Sedang Membaca
Mengurai Benang Resah dari Kisah Bertuah Nabi dan Sufi
Muhammad Asyrofudin
Penulis Kolom

Mahasiswa Universitas Islam Raden Mas Said, sekaligus santri PP. Al-Musthofa Ngeboran.

Mengurai Benang Resah dari Kisah Bertuah Nabi dan Sufi

Kisah Bertuah

Sebuah cerita atau kisah yang kita baca, bukan hanya sekadar membawa imajinasi kita ke dalamnya. Tetapi lebih dari itu, beberapa kisah yang kita baca berpotensi kuat akan melahirkan refleksi baru dalam menghadapi sebuah masalah. Di satu sisi, mengerti atas perasaan orang lain dan bertutur kata yang indah adalah sifat yang lahir dari rahimnya (membaca cerita atau kisah).

Manusia modern yang tidak bisa membendung informasi dari gawainya, seringkali merasa gundah, kecewa, dan resah. Perasaan ini hadir di kala kita mengamini segala hal yang hadir tanpa memfilternya, memikirkannya, dan merenungkannya.

Media sosial menghadirkan banyak hal, mulai dari yang sepele sampai pada hal yang krusial dan sentral. Tentu saja hal ini menjadikan manusia modern sebagai konsumen, selalu dibayangi rasa ambigu: di satu sisi ia mendapat akses pengetahuan dengan instan, di sisi lain ia merasa kecewa ketika membaca berita yang berkonotasi negatif tanpa menghadirkan nalar kritisnya.

Sebut saja, banyaknya konflik antar saudara, standar materialistik, dan standar semu lainnya yang menjadikan hati sumpek dan resah seringkali lahir dari informasi yang tanpa difilter. Harus diakui memang, bahwa kita sangat sulit untuk menutup diri dari itu semua. Namun demikian kita perlu memberi jarak dari kelindan informasi yang tak terbendungkan ini.

Al-Qur’an sendiri memerintahkan hal demikian, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.” (hlm, 50).

Baca juga:  Sabilus Salikin (13): Kalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah

Membaca Kisah Bertuah: Menghirup Hikmah di Kala Resah

Kehidupan modern yang sarat akan informasi, tak bisa kita nafikan juga ia dapat menghadirkan beberapa karya tulis indah, yang untuk menggapainya sangatlah begitu mudah. Jari telunjuk kita dapat mengakses karya-karya tersebut, baik dari karya penulis klasik hingga modern. Artinya kita dapat memasuki dan duduk mendengarkan apa yang penulis sampaikan di ruang dan waktu yang berbeda.

Karya-karya yang klasik, tentu saja ia menyajikan beberapa kisah dan kompleksitasnya yang bernuansa klasik juga, begitupun sebaliknya. Meskipun demikian, pelajaran yang terkandung di dalamnya (terlepas dari aspek hukumnya yang besifat dinamis) tak mungkin kita biarkan begitu saja, seperti kisah klasik yang berwarna religi adalah kisah yang dapat kita ambil teladannya.

Beberapa kisah para nabi, ulama, dan bijak bestari lainnya adalah kisah yang wajib kita baca di kala hati resah. Sebut saja, kisah Nabi yang menjalankan dakwahnya dengan penuh tantangan, baik fisik atau mental. Kisah para ulama yang berlatar belakang seadanya dan sukses dalam pengembaraan ilmunya. Atau para sufi yang selalu tenang dan bijak dalam melewati problematika hidupnya.

Diriwayatkan, sahabat Umar meminta izin untuk mencabut gigi serinya Suhayl, sosok yang sering menghina Islam dengan orasinya. Namun Nabi tidak berkenan untuk mengizinkannya, alih-alih demikian Nabi justru mengatakan “jangan, Umar! Biarkan saja dia. Siapa tahu dia akan berada di posisi kita (hlm, 44-45). Kisah ini menginspirasi kita dalam merespons beragam cacian yang begitu masif di era digital ini, dengan memasang hati yang lapang dan pikiran yang tenang.

Baca juga:  Al-Jauhar al-Munazzham: Kitab Yang Menjelaskan Seputar Bulan Muharram

Pun juga Imam Ghazali, di seluruh dunia, namanya hampir tidak ada yang mengenalnya, ia hanya berbekal ember dan jarum jahit dalam pengembaraan intelektualnya, yang dari itu lahir beberapa kitab yang banyak dikaji di beberapa madrasah sampai sekarang (hlm, 39-40). Di kala menjabat rektor madrasah Nizhamiyah ia justru merasa resah lalu memutuskan pergi untuk beruzlah yang dari uzlahnya lahir magnum opus, kitab Ihya Ulumiddin.

Sufi terkenal abad pertengahan dari Afghanistan, Ibrahim Bin Adham juga menjalani hidupnya yang serba sederhana. Diriwayatkan ia hanya memakan tanah dalam waktu berbulan-bulan, ia mengatakan saat ditanyai oleh Ali Abdul Aziz bin Abi Rawad “begitulah adanya, ia adalah makananku sejak sebulan lalu.” (hlm, 33-34). Ia tidak ingin memakan makanan yang benar-benar bersih dan halal dari Allah, sehingga rela untuk makan tanah sekalipun.

Itu semua merupakan jejak terjal para elite yang menginspirasi. Sehingga, kisah-kisah demikian jika kita baca dalam keadaan resah pada saat ini dan di sini, besar kemungkinan kita akan mengatakan “apa yang terjadi pada diriku, belum seberapa dengan apa yang dihadapi orang-orang terdahulu”. Hal ini merupakan salah satu instrumen untuk memperbaiki mental kita yang mudah mengeluh dan resah di setiap menghadapi masalah.

Kata-Kata yang Indah Lahir dari Bacaan Kisah

Kita harus mengakui apa yang disampaikan K.H. Ulil Abshar Abdalla (2021) “Saya, hingga sekarang, masih belum bisa menikmati, dan tidak pernah bisa sabar membaca karya-karya akademis yang ditulis dalam bahasa Indonesia, karena kualitas bahasa di sana masih buruk sekali; susah dinikmati.” (Alif. Id, 02/04/2021). Kata susah untuk dinikmati, mensinyalir gaya bahasa yang tersaji sebuah karya kurun akhir kini, kurang rapi dan indah secara gramatik.

Baca juga:  Tips Nyaleg ala Kitab Alfiyah Ibnu Malik

Sebagai konsekuensi logis, mau tidak mau kita yang sudah kadung dicap sebagai generasi penerus, harus memperbaikinya. Dengan cara apa? Tentu saja membaca karya indah dari pengarang-pengarang terdahulu.

Untuk mengawali membaca, memang tidak mudah bagi semua orang, masing-masing memiliki motivasinya sendiri. Namun demikian, dapat saya katakan bahwa aspek penasaran dan perasaan adalah kedua motivasi yang signifikan bagi seseorang untuk beranjak mengambil buku dan membacanya. Dengan membaca, tak jarang seseorang mendapatkan jawaban yang puas atas rasa penasarannya, di samping itu perasaan yang sedang amburadul dapat terhindarkan, atau setidaknya pembaca merasa ringan dan terhibur dengan apa yang dibacanya.

Bacaan kisah yang bertuah, baik dari para nabi, ulama dan bijak bestari lainnya adalah bacaan yang sangat berpotensi untuk merespons penasaran sekaligus menemani keringnya perasaan. Di sisi lain, memahami perasaan orang lain dan kata-kata indah dari mulut kita, akan hadir secara nyata.

Sebagaimana yang dikatakan K.H. Husein Muhammad, sosok cendikiawan Muslim Indonesia “belajarlah logika dan sastra, kau akan mengerti Bahasa manusia dan bicaramu menjadi indah.”

 

Judul: Kisah Bertuah Para Nabi dan Sufi

Penulis: Rizal Mubit

Penerbit: Alif Id

Cetakan 1, Oktober 2020

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top