Beberapa bulan lalu, ketika pulang ke rumah ke Kudus, Jawa Tengah, saya sempat menemukan dokumen NU yang berharga sekali. Dokumen itu berupa dua majalah NU yang lawas. Lawas sekali. Dokumen apakah?
Adalah sebuah majalah NU, tahunnya menunjukkan awal-awal lahirnya NU. “Swara Nahdhatoel ‘Oelama’,” nama majalahnya.
Di bagian sampul tertera nomor edisi, lengkap dengan bulan dan tahun terbit: “Wilangan 4 tahun 1”, edisi “Rabiuts Tsani 1346 H” dan ‘”Wilangan 6 tahun 2″, edisi “Jumadil akhirah 1347 H”. Mari kita hitung, menurut Masehi, bertepatan dengan tahun berapa.
Rabiuts Tsani tahun 1346 adalah tahun Oktober 1927 dan Jumadil akhirah tahun 1347 H adalah bulan November 1928. Tak salah lagi, berdasarkan tahun terbit majalah tersebut, sejak awal berdirinya NU sudah ada inisiasi membuat media. Secara umum, kondisinya bisa terbaca dengan baik walaupun sudah mulai dimakan rayap. Jumlah halamannya mungkin sudah tidak utuh lagi.
Saya menduga bahwa itu adalah milik Allah yarham simbah kakung saya. Dugaan saya ini karena simbah saya termasuk yang gemar menyimpan barang-barang unik. Ketika saya umur 10 tahun, saya menemukan bendera masa awal Partai Persatuan Pembangunan yang masih memakai logo Kakbah. Simbah kakung jugalah yang mengajak saya ikut menghadiri kampanye PPP di Kudus tahun 1992. Simbah saya ini pula yang mengenalkan membaca Koran.
Secara garis besar, media Swara Nahdhatoel ‘Oelama’ ini berisi tentang tanya dan jawab agama dan kegiatan NU. Di bagian muka ditegaskan bahwa majalah (dalam bahasa pegonnya disebut buku layang khabar atau buku surat kabar) merupakan majalah jenis keagamaan yang didalamnya berisi kalimat-kalimat agung dari Al-Quran atau Hadits. Karena itulah yang menerima atau para pembaca diharapkan berhati-hati dan memuliakannya. Tertandanya adalah Abdul Wahhab. Di sisi kanan atas tertulis bahwa pengarangnya adalah Abdul Wahhab bin Hasbullah. Hampir dipastikan ini Kiai Wahhab, yang terkenal itu.
Soal bahasa, mayoritas tulisan di Swara Nahdhatoel ‘Oelama’ ini memakai bahasa Pegon atau Arab Jawa. Tetapi ada juga beberapa bagian kecil yang memakai ejaan latin. Tulisan Swara Nahdhatoel ‘Oelama’ sendiri ada dua bahasa yakni latin dan pegon. Penggunaan bahasa pegon ini tentunya menyasar ke target utama pembaca yakni kelompok santri.
***
Menariknya, salah satu isi di dalam lembaran Swara Nahdhatoel ‘Oelama’ ini adalah soal laporan keuangan. Mari kita bayangkan bahwa pada tahun 1927/1928an, ada lembaga yang memiliki pemikiran untuk melakukan, dalam bahasa sekarang, transparansi keuangan ke masyarakat melalui media publik.
Jika mencermati narasi pengantarnya, salah satu hal yang mendorong penyusunan laporan keuangan terkait masuk dan keluarnya uang adalah karena sejak Nahdlatul Ulama berdiri tahun 1926 belum pernah sekalipun menyusun laporan keadaan keuangan.
Merujuk pada bahasa sejak berdiri hingga tiga tahun belum ada laporan keuangan, maka saya menyimpulkan bahwa dokumen Swara Nahdhatoel ‘Oelama’ yang memuat laporan keuangan adalah pada tahun 1928 atau tiga tahun setelah berdirinya NU. Apa saja bagian laporan keuangan yang ditampilkan?
Setelah saya cermati, ada empat bagian:
Pertama, laporan keuangan ketika hendak mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan ketika hendak mengirimkan utusan ke Mekkah. Catatan keuangan ini dibuat di Surabaya pada 21 Mei 1926. Penerimaan uangnya tertulis shodaqah dari pos wesel dan sebagainya sebanyak 1500 f.
Pengeluarannya untuk berbagai hal mulai ongkos kirim surat, ongkos lumampah (mungkin yang dimaksud adalah ongkos transportasi), ongkos menjelaskan akan mengirim utusan ke Mekkah ke kota Surabaya, Lasem, Rembang, Kudus, Tayu, Semarang, Pekalongan, Batang, Kaliwungu, Semarang, Solo, Jombang, lalu balik ke Surabaya lagi dan ke Kudus lagi dengan jumlah utusan dua orang, ongkos telegram ke Konsul Jeddah untuk menanyakan ke Raja Mekkah apakah bisa menerima utusan atau tidak terkait kegiatan Konggres Dunia Islam. Dari berbagai pengeluaran tersebut masih ada sisa kas 760.
Patut dicatat, dari laporan ini kita tahu bahwa upaya mengikuti Konggres Dunia Islam di Mekkah melalui pembiayaan shodaqah. Bisa jadi ini adalah shodaqah dari para jamaah atau warga. NU sendiri belum lahir sehingga upaya penggalangan dana bisa jadi melalui jalur individual para kiai atau nyai. Laporan ini dibuat oleh Haji Burhan sebagai kasir dan diperiksa oleh tiga orang yakni Haji Sholeh Syamil, Haji Abdul Mannan Idris dan Haji Abdul Halim.
Kedua, laporan Muktamar NU yang pertama dan kedua. Catatan keuangan ini dibuat di Surabaya pada tanggal 5 Februari 1928. Peneraimaan uangnya berasal dari sisa kas lama dan shodaqah dari berbagai kalangan. Adapun pengeluarannya dipakai untuk ongkos kirim surat, ongkos lumampah, ongkos khodam, ongkos muktamar dan lain-lain. Laporan ini dibuat oleh Haji Burhan dan diperiksa oleh KH. Dahlan dan Haji Nawawi.
Ketiga, laporan kedatangan utusan. Tidak ada keterangan kapan bagian ketiga ini dibuat. Bisa jadi sama dengan bagian kedua. Penerimaan uang masuk dari sisa kas lama ditambah dengan shodaqah. Tapia da item menarik disini yakni pajengan ipun muqorrorot. Mungkin maksudnya addalah hasil penjualan Buku hasil Muktamar pertama. Artinya, etos kemandirian memang sudah menjadi darah daging NU sejak awal berdirinya. Adapun pengeluarnnya dipakai untuk berbagai hal misalnya membeli perabot, ongkos khodam, ongkos telegram, ongkos kirim surat hingga ongkos pendirian cabang di Surabaya. Laporan ini dibuat oleh kasir yakni Haji Ihsan dan diperiksa oleh Haji Burhan dan Haji Abdul Halim.
Keempat, laporan Muktamar Ketiga. Bagian ini juga sama dengan bagian ketiga yang tidak menyebut secara jelas lokasi dan tanggal pembuatan. Penerimaan dari sisa kas lama dan ditambah dengan penerimaan shodaqah. Adapun pengeluaran diperuntukkan untuk ongkos melampah atau mungkin ongkos transport, ongkos konggres, ongkos kirim surat, ongkos pengiriman majalah kepada para kiai dan pembelian buku. Laporan ini dibuat oleh kasir yakni Haji Abdul Fattah dan diperiksa oleh Haji Burhan dan Haji Abdul Halim.
Ada penjelasan menarik setelah selesai penulisan laporan keuangan. Secara garis besar, bahwa laporan ini dibuat secara bersama-sama oleh para anggota dan lajnah di jamiyyah. Bahwa proses penyusunan ini tidak ada anggota yang mendapat bayaran atau dalam bahasa sekarang adalah mendapat honor. Semua ikut bekerja karena ikhlas lillahi ta’ala dank arena mengingat untuk kepentingan agama.
***
Apa pelajaran yang bisa kita petik? Pertama, NU memiliki semangat kemandirian dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan. Jika mencermati sekilas, maka keuangan organisasi mengandalkan dari shodaqah warga para jamaah kiai dan warga NU. Tidak mungkin saat itu yakni tahun 1926-1928 meminta bantuan keuangan dari pemerintah kolonial Belanda.
Kedua, NU menerapkan asas transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan organisasi. Sependek pengetahuan penulis, tidak banyak atau mungkin belum ada organisasi pribumi saat itu yang menjelaskan keadaan keuangan dan kemudian dipublikasikan ke media organisasi. Artinya, NU adalah bagian dari pelopor pelaporan keuangan kepada publik. Adanya kasir dan pemeriksa menunjukkan bahwa proses pelaporan tidak dilakukan secara sembarangan tetapi berlapis mulai dari pembuat laporan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksa laporan