Sedang Membaca
Pentingnya Mempelajari Waqf dan Ibtida’
M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Pentingnya Mempelajari Waqf dan Ibtida’

Tanda Baca Waqaf Dalam Tajwid Alquran Dan Fungsinya

Di dalam ilmu Al-Qur’an ada ilmu Qiraah. Di dalam Ilmu Qiraah ada ilmu Tajwid. Di dalam Ilmu tajwid ada bab tentang Waqf dan ibtida’. Apa itu waqf dan ibtida’? Apa pentingnya kita mempelajari keduanya?

Waqf adalah ilmu untuk menentukan kalimat mana dalam Al-Qur’an yang tepat untuk berhenti mengambil nafas sekiranya tidak merusak makna ayat yang kita baca. Secara kelakar, saya sering menyampaikan, jika kita tidak bisa berhenti, kita akan punya penyakit sesak nafas.. Karena jika baca Al-Qur’an tidak berhenti-berhenti akan tertsengal-sengal..haha.. Lalu apa itu Ibtida’?

Ibtida’ adalah ilmu untuk menentukan dari lafaz mana kita harus memulai membaca Al-Qur’an setelah waqf sekiranya tidak merusak makna Al-Qur’an yang kita baca.

Keduanya sangat penting karena esensi dari tajwid adalah “memperbaiki cara baca dan mengetahui tempat waqf ibtida’ yang sesuai”.

Lebih dari itu, tak jarang pemilihan waqf dan ibtida’ yang kurang tepat menimbulkan penafsiran yang salah dalam berbagai cabang keilmuan.

Misal dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 68:

رَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ 

Lafaz  Ma (ما) dalam ayat ini adalah Ma Nafi (ما النافية) , sehingga makna ayat yang dimaksud adalah “Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. Maha suci Allah dan Maha tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.”

Menurut Ahlusunnah wal Jama’ah, ayat di atas sebagai penegasan bahwa Allah memiliki kekuasan berkehendak memilih dan hal ini tidak dimiliki oleh makhluk. Oleh karena itu, pilihan terbaik dalam ayat ini adalah waqf pada lafaz (وَيَخْتَار).

Akan tetapi, ketika kita membaca washl (diteruskan) lafaz (وَيَخْتَار) dan waqf (berhenti) pada lafaz (الْخِيَرَةُ), maka akan muncul potensi kesalahpahaman bahwa lafaz Ma (ما) dalam ayat ini adalah “Ma Mawshul” (ما الموصولة), sehingga kesalahpahaman ini menghantarkan pada pemahaman keliru seperti Mu’tazilah dengan penafsiran “Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) yang memiliki kemampuan memilih apa yang mereka pilih. Maha suci Allah dan Maha tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan”. Penafsiran ini sesuai dengan pemahaman Mu’tazilah yang menganggap manusia memiliki kekuasaan penuh dengan apa yang mereka lakukan.

Baca juga:  Habib Hamid bin Ja’far Al-Qodri Jelaskan Pengagungan Allah kepada Nabi Muhammad

Misal dalam Al-Qur’an Yunus ayat 65:

وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ 

“Dan jangan lah engkau (Muhammad) sedih oleh perkataan mereka. Sungguh, kekuasaan itu seluruhnya milik Allah. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. Yunus : 65)

Dalam ayat ini, Allah melarang Nabi saw untuk bersedih dengan sebab ucapan kaum musyrik yang tidak pantas dengan derajat luhur Nabi Muhammad saw. Dan ungkapan “Sungguh, kekuasaan itu seluruhnya milik Allah” sebagai alasan untuk menguatkan hati nabi Muhammad Saw agar tidak bersedih hati. Oleh karena itu, pilihan terbaik dalam ayat ini adalah membaca waqf pada lafadz (وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ).

Akan tetapi, ketika kita membaca washl lafadz (وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ) dan waqf pada lafadz (إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا) maka akan muncul potensi kesalah-fahaman bahwa lafadz (إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا) adalah badal/bentuk yang dituju dari lafadz (قولهم) pada rangkaian (وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ). Sehingga kesalah-fahaman ini mengantarkan pendengar bahwa lafadz (إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا) “Sungguh, kekuasaan itu seluruhnya milik Allah” adalah bentuk ucapan kaum musyrik yang membuat nabi merasa sedih. Tentu, kesalah-fahaman ini sangat jauh dari makna yang dikehendaki Allah dalam ayat ini.

Para ulama al-Qur’an sejak dahulu telah mengingatkan akan pentingnya pengetahuan mengenai waqf dan ibtida’ dalam ilmu tajwid. Hal ini tercermin dari penafsiran shahabat Ali bin Abi Thalib mengenai ayat

Baca juga:  Kisah Hikmah Luqmanul Hakim dalam Al-Qur'an dan Tips Sukses Dunia Akhirat

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا (4)

“Atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Qs. Al-Muzammil : 4)

Bahwa, yang dimaksud dengan perintah tartil (تَرْتِيلًا) “dengan perlahan-perlahan” dalam ayat ini adalah

الترتيل تجويد الحروف، ومعرفة الوقوف.

“Tartil adalah membaca tajwid huruf (dalam Al-Qur’an) dan mengetahui tempat waqf.”

Menurut Ibnu Jazari, ungkapan shahabat Ali bin Abi Thalib adalah dalil wajibnya mempelajari ilmu waqf ibtida’ dan mengetahui sebab-sebabnya. (An-Nasyr fi al-Qiroat al-Asyr karya Muhammad Ibnu Jazari vol.1 hal.170 cetakan Dar Shahabah Thanta 2002)

Selain itu, ada juga dasar kesaksian sahabat yang menunjukkan bahwa pengajaran Al-Qur’an yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw kepada para shahabat juga mencakup pengajaran tempat-tempat waqf dan ibtida’, yaitu :

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِى أُنَيْسَةَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ : لَقَدْ عِشْنَا بُرْهَةً مِنْ دَهْرِنَا وَأَحَدُنَا يُؤْتَى الإِيمَانَ قَبْلَ الْقُرْآنِ ، وَتَنْزِلُ السُّورَةُ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- فَيَتَعَلَّمُ حَلاَلَهَا ، وَحَرَامَهَا ، وَآمِرَهَا ، وَزَاجِرَهَا ، وَمَا يَنْبَغِى أَنْ يَقِفَ عِنْدَهُ مِنْهَا. كَمَا تَعَلَّمُونَ أَنْتُمُ الْيَوْمَ الْقُرْآنَ

Diriwayatkan dari Zaid bin Abi Anaisah, dari al-Qasim bin ‘Auf bahwa shahabat Abdullah bin Umar mengatakan “Sungguh kami telah hidup dalam waktu yang lama dari usia kami. Dan salah satu dari kami diberikan iman sebelum mendapatkan ayat Al-Qur’an. Dan turun sedikit demi sedikit surat Al-Qur’an kepada nabi Muhammad Saw, kemudian mereka mempelajari ilmu mengenai halal, haram, perintah, dan larangan dari surat Al-Qur’an tersebut, serta sebab yang seyogyanya mereka membaca waqf dalam surat Al-Qur’an tersebut sebagaimana kalian sekarang belajar Al-Qur’an” (HR. Baihaqi)

Ditambah lagi dengan ungkapan para ulama di masa setelah zaman para shahabat, diantaranya adalah

Abu Hatim Sahl bin Muhammad as-Sijistani mengatakan “Barang siapa yang tidak mengetahui ilmu tentang waqf dan ibtida’, niscaya dia tidak mengerti Al-Qur’an”. (lihat Lathaif al-Isyaratz li Funun al-Qira’at karya Syihabuddin al-Qasthalani vol.1 hal.249 cetakan Majlis al-‘Ala li Syu’un al-Islamiyyah Kairo 1972)

Baca juga:  Tafsir Surat Al-Baqoroh Ayat 102: Tentang Belajar Ilmu Sihir

Muhammad bin Qasim Ibnu Anbar mengatakan “Sebagian dari memahami Al-Qur’an adalah memahami ilmu mengenai waqf dan ibtida’. Karena sungguh tidak datang kefahaman sedikitpun mengenai makna kandungan Al-Qur’an kepada seseorang, kecuali ia telah mengetahui al-Fawashil (pemisah/waqf dan ibtida’). Maka wajib bagi pembaca Al-Qur’an untuk mengetahui waqf tam, waqf kafi, dan waqf qabih”. (lihat Idhah al-Waqf wal Ibtida’ fi Kitabillah karya Muhammad bin Qasim Ibnu Anbar hal.108 cetakan Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah Damaskus 1971)

Ibnu Jazari mengatakan, “Ketika pembaca tidak mampu menyelesaikan rangkaian satu kisah atau ayat secara lengkap dengan satu kali nafas. Di sisi lain, ia juga tidak boleh mengambil nafas ketika membaca washl (tanaffus). Maka, ia boleh waqf ditengah rangkaian ayat untuk mengambil nafas dan ia harus menentukan runtutan tempat ibtida’. Hal ini dengan syarat tidak merusak makna dan kefahaman dari ayat yang ia baca. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar bahwa para shahabat belajar waqf ibtida’ sebagai rangkaian dalam belajar al-Qur’an. Dan para ulama sepakat tidak memperbolehkan memberikan ijazah sanad al-Qur’an kepada pelajar al-Qur’an sebelum mereka mengerti ilmu waqf dan ibtida”.

قال أبو بكر بن مجاهد لا يقوم بالتمام في الوقف إلا نحوي عالم بالقراءات عالم بالتفسير عالم باللغة عالم بالفقه.

Abu Bakar bin Mujahid mengatakan “Tidaklah menerapkan waqf (dalam Al-Qur’an) secara sempurna kecuali seorang yang memahami ilmu nahwu, ilmu qiraat, ilmu tafsir, ilmu bahasa, serta ilmu fiqh”. (lihat Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi  vol.1 hal.222 cetakan Dar Fikr Lebanon 1996)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
6
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top