Sedang Membaca
Warisan Ketegangan: Soeharto, NU, dan Umat Nasrani di Awal Orde Baru
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Warisan Ketegangan: Soeharto, NU, dan Umat Nasrani di Awal Orde Baru

​Kiai As'ad Ingin Terkenal 1

Sebagai nahkoda Departemen Agama Republik Indonesia, tidak dapat dielakkan lagi bahwa Nahdlatul Ulama (NU) harus memainkan peran “wasit” bagi berbagai masyarakat agama yang pusparagam di tanah air. Peran ini harus dijalankan dengan semakin hati-hati pada akhir 1960-an, karena muncul persaingan menyembilu lantaran banyaknya orang yang beralih ke agama monoteis yang diizinkan oleh negara (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha).

Tahun 1966, secara resmi ateisme dilarang dan pengajaran agama dijadikan kewajiban. Oleh karena itu, setiap orang harus memeluk satu di antara lima agama yang secara resmi diakui. Sasaran yang dituju agar memeluk satu di antara lima agama itu tentu saja adalah orang-orang penganut kebatinan dan animisme. Bagi sebagian mereka ini, memeluk agama adalah demi menghindari respresi anti-komunis (Cribb 1990: 27).

Pelbagai laporan gereja menyebutkan ratusan ribu pemeluk agama Kristen baru di daerah-daerah tertentu di Sumatra dan Jawa. Dua juta delapan ratus ribu orang Indonesia menjadi pemeluk agama Kristen selama enam tahun pasca 1965. Agama Hindu juga mengalami sukses besar. Islam pun mendapatkan umat yang baru, tetapi tidak terdapat angka statistik yang dapat melukiskan fenomena itu. Yang tidak terbantahkan, dakwah Islam semakin gencar, terutama di lingkungan abangan Jawa.

Andréé Feillard dalam artikelnya, “Traditionalist Islam and the state in Indonesia: the Road to Legitimacy and Renewal” (dalam Hefner 1997), meneroka bahwa ketegangan antara umat muslim dan Kristen semakin meningkat dan tulisan-tulisan yang bernada membenarkan pendapat masing-masing semakin sering muncul. Para pastor Katolik mengeluhkan pelbagai kesulitan yang dihadapi oleh minoritas umat Kristen dan warga negara keturunan Tionghoa. Keikutsertakan menteri-menteri Katolik di pemerintahan semakin menambah ketegangan. Senyatanya, bahwa kekuasaan Presiden Suharto sedemikian derana sehingga membatasi kekuasaan para menteri tidak meredakan kegigihan sikap anti-Kristen.

Nah, NU sendiri tidak siap menerima pemeluk baru agama Islam yang berdasarkan motivasi politik. Sejak 1966, NU menolak pendaftaran mualaf anyar. Ketua PBNU, Idham Chalid mengimbau agar NU jangan dimasuki “penumpang gelap”. Pada 1969, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyebarkan instruksi ke daerah-daerah agar para anggota “partai atau ormas terlarang” tidak diterima sebagai anggota baru.

Di Departemen Agama, gerakan Islam tradisionalis mestinya bersikap amikal terhadap golongan Kristen karena departemen ini memang seharusnya melindungi kepentingan semua masyarakat agama. Menteri Agama diminta mendinginkan situasi, meskipun dia tetap menyadari para pemilih NU terkadang merupakan orang-orang yang sangat anti-Kristen.

Saifuddin Zuhri, yang menjadi Menteri Agama hingga tahun 1967, berusaha meyakinkan masyarakat muslim bahwa rasa takut mereka terhadap gerakan kristenisasi tidaklah berdasar karena tahun 1965, di Indonesia terdapat 320.069 masjid, 3.550 gereja Katolik, dan 9.000 gereja Protestan. Walaupun begitu, masalah yang nyata, di antaranya masalah izin pembangunan gereja, merupakan hal ihwal yang sangat selit belit, karena menolak pembangunan sebuah gereja metodis di Meulaboh (Aceh Barat), Menteri Agama diminta menjelaskannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dachlan yang mengantikan Zuhri di Departemen Agama titimangsa 18 Oktober 1967, mewarisi ketegangan yang semakin meningkat. Tak begitu begitu berfaedah untuk mengisahkan detailnya dalam kolom saya ini beberapa peristiwa yang berkait-kelindan dengan ketegangan antara golongan Kristen dan Islam yang menandai sejarah awal Orde Baru. Namun, untuk memberikan lukisan seberapa besar peristiwa-peristiwa itu, dapat kita ambil kasus yang terjadi di Makassar titimangsa 1 Oktober 1967, di mana perpustakaan seorang Pendeta Protestan dibakar. Kemungkinan, hal ihwal ini karena pernyataan mengenai poligami dan Nabi Muhammad saw. Yang dikeluarkan pendeta itu sebelumnya (Feillard 1997: 129).

Dalam usahanya untuk mendamaikan, Dachlan bertindak lebih jauh tinimbang Zuhri dengan mengorganisir sebuah pertemuan yang dihadiri oleh 20 pemimpin Katolik, Protestan, dan Islam. Titimangsa 18 November 1967, para pemuka agama itu sepakat membentuk sebuah panitia antaragama. Organisasi Masyarakat (ormas) Islam menginginkan peraturan yang menghalangi orang Indonesia yang telah beragama untuk beralih keyakinan.

Baca juga:  Humor 5 Profesor Muhammadiyah yang “Sebetulnya” NU: Prof. Ahmad Syafii Maarif (2)

Menurut sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya, Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to Present (2012), perdebatan-perdebatan berakhir dalam suasana nan jegang, masing-masing tetap mempertahankan sikap semula. Usaha untuk mencapai kesepakatan pun akhirnya gagal. Ormas Kristen tidak melihat untungnya melarang peralihan keyakinan orang abangan, termasuk kasus orang-orang kebatinan atau animisme, “Islam KTP” yang mengaku telah beragama Islam, kadang demi tujuan administratif pada saat memeluk salah satu dari lima agama menjadi wajib.

NU, tanpa tedeng aling-aling, menyatakan pertemuan itu patah pucuk dan menuduh umat liyan tidak memiliki kejujuran dalam melaksanakan toleransi kehidupan beragama.

Departemen Agama terus menggemakan netralitas Presiden Soeharto terhadap lima agama yang diakui negara. Dalam pidatonya titimangsa 16 Agustus 1967, Soeharto meminta agar “Golongan agama yang paling besar (Islam) tidak boleh berlaku sewenang-wenang/menindas golongan agama kecil (Protestan, Katolik, dan Hindu). Begitupun sebaliknya.” Ditegaskan Presiden pula, “perlakuan dan jaminan yang sama dari pemerintah. Tidak ada anak kandung dan tak ada pula anak tiri,” ujar Dachlan selaku menteri agama dalam pidatonya titimangsa 11 Mei 1968 (Kiblat 4-XVI, 1968: 32). Pidato ini menunjukkan usaha yang tidak kecil dari seorang menteri agama untuk tetap bernada netral, meskipun dia sendiri berasal dari ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni NU.

Pada Juli 1968, keberangkatan ratusan umat Kristen meninggalkan pulau Banjak, Aceh, kembali menjadi sumber ketegangan. Pers Indonesia mewicarakan perihal pengusiran yang dilakukan oleh para aktivis muslim. Dachlan pun mengeluarkan bantahan: bukan umat muslim yang bertanggung jawab, melainkan keluarga yang mengajak orang-orang Kristen meninggalkan pulau itu untuk menghindari islamisasi. Dalam kurun waktu beberapa bulan, Suharto tiga kali menyerukan imbauan toleransi antaragama. Tatkala bulan Juli 1968, tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun meminta Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) melarang semua bantuan keagamaan yang berasal dari luar negeri masuk ke Indonesia. Dachlan kembali mengimbau untuk bersikap moderat dengan menjawab, pemerintah tidak merasa keberatan dengan bantuan yang berasal dari luar negeri, dan tidak memandang perlu adanya peraturan khusus mengenai hal itu.

Bulan Agustus 1968, majalah Sastra memuat sebuah cerita pendek (cerpen). Dalam cerpen itu, Allah ditampilkan sebagai manusia biasa. Hal ihwal itu memunculkan masalah di kalangan ormas Islam. Titimangsa 24 Oktober 1968, terjadi demonstrasi besar, yang terutama diorganisir oleh Gerakan Pemuda Anshor guna menentang majalah Sastra. Menteri Agama mengajukan tuntutan terhadap Pemimpin Redaksinya, H.B. Jassin. Tahun 1970, H.B. Jassin dihotelprodeokan selama satu tahun. Dia juga mengajukan permohonan maaf kepada masyarakat muslim.

Setelah beberapa peristiwa liyan terjadi pada Januari 1969, Menteri Agama mengambil sikap lebih tegas. Dachlan mengimbau agar masyarakat tenang, sembari menyatakan umat muslim akan mengangkat senjata bila diserang dan bila kesucian agamanya dikotori (Feillard 1999: 131). Mengenai masalah agama minoritas dan mayoritas–yang ingin diperlakukan sama oleh pemerintah RI–Dachlan menyatakan, apabila mayoritas harus diperlakukan seperti minoritas, itu bukan lagi toleransi agama, melainkan penindasan terhadap kaum mayoritas. Dachlan berusaha membantah anggapan bahwa dia terlalu lemah terhadap umat Kristen.

Pada saat Departemen Agama sedikit banyak membenarkan gerakan anti-Kristen, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) semakin tegas turun tangan terhadap aksi-aksi kekerasan yang kian meningkat jumlahnya. Sementara itu, seperti dijelaskan dengan cerkas oleh Andréé Feillard dalam NU vis-à-vis Negara: Pecarian Isi, Bentuk dan Makna (1999: 132-3), kaum muslim modernis mengutarakan rasa tidak puas hingga ke luar negeri, antara lain ketika berlangsung sebuah konferensi di Jepang.

Baca juga:  Hari Ini Seabad Saifuddin Zuhri: Pesantren dan Indonesia

Dalam konferensi itu, Mohammad Natsir, mantan pemimpin Masyumi, menyatakan, bahwa “pintu” sekulerisme telah terbuka lebar di Indonesia. Natsir juga mengeluhkan propaganda agama Buddha yang muncul dalam tayangan televisi dan surat kabar Berita Yudha, harian yang bersimpati kepada Kejawen. Bagi NU, misinya memimpin Departemen Agama tampak semakin selit belit: bagaimana bisa memuaskan bagi pendukung Islam Politik, maupun pendukung netralitas agama, dan umat Nasrani.

Walaupun Orde Baru berniat membiarkan ibadah keagamaan sebagai urusan pribadi, tapi politiknya tidak bersikap memusuhi Islam sebagai ibadah. Pemerintah juga turun tangan dalam masalah zakat, sebuah kewajiban keagamaan yang kurang begitu ditaati oleh umat muslim Indonesia. Di Jakarta, hanya 30% umat muslim yang membayar zakat ini, sedangkan di Yogyakarta hanya 14%. Sebuah rancangan undang-undang mengenai pengumpulan zakat diajukan tahun 1966, tetapi tidak membuahkan hasil. Bulan November 1968, Duta Masyarakat menerbitkan artikel perihal zakat yang disusun oleh seorang pimpinan NU, Harun Al-Rasyid. Pelbagai artikel itu menegaskan, bahwa zakat merupakan unsur penting syariat. Sejak saat itu, zakat mulai diwicarakan dan sebuah seminar mengenai masalah itu diselenggarakan.

Secara tidak terduga, pada bulan yang sama, Presiden Suharto mengumumkan, bahwa dia membuka sebuah rekening bank atas namanya untuk menampung zakat dan sedekah. Pemanfaatan uang yang terhimpun akan ditentukan dengan para pembantu dan penasihat dalam keputusan khusus. Bagian yang menjadi hak amil akan dipergunakan untuk pembangunan ekonomi. Pernyataan ini mengesankan adanya usaha untuk memuaskan semua pihak: zakat memang dibutuhkan bagi kemakmuran umat muslim, namun tidak dalam bentuk undang-undang untuk memuaskan golongan netral agama dan non-muslim.

Berawal dari inisiatif yang diciptakan melalui improvisasi ini, lahirlah Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Setiap bulan para pegawai negeri sipil (PNS) diwajibkan memberikan sebagian gajinya, dari Rp 100 hingga Rp 1.000 menurut jenjang masing-masing. Melalui tindakan ini, Soeharto secara tidak langsung menjawab kritik-kritik terhadap bantuan asing yang didapatkan oleh para misionaris Kristen. Menteri Agama menyetujui pemberian hak kepada ulama Aceh untuk mengorganisir pengumpulan zakat sendiri.

Iktikad baik pemerintah ini tidak hanya mendapatkan pujian saja. Golongan muslim moderat mengimbau agar keputusan Presiden itu dituruti, walaupun mengkhawatirkan pengelolaan yang puih terhadap dana itu, seperti terjadi misalnya dengan pembangunan masjid besar Istiqlal Jakarta. Golongan pembaru radikal secara tegas menolak inisiatif Presiden ini. Contohnya, Isa Anshary menyerang kedua rezim, Orde Lama dan Orde Baru. Di bawah rezim Sukarno, “Yang paling merasakan kekejaman Sukarno itu ialah kaum muslimin sendiri,” namun di bawah rezim Suharto “umat Islam merasa di bawah tentara pendudukan di negerinya sendiri” (Feillard 1997: 133-4).

Pada waktu yang sama, menurut Mujiburrahman dalam bukunya, Feeling Threatened: Muslim-Christian relations in Indonesia’s new order (2006), pemerintahan Soeharto mengumumkan keputusan penting pertamanya yang mengundang rasa tidak senang di kalangan partai Islam. Pada November 1968, subsidi pemerintah bagi mereka yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang jumlahnya mencapai 1 miliar rupiah dihapuskan. Subsidi yang dianggap sebagai utang partisipasi ormas Islam dalam revolusi Indonesia, mulai diberlakukan sejak 1950, untuk memberikan sebuah kompensasi terhadap nilai rupiah yang tidak ada harganya di pasaran internasional, hingga membuat pelaksanaan haji di luar jangkauan banyak muslim Indonesia.

Menurut Bahtiar Effendy dalam karyanya, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Islam di Indonesia (1998), rezim Soeharto berusaha meredam kritik-kritik yang muncul dengan menjanjikan, bahwa sebagian dari subsidi ini akan disalurkan untuk pembangunan masjid-masjid, termasuk Istiqlal, masjid besar Jakarta yang pembangunannya tertunda pada masa Orde Lama.

Baca juga:  Harmoni Islam-Kristen Di Mesir Sebelum Datangnya Fitnah

Pelbagai sanggahan yang muncul mengatakan, bahwa memang diperlukan dana untuk pembangunan masjid itu, tetapi barang kali lebih baik pemerintah menghentikan impor mainan (yang ditujukan bagi orang kaya), piringan hitam, dan film-film Barat yang terlalu seronok. Menurut ormas Islam, pemerintahan Soeharto akan membangkitkan rasa tidak senang di dunia Arab dan dunia Islam pada umumnya. Soeharto juga dipersalahkan tidak memilih cara yang lebih demokratis dalam menetapkan keputusan itu: organisasi-organisasi Islam, DPR, dan Departemen Agama, paling tidak seharusnya dimintai pertimbangan sebelumnya.

Kaum muslim tradisionalis bergabung dengan kelompok-kelompok Islam liyan untuk memprotes penghentian subsidi haji itu. Keputusan ini menimbulkan rasa sedemikian tidak enak bagi NU karena mereka yang menguasai Departemen Agama tidak mampu menghalaunya. Apalagi NU mempunyai kewajiban-kewajiban yang berkelindan dengan pemberian subsidi ini melalui salah satu yayasannya, Yayasan Mualim NU. Yayasan ini berfungsi selaiknya bank dan mengumpulkan uang muka para calon haji yang secara berurutan menerima subsidi. Daftar tunggu itu masih panjang ketika subsidi itu dihentikan.

Akibatnya, muncullah penilaian puih terhadap cara pengelolaan NU, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Partai NU menuntut agar subsidi itu diberikan lagi, tapi tidak berhasil. Kelompok radikal menjadikan peristiwa itusebagai sebuah “barometer” untuk mengukur perhatian pemerintah terhadap kepentingan Islam, sedangkan kaum moderat akhirnya menerima argumen para ahli ekonomi yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga perkembangan ekonomi dan melawan inflasi.

NU berada dalam posisi yang lebih gawat lagi tatkala meledaknya skandal pengorganisasian keberangkatan calon haji yang dikelola oleh perusahaan Mukersa Hadji, yang berkaitan dengan beberapa aktivis NU. Pada Maret 1969, pemerintah memutuskan pelarangan swasta untuk mengelola perjalanan haji.

Kalakian, ketidakpuasan muncul di kalangan santri yang sangat taat sebab dengan masuknya modal asing dan ledakan ekonomi dalam negeri, pelacuran, perjudian, dan pornografi dengan cepat menjalar dalam kehidupan perkotaan Indonesia. Perempuan NU, yang tergabung dalam Muslimat, bereaksi dengan meminta diadakan penyensoran film-film dan perjuangan film-film dan perjuangan melawan pornografi.

Tatkala diadakan sidang pleno pengurus partai NU, awal Agustus 1968 di Jakarta, pemerintah diimbau untuk mengambil tindakan terhadap kemerosotan moral, pornografi, pelacuran, dan perjudian. Kritik-kritik keras dilontarkan terhadap kebijakan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang secara implisit melegalisasi pelacuran dan perjudian dengan menempatkannya di daerah-daerah tertentu di Jakarta. Gerakan Pemuda (GP) Ansor ikut menyerbu kasino-kasino judi di Medan, Sumatra Utara, dan menggebah melakukan tindakan-tindakan keras terhadap semua pelanggaran atas hukum Islam di bidang ini. Pada Juni, Hwa Hwee dilarang di Medan, sedangkan di Jakarta, 24 anggota DPR dari partai Katolik dan partai Islam menuntut agar permainan serupa dihentikan juga. Bulan Juli, Gubernur Ali Sadikin akhirnya melarang permainan itu.

Terbukanya Indonesia terhadap modal luar negeri telah melahirkan konflik-konflik sosial: merambahnya pelacuran dan perjudian, serbuan film-film Barat yang semuanya dianggap membawa pengaruh yang cendala terhadap nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Apa yang harus dilakukan Nahdlatul Ulama sebagai penanggung jawab moral masyarakat di Departemen Agama? Kekuasaannya dalam perihal ini terbatas. Penghapusan subsidi naik haji sudah merupakan hal yang memalukan bagi kaum muslim tradisionalis. Memang, sebagai konpensasinya, diadakan pengumpulan zakat, tetapi ini diorganisir oleh Presiden Soeharto sendiri dan tidak bisa dianggap sebagai nilai tambah bagi Dachlan selaku Menteri Agama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top