Sedang Membaca
Kesantunan Berdakwah: Saat Aisyah Berkata Kotor, Rasulullah Menegurnya

Lahir di Subang, 22 Juli 1981. Lulusan pesantren Lirboyo dan ma'had aly Sukorejo, Situbondo. Ayah dua orang anak ini sekarang sedang menempuh pendidikan s3 di SPS UIN Jakarta.

Kesantunan Berdakwah: Saat Aisyah Berkata Kotor, Rasulullah Menegurnya

“Kebijaksanaan adalah sebuah pohon yang tumbuh bersemi di hati dan berbuah di lidah.” (Ali bin Abi Thalib)

Suatu ketika, sekelompok orang Yahudi dating kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian mereka mengejek Nabi dengan mempelesetkan ucapan salam yang seharusnya berbunyi Assalamualaikum  yang bermakna “keselamatan bagi kalian semua”, oleh mereka dipelesetkan menjadi: السَّامُ عَلَيك yang maknanya ialah “kebinasaan bagimu” dan bisa juga diartikan sebagai umpatan agar seseorang cepat-cepat mati. Mendengar ucapan semacam itu, dengan enteng Nabi menjawab وَعَلَيك yang maknanya ialah “kamu juga”.

Ibunda kaum mukminin, Aisyah ra yang juga hadir dalam kesempatan tersebut merasa sangat kesal dengan kelakuan sekelompok Yahudi tersebut dan akhirnya berkata:

وعليكم السام، لعنة الله عليكم وغضب الله عليكم إخوة القراد والخنازير

Artinya: “Semoga kalian yang cepat mati, laknat Allah bagi kalian, Allah murka bagi kalian, wahai saudara-saudara babi-babi dan monyet-monyet”.

Mendengar emosi yang berlebihan dari istri yang sangat beliau cintai tersebut, dengan halus Nabi mengingatkan:

يَا عَائِشَةَ لَا تَكُوْنِيْ فَاحِشَةَ

Artinya: “Wahai ‘Aisyah, jangan engkau menjadi orang yang mulutnya kotor.”

Peristiwa tersebut terangkum dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam nomer hadis ke-2165. Kisah di atas menjelaskan kepada kita tentang betapa Rasulullah sangat menjaga akhlaknya, bahkan kepada Yahudi yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan kepada beliau, beliau menyikapinya dengan bijak dan bahkan mengingatkan Ibunda kaum mukminin, Aisyah ra agar menjaga emosi dan perkataan beliau dan tidak usah meladeni perkataan mereka yang provokatif.

Baca juga:  Penghargaan Al-Ghazali yang “Dicuri”

Dalam melakukan dakwahnya, Rasulullah saw senantiasa mengedepankan kasih sayang dan kelemah-lembutan. Hal itu tergambar dalam perkataan beliau:

ما كان الرفق في شيء إلا زانه، ولا نُزع الرفق من شيء إلا شانه

Artinya: “Tidaklah kelembutan diletakkan pada suatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah diangkat kelembutan tersebut kecuali akan merusaknya.” (HR. Muslim)

Alquran bahkan menyebutkan bahwa puncak dakwah terbaik ialah kita seseorang menyerahkan dirinya sendiri kepada Allah Swt:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ

wa man aḥsanu qaulam mim man da’ā ilallāhi wa ‘amila ṣāliḥaw wa qāla innanī minal-muslimīn

Artinya: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fussilat: 33)

Al-Qur’an QS. An-NAhl: 125 juga mengingatkan bahwa prinsip dakwah Islam ialah dengan hikmah dan kebijaksanaan:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Ud’u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmati wal-mau’iẓatil-ḥasanati wa jādil-hum billatī hiya aḥsan, inna rabbaka huwa a’lamu biman ḍalla ‘an sabīlihī wa huwa a’lamu bil-muhtadīn

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Baca juga:  Bagaimana Respon Masyarakat Madinah Terhadap Dakwah Rasulullah Saw?

Ayat di atas menunjukkan tiga metode yang menjadi dasar dakwah yaitu:

Pertama,  hikmah. ialah berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan.

Kedua, Mauidhah hasanah, yakni berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran Islam dengan rasa kasih sayang,lemah-lembut , sopan, santun, sehingga nasihat dan ajaran Islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati mereka.

Ketiga, mujadalah, yakni berdakwah dengan cara dialog, bertukar pikiran, dan membantah dengan cara sebaik-baiknya, argumentasi yang kuat, mengemuakan dalil aqli (logika, akal sehat) naqli (nash Al-Qur’an dan hadis), dengan tidak memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjelekkan yang menjadi mitra dakwah.

Dengan memahami ketiga prinsp dakwah di atas, kita bisa memahami bahwasanya sama sekali tidak ada peluang bagi dakwah yang menggunakan kata-kata kotor, celaan, dan apalagi mengajak kekerasan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
2
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top