Ibadah haji dalam Islam secara umum memiliki fungsi dan kedudukan yang sangatlah penting, hal tersebut disebabkan karena ibadah haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Akan tetapi dalam ibadah haji hanya boleh dilakukan bagi siapa yang mampu dan tidak dipaksakan untuk dilakukan oleh seseorang yang belum mampu secara ekonomi, fisik dan juga mental. Ibadah haji merupakan sebuah ritual dalam Islam yang berintikan praktik spiritualitas yang menuntun pelakunya untuk menyerahkan diri secara total kepada Allah yang bermuara pada pelepasan diri dari unsur-unsur duniawi, menghargai sesame manusia dan juga alam di sekelilingnya.
Dalam proses sejarahnya, ibadah haji merupakan sebuah ritual keagamaan yang telah dilakukan manusia sebelum ajaran agama Islam diajarkan di Makkah dan Madinah oleh Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dalam salah satu literatur disebutkan bahwa ibadah haji bukanlah hanya sekedar sebuah perjalanan fisik yang bertujun untuk mengunjungi ataupun mendatangi sebuah tempat yang tentunya telah disakralkan. Hal demikian telah disebutkan oleh Simon Clemon dan Jhon Elsner dalam bukunya yang berjudul Pilgrimage, Past and Present in The Word Religion, yang selanjutnya dikutip oleh Lalu Muhammad Ariadi.
Sebutan haji ialah sebuah gelar yang melekat dibelakang nama seorang muslim yang tentunya telah melakukan ibadah haji ke tanah suci Makah. Di tanah Sasak Lombok, seorang muslim yang telah melakukan ibadah haji selanjutnya tidak hanya akan mendapatkan gelar haji di belakang namanya, akan tetapi seorang muslim Sasak juga akan mengganti namanya, biasanya nama mereka akan diganti menggunakan nama anak mereka, nama cucu mereka, ataupun menggunakan nama anak dari sepupu mereka yang selanjutnya sudah tentu juga di awali dengan sebutan haji di belakang nama yang digunakan.
Semisal, jika seorang muslim Sasak yang bernama Abdul Qohar dan ia telah mempunyai seorang anak laki-laki bernama Musabbihin. Maka sepulangnya melakukan ibadah haji dari tanah suci Makah, namanya akan diganti dengan mengunakan nama anak laki-lakinya tersebut menjadi Haji Musabbihin. Begitu juga sebaliknya dengan seorang muslimat Sasak yang telah melakkan ibadah haji, biasanya akan mengnakan nama anak perempuan ataupun cucu perempuannya.
Dalam sejarahnya sebutan haji bagi orang Sasak menandakan status sosial mereka, status sosial seseorang telah melakukan ibadah haji akan beda dengan status sosial seorang muslim yang belum melakukan ibadah haji. Hal demikian disebabkan oleh sebuah fakta sejarah yang menyebutkan bahwa dengan ibadah haji, keislaman seorang muslim golongan non-bangsawan (Jajar Karang) di tanah Sasak Lombok dikatakan sempurna dan statusnya sama dengan golongan bangsawan Sasak. Stigma tersebut dikemukakan oleh Tuan Guru Kiyai Haji Zainuddin Abdul Madjid, yang selanjutnya dikutip oleh Lalu Muhammad Ariadi dalam risetnya yang membahas tentang Haji Sasak. Hal demikian dilakukan oleh Tuan Guru Kiyai Haji Zainuddin Abdul Madjid bertujuan untuk memberikan sebuah perlawanan terhadap mapannya status sosial golongan bangsawan Sasak.
Selanjtnya pemaknaan ibadah haji bagi muslim Sasak ialah sebuah pencapaian spiritual tertinggi dalam proses keberagamaan mereka. Hal tersebut disebabkan karena besarnya pengaruh dari Tuan Guru terhadap muslim Sasak khususnya dalam hal keagamaan. Karen figur Tuan Guru bagi masyarakat muslim Sasak menjadi tokoh utama yang menjalankan peranan sebagai pengajar ilmu Agama di tanah Lombok. Selain akan hal tersebut, figur Tuan Guru di tanah Lombok telah menjadi manusia Sasak pertama yang melakukan ibadah haji ke tanah suci Makah, yang juga dibarengi dengan aktivitas belajar ilmu Agama di Timur Tengah khususnya di tanah suci Makah.