika pimpinan Muhammadiyah-‘Aisyiyah tersebut menghadiri openbare vergadering Sarekat Islam di Kediri dan mengunjungi salah satu sekolah Muhammadiyah di Kepanjen.
Setelah itu, ketiganya langsung menuju Porong, Sidoarjo, menjemput anak dan istri Drijowongso yang hidup sebatang kara di bawah gubuk yang tidak layak huni.Verslag yang ditulis Haji Fachrodin “Mengoenjoengi Openbare Vergadering SI di Kediri” yang dimuat di Soewara Moehammadijah nomor 1/Th. IV/1922 menjadi sumber primer yang mengungkap siapa sebenarnya sosok Drijowongso.
“Maka paginja oetoesan bertiga itoe laloe sama berpergian teroes ke Porong, menoedjoe roemahnja saudara Drijosastro, perloe hendak mendjempoet istrinja saudara Drijowongso, perloe akan dibawa ke Djokja, sebab ia mengirim soerat kepada HB Moehammadijah, perloe minta pertoeloengan bahwa ia ditinggal oleh jang laki mendjalani hoekoem 1 1/2 tahoen, lantaran membela bangsanja. Maka oleh karena H B. Moehammadijah tida dapat menolongi dengan wang derma, tetapi sanggoep menolongi dengan memberi penghidoepan dan pakaian selama jang laki di dalam Boei, dan pertoeloengan itoe ada di Djokja. Boekan sahadja Moehammadijah menoeloeng itoe tentang penghidoepannja sahadja, tetapi djoega dipelajari agama Islam, jang di kemoedian hari bisa diharap, dapat mendjadi pemimpin istri tentang agama Islam. Dan djoega ia dipeladjari bekerja, pekerdjaan mana jang akhirnja dapat mencahari penghidoepan. Perloenja apabila semasa jang laki dapat meneroeskan dalam pergerakannja, dan kalaoe dapat halangan lagi seperti jang telah terdjadi pada masa ini, dapatlah ia mencahari penghidoepan sendiri dengan tida mendjagakan pertoeloengan lain orang,” tulis Fachrodin.
Satu setengah tahun sudah lewat, Drijowongso baru saja keluar dari penjara di Magelang. Ia langsung menuju ke Yogyakarta, bermaksud menemui anak dan istrinya. Alangkah kagetnya dia sewaktu menemui anak dan istrinya. Sebelum dididik dan dibina oleh HB Muhammadiyah, anaknya masih kecil dan lugu. Kini, sang anak telah tumbuh besar, berpenampilan rapih, dan terdidik.
Sang anak menyambut ayahnya dengan hormat lagi santun. Tutur katanya sangat sopan, berbeda jauh kondisinya ketika masih hidup di Porong. (Baca: Haji Fachrodin, Tokoh Muhammadiyah di Jalur Kiri)
Begitu juga istri Drijowongso, lebih kelihatan rapih penampilannya, dan sangat sopan perilakunya. Anak dan istri Drijowongso seolah-olah pernah mengenyam pendidikan formal karena mereka memiliki wawasan yang luas, bahkan pengetahuan keagamaan yang memadai. Batin Drijowongso tersentuh. Ia merasa berhutang budi kepada Muhammadiyah.
Pada hari itu juga, ia bertekad untuk terlibat aktif di Muhammadiyah. Pada waktu itu pula, HB Muhammadiyah sedang menggelar Rapat Tahunan (1923) bertempat di rumah R. Wedana Djajengprakosa. Sekretaris HB Muhammadiyah menerima Drijowongso yang bermaksud mengabdi di Muhammadiyah.
Dalam notulen “Peringatan Perkoempoelan Tahoenan Moehammadijah 30 Maart- 2 April 1923 di Jogjakarta,” Ng. Djojosoegito menulis,
“S. Drijowongso, jang baroe pada siangnnja hari itoe keloear dari pendjara di Magelang sebab dihoekoem 1 1/2 tahoen karena perkara pergerakan, berpidato keadaan dirinja. Kemoedian dimoeka orang ramai ini melahirkan terima kasihnja kepada perserikatan Moehammadijah, karena soedah memeliharakan anak bininja selama dia didalam pendjara 1 1/2 tahoen itoe. Tiada henti dipeliharakan makan dan pakaiannja sahadja, tetapi djoega dipeliharakan pengadjarannja. Sekarang ia keloear dari pendjara ketemoe dengan istrinja jang soedah beroebah sifatnja, ja’ni jang dahoeloenja tida mempoenjai kepandaian sekarang soedah mempoenjai kepandaian, teroetama kepandaian perkara agama. Inilah sesoenggoehnja terlebih perloe, jang selama mendjadi istrinja dia tiada tjakap mengadjar, sebab memang dia sendiri beloem mempoenjai pengertian akan hal itoe.”
Di hadapan para peserta sidang, Drijowongso mengucapkan banyak terima kasih kepada Muhammadiyah. Tanpa ragu, ia menyatakan siap mengabdi di Muhammadiyah. Dia pun dipilih sebagai sekretaris Bagian PKO, mendampingi Kiai Syuja’.
Sejak saat itulah, perlahan-lahan, nama Drijowongso mulai dikenal di kalangan Muhammadiyah. Ia yang telah menyatakan siap berkhidmat dalam berjuang di Muhammadiyah bekerja dalam sunyi. Namun kesunyiannya bukan tanpa hasil. Spirit revolusioner tafsir al-Maun yang menjadi landasan teologis gerakan PKO rupanya mampu menggetarkan hatinya. Jika sebelumnya Drijowongso mengenal gagasan-gagasan revolusioner lewat pemikiran-pemikiran Sosialisme-Marxis (gerakan kaum buruh kiri), setelah bergaung dengan Muhammadiyah ia menemukan spirit yang sama namun berhaluan religius.
Selain mengurus administrasi Bagian PKO, Drijowongso juga aktif menggalang dana untuk membangun rumah miskin dan balai pengobatan yang diperuntukkan bagi para dlu’afa pribumi. (Baca: Haji Misbach, Tokoh Muhammadiyah di Jalur Kiri)
Sedangkan istri Drijowongso, yakni Marakati, setelah mendapat bantuan, bimbingan, dan pengajaran dari HB Muhammadiyah, ia perempuan terdidik. Mengikuti jejak suaminya, ia pun terjun ke medan pergerakan kaum perempuan pribumi.
Marakati Drijowongso aktif di Perempuan Partai Sarekat Islam yang mewakili organisasinya dalam Kongres Perempuan Pertama tahun 1928 di Mataram (Yogyakarta). Susan Blackburn (2007) mencatat peran Marakati Drijowongso sebagai utusan organisasi perempuan yang menjadi organisasi sayap Partai Sarekat Islam. Ia bersama Nyonya Soekonto (utusan Wanito Oetomo) adalah dua orang perempuan yang menjadi peserta Kongres Perempuan Pertama dengan latar belakang pendidikan non formal.
Itu baru sepenggal kisah Drijowongso. Orang yang berkhidmat dalam Muhammadiyah seperti orang yang bekerja dalam sunyi. Seperti sosok Drijowongso dari Porong, Sidoarjo, pada mulanya ia bukanlah orang yang dikenal di kalangan Muhammadiyah, apalagi umat Islam di Hindia Belanda pada awal abad 21. Tetapi akhirnya Drijowongso menyatakan bergabung dengan Muhammadiyah, menjadi sekretaris Bagian PKO Muhammadiyah mendampingi Kiai Syuja’ (ketua).
Barangkali inilah yang sering luput dari perhatian para peneliti Muhammadiyah kini yang sulit mengungkap latar belakang kehidupan Drijowongso. []