Sedang Membaca
Tradisi Masohi Membentuk Karakter Sosial Orang Maluku

Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Tradisi Masohi Membentuk Karakter Sosial Orang Maluku

Masohi

Di sela-sela diskusi tentang seputar tradisi di Maluku, sahabat saya Ode Zulkarnain Tihurua (lulusan S2 antropologi UI) bilang ke saya, “Kamu orang Maluku tapi belum memahami tentang tradisi masohi.

Terus dia lanjut mengatakan, “Mungkin karena kamu dulu besar di Ternate (Maluku Utara), sehingga wajar jika kamu tidak mengenal sekian banyak tradisi lokal di bumi Maluku sini,

Memang benar, saya belum full memahami sekian banyak tradisi di Maluku apalagi tentang tradisi masohi. Sepintas yang saya tahu tentang tradisi ini sudah bertahan lama di Maluku, bahkan sudah menjadi artefak perilaku sosial orang Maluku sampai detik ini. Olehnya itu, saya akan mencoba menyoroti tradisi masohi ini, mulai dari nilai-nilai positif dibalik tradisi tersebut hingga kekuatannya membentuk karakter sosial.

Menelusuri nilai-nilai yang terkandung dibalik sebuah tradisi lokal tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pertama, kita harus masuk ke dalam tradisi. Kedua, kita harus memahami perabotan-perabotan apa yang ada di dalamnya. Meminjam istilah William Dilthey, kita harus menggunakan “verstehen” untuk memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah tradisi tersebut.

Tanpa upaya ini maka kita akan terjebak pada hal-hal yang simbolik (bayang-bayang), ujung-ujungnya menjustifikasi praktik lokal sebagai gejala bidáh dan lain sejenisnya. Misalnya, orang Maluku meyakini bahwa roh leluhur mereka memiliki kekuatan untuk menghukum anak cucu yang melanggar adat istiadat. Adat istiadat di Maluku seperti perilaku saling bantu-membantu antar sesama pela.

Pela berarti hubungan kekerabatan lintas agama (dan kampung) yang diangkat melalui sumpah para leluhur di masa lampau. Banyak faktor yang melatarbelakangi lahirnya pela ialah faktor geneologis dan pemecahan konflik sosial lintas kampung di masa lalu. Sumpah itu kemudian memiliki kekuatan mengikat turun-temurun yang jika dilanggar akan dikenai sanksi supranatural.

Baca juga:  Islam Agraris: Tentang Teologi Para Petani

Belakangan, sumpah pela ini mewujud dalam adat istiadat saling bantu-membantu. Dalam praktiknya, ketika saudara pela dari agama Kristen ingin meminta sayur yang ditanam orang Islam diladangnya, maka orang Islam wajib memberi sayur itu kepada saudaranya yang beragama Kristen tersebut. Jika orang Islam enggan memberi sayur yang ditanamnya itu, maka sumpah leluhur berlaku sehingga tanaman tersebut menjadi kering. Artinya, kepercayaan terhadap leluhur ini memilki implikasi pengendalian sosial, bukan berarti orang Maluku menduakan Tuhan yang dipercayainya.

Inilah sekilas contoh untuk memeriksa dan memahami nilai-nilai positif dibalik sebuah tradisi lokal. Dalam contoh ini kita sudah masuk ke dalam tradisi pela dan berusaha memahami perabotan-perabotan (tata nilai) yang ada di dalamnya. Selanjutnya kita akan melakukan hal serupa untuk memahami tradisi masohi di Maluku. Berbeda dari tradisi pela yang menekankan kekuatan supranatural (roh leluhur), tradisi masohi ini lebih menekankan aktivitas sosial masyarakat sehari-hari.

Sejak kapan masyarakat Maluku mulai mempraktikkan tradisi masohi? Sejauh ini belum ada kesepakatan mengenai tahun berapa masyarakat Maluku mulai mempraktikkannya. Namun, dalam penelitian tesis sahabat saya Ode Zulkarnain Tihurua di desa Yainuelo mengungkapkan bahwa tradisi masohi mulai dikenal sejak masyarakat Maluku menganggap buah kelapa sebagai tanaman penting bagi kehidupan mereka.

Sebagai daerah tropis yang diselimuti lautan, tanah Maluku menjadi lahan empuk bagi tumbuhnya pohon kelapa dengan jumlah sangat banyak. Kelapa bagi orang Maluku melahirkan banyak tradisi seperti tradisi makan harus dengan kelapa sisi (daging kelapa yang di potong-potong kemudian ditaruh di atas meja makan), tempurung kelapa menjadi wadah menampung ari-ari bayi yang akan ditanam ke dalam tanah, dan tanaman kelapa melahirkan tradisi masohi di Maluku (Tihurua, 2019).

Baca juga:  NU dan Perdebatan Seni Islam

Lanjut Tihurua (2019) bahwa meskipun belakangan ini kelapa telah menjadi komoditas yang dikenal dalam praktik-praktik kapitalis, namun dibalik itu menyimpan aktivitas non-kapitalis di Maluku. Praktik non-kapitalis yang dimaksudkan Tihurua (2019) ialah tradisi masohi berupa gift (pemberian) yang sifatnya resiprokal (Rudyansjah dan Tihurua, 2018). Praktik non-kapitalis ini memang lumrah ada di budaya-budaya Timur yang menonjolkan spirit kolektivisme.

Sebagaimana ulasan Dieter Bartels (2017) bahwa spirit dibalik tradisi masohi ialah semangat kolektivisme masyarakat Maluku. Dalam praktiknya, tradisi masohi ini tidak hanya berlaku dalam aktivitas mengelola komoditas kelapa sebagaimana ulasan Tihura (2019), melainkan juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya seperti merelakan tenaga untuk membantu membangun atap rumah tetangga, membantu meringankan keluarga yang punya hajat pernikahan, menolong tetangga kampung (yang beragama lain) untuk membangun rumah ibadahnya, dan seterusnya.

Jadi, nilai-nilai yang ada dalam tradisi masohi ialah kerelaan diri, tidak mengharapkan imbalan (kompensasi), dan terikat tanggungjawab resiprokal. Dalam tradisi masohi, misalnya seseorang akan merelakan kepemilikan pribadinya seperti uang atau tenaga demi membantu meringankan hajat pernikahan orang lain. Hal ini tampak dalam tradisi ilowue basudarao di Siri-Sori Islam, Saparua. Tradisi ilowue basudarao merupakan istilah lain dari tradisi masohi, yakni seseorang akan merelakan uangnya untuk membantu meringankan pihak keluarga lain yang punya hajat pernikahan. Si individu yang merelakan diri ini tidak mengharapkan imbalan (kompensasi) dari orang yang dibantunya itu, namun ada ikatan tanggungjawab bersifat resiprokal antara individu yang membantu dan orang yang di bantu. Ikatan tanggungjawab ini tidak tertulis, tapi di dalam hati tersimpan tanggungjawab untuk membalas budi. Jadi, dalam tradisi masohi ada praktik tanam budi dan balas budi yang tidak tertulis, tapi tersimpan di alam kesadaran tanggungjawab masing-masing individu yang melakukannya.

Baca juga:  Sajak-sajak Gus Mus dan Pengisahan Indonesia

Nilai-nilai positif dalam praktik tradisi masohi ini ditransmisikan turun-temurun, generasi ke generasi sampai detik ini di Maluku. Pola transimisinya ialah praktik tradisi masohi ini terus diaktivitaskan secara kontinuitas oleh orang tua (bung-bung, usi-usi, tete-tete, nene-nene) kepada anak-anak mereka (nyong-nyong dan nona-nona). “Bung” adalah istilah bagi seorang laki-laki dan “usi” ialah istilah bagi seorang perempuan yang kedua jenis kelamin ini berusia 35 sampai 60 tahun.

Sedangkan, “tete” adalah nama lain dari kakek dan “nene” ialah nenek. Istilah “nyong” ini menggambarkan seorang pemuda dan “nona” ialah seorang pemudi yang kedua-duanya berusia maksimal 40 tahun. Bagi orang Maluku, penyebutan bung, usi, tete, nene, nyong dan nona ini merupakan faktor penting dalam strata sosial, kohesi sosial, dan adab sosial.

Untuk bagaimana sebuah tradisi dapat ditransimisikan tidak lepas dari kekuatan penyebutan-penyebutan tersebut. Ketika bung-bung, usi-usi, tete-tete, dan nene-nene terus mempraktikkan tradisi masohi, maka praktik ini akan dilihat secara positif oleh nyong-nyong dan nona-nona guna mempraktikkannya di kemudian hari secara terus-menerus. Mengapa tradisi tersebut dilihat positif? Karena ada ikatan adab sosial antara tete-tete, nene-nene, bung-bung, usi-usi dengan nyong-nyong dan nona-nona, sehingga tradisi masohi di Maluku dapat bertahan sampai detik ini.

Itulah sekilas ulasan tentang nilai-nilai dibalik tradisi masohi yakni kerelaan diri, tidak mengharapkan imbalan (kompensasi), dan terikat tanggungjawab resiprokal. Nila-nilai ini membentuk karakter sosial orang Maluku seperti “altruisme” dan “prososial” yang ditransmisikan turun-temurun. Karena terdapat nilai-nilai positif dibalik tradisi masohi, maka tradisi ini dapat menjadi vaksin bagi virus-virus keretakan dan konflik sosial akibat perbedaan pandangan dan lainnya. Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top