Jika kita ke warung Padang, salah satu menu yang selalu tersedia adalah belut goreng. Tapi terkadang juga di jalanan ada saja orang yang menjual belut dalam kantong plastik. Menggunakan sepeda atau sepeda motor yang sudah dimodifikasi dengan penambahan kayu-kayu, belut-belut dibungkus dalam kantong plastik yang ada airnya dan digantung dalam kayu. Di Jogja, tepatnya di pasar Godean, juga banyak sekali dijajakan belut goreng.
Bagi masyarakat kita, belut adalah sumber protein dan gizi. Keberadaannya melimpah, walau seiring dengan berkurangnya sawah, tercemarnya sungai, dan penggunaan pestisida habitat belut berkurang. Permintaan pasar yang tinggi, sebagian masyarakat membudidaya belut sehingga pasokan selalu tersedia.
Namun, bagi orang yang belum pernah melihat, apalagi memakannya dipastikan responnya adalah takut atau paling tidak jijik. Rasa jijik juga menimpa sebagian orang yang sudah sering melihatnya. Kedua respon tersebut wajar karena binatang yang berbentuk panjang ini memang berlendir, sehingga susah ditangkap.
Tapi bagi yang sudah merasakannya, maka akan ketagihan. Rasanya sangat gurih ketika digoreng kering. Tekstur dagingnya yang kenyal menyisakan sensasi rasa saat dikunyah. Kandungan gizi dan protein sangat tinggi sehingga wajar jika ada sebagian masyarakat yang percaya mengkonsumsinya bisa meningkatkan stamina pria.
Dalam aspek hukum, binatang ini pernah dianggap haram. Pertama karena dianggap seperti ular (buas) dan kedua karena jijik. Dua alasan yang cukup kuat bagi penganut mazhab Syafi’i untuk menghukumi haram: buas dan jijik. Fatwa hukum haram ini muncul pada masyarakat yang belum pernah melihat belut. Wajarlah kalau mereka mengharamkan.
Entah sejak kapan, ada fatwa haram pada binatang tersebut, yang jelas pada akhir abad 19-an jamaah haji Indonesia dikenal sebagai muslim pemakan “ular”. Streotipe ini tampaknya sudah cukup “parah”. Karena tidak saja menimpa para jamaah tetapi juga ulama Nusantara yang mukim di Hijaz (Mekkah). Saat itu, orang-orang Nusantara dikenal sebagai pemakan “ular”. Dampaknya luar biasa, jamaah haji kita kurang dihargai, bahkan fatwa ulama-ulama kita pun kurang diperhitungkan, walaupun sebagian mereka sudah mukim dan mengajar di Mekkah.
Pangkal masalahnya, karena masyarakat Arab tidak mengenal belut dan referensinya berasal dari kamus Arab (dictionary) yang menggambarkan belut seperti ular. Wajar masyarakat Arab tidak mengenal belut karena belut tidak ada di Arab.
Kondisi ini “mengganggu” seorang Ulama asal Nusantara, Syeikh Haji Raden Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Bughuri al-Batawi al-Jawi al-Makki. Beliau adalah salah satu simpul penting dalam jaringan ulama Nusantara awal abad 19.
Pengalamannya sejak kecil yang akrab dengan belut tentu saja keberatan dengan anggapan masyarakat Arab. Pada masa itu, tentu sangat mudah menjumpai belut di sungai, sawah atau rawa.
Syekh Mukhtar pun, yang juga pengajar di Masjid al-Haram membantah fatwa haram belut, melalui karya yang berjudul As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayan Hal al-Balut wa ar-Raddu ala Man Harramah, yang lebih dikenal dengan Kitab Belut.
Dalam kitab ini, digambarkan habitat belut dan klasifikasinya. Dengan deskripsi yang demikian, Syekh Mukhtar menyatakan bahwa belut adalah sejenis ikan yang halal dimakan. Belut bukan binatang yang hidup di dua alam, bukan juga binatang buas seperti anggapan orang Arab selama ini.
Pemaparan Syeikh Mukhtar yang apik dan benar secara saintifik mengenai belut tidak saja mengubah pandangan hukum Islam dan pandangan masyarakat Arab terhadap belut, melainkan juga pengakuan kalangan ulama terhadap luasnya wawasan agama Syeikh Mukhtar.
Deskripsi yang apik dan terperinci terhadap belut dan status hukumnya oleh Syeikh Mukhtar tentu berasal dari kehidupan Nusantara yang akrab dengan belut. Hidup di sungai, rawa, sawah dan tidak menjijikan adalah diantara penjelasannya.
Family belut itu sendiri di dunia hanya ada satu (Synbranchidae) suku ini terbagi menjadi empat genera dengan total 20 jenis.
Sedangkan di Indonesia ada satu family Synbranchidae dengan tiga jenis, Monopterus albus (belut lokal Indonesia), Ophisternon bengalense (introduce), Synbranchus marmoratus (introduce). Ketiganya hidup di rawa, sungai, dan sawah). Semua jenis belut adalah Hemoprodit, artinya ia bisa berkembang biak tanpa ada pasangan.
Selain belut, di Indonesia juga ada Moa atau sidat, binatang ini seperti belut dengan ukuran yang lebih besar. Bedanya, sidat adalah binatang laut yang hidup di air tawar. Sidat akan menuju ke samudera untuk bertelur, setelah menetas, anak-anak sidat akan berusaha menuju ke hulu sungai. Anak-anak sidat yang menuju sungai, biasanya di sekitar muara ditangkap oleh nelayan dan kemudian dijual pada para pengepul.
Berbeda dengan belut yang sudah dibudidaya, sidat relatif susah karena pembijahaan harus di air laut yang bersih dan deras. Yang ada baru pembesaran. Sidat adalah salah satu makanan favorite dan relatif mahal di Jepang. Unagi namanya. Indonesia adalah salah satu pemasok sidat untuk kebutuhan masyarakat Jepang.