Sedang Membaca
Menelisik Tradisi Intelektual Kitab Kuning
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Menelisik Tradisi Intelektual Kitab Kuning

KITAB kuning merupakan ciri khas yang liyan dari ulama dan kaum santri. Makna harfiahnya berarti “kitab [berwarna] kuning”, menunjukkan kertas berwarna kuning dari kitab-kitab yang ada di pesantren.

Terlepas dari kapan istilah kitab kuning—bukannya kitab saja—mulai digunakan dalam wacana ilmiah Indonesia, yang jelas kitab kuning berkelindan erat dengan Islam tradisional.

Menurut Jajat Burhanuddin dalam karyanya Ulama & Kekuasaan. Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (2012), menjelaskan bahwa kitab kuning merujuk pada kitab-kitab berbahasa Arab yang digunakan dalam tradisi pesantren. Namun, seiring adanya persaingan tradisional-reformis sejak awal abad ke-20, istilah itu mulai muncul dengan makna sosiologis yang baru; ia menunjukkan pembentukan wawasan Islam tradisional, di mana kitab memiliki peranan penting.

Secara bersamaan, kitab kuning juga mengandung makna simbolis untuk membedakan Muslim tradisionalis dari Muslim reformis yang wawasan keislamannya berdasarkan pada pembacaan buku-buku keislaman dengan tulisan latin dan dalam bahasa Indonesia (buku putih) (van Bruinessen, 1990. Ia menampilkan wacana tradisionalis yang menganggap wawasan keislaman mereka berasal dari ulama generasi sebelumnya (Zaman, 2002).

Kitab kuning adalah sarana yang menghubungkan ulama dalam rantai penyebaran pengetahuan keislaman. Hasilnya, kitab kuning merupakan unsur utama wawasan Islam tradisional, sebagai salah satu fondasi penting bagi pergulatan ulama dalam mendefinisikan Islam dan secara bersamaan menemu-ciptakan otoritas di kalangan Muslim Indonesia. Wacana tradisionalis sangat menekankan tidak hanya mempelajari dan menguasai, tetapi juga mengikuti (taqlid) apa yang telah diletakkan ulama dalam kitab kuning. Ia dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kepatuhan kepada guru, yang berakar dalam pembelajaran pesantren (Masudi, 1985: 56).

Dalam hal ihwal ini, kutipan Kiai Hasyim Asyari berikut penting untuk dimafhumi:

Engkau [ulama] telah memperoleh pengetahuan keislaman dari para ulama generasi sebelumnya. Dan mereka [ulama generasi sebelumnya] pada gilirannya telah belajar dari orang-orang [ulama] sebelum mereka. [Karena itu] mereka terhubung dalam rantai transmisi tidak terputus yang sampai kepadamu. [Oleh sebab itu] kau tahu kepada siapa kau harus belajar Islam. Engkau adalah pemegang pengetahuan Islam dan juga kunci untuk memperolehnya (Asyari, 1999 [1930]: 76).

Baca juga:  Kebijakan Umar Saat Menjadi Amirul Mukminin

Ini dikutip dari salah satu risalah Hasyim Asyari, yang ditulis untuk dijadikan konstitusi (qanun al-asasi) Nahdlatul Ulama yang baru saja didirikan.

Kutipan tersebut mempunyai arti khusus dalam menunjukkan bagaimana ulama dan NU mengidentifikasi diri mereka. Dikatakan, sebagaimana yang diungkapkan kutipan ini, ulama termasuk dalam tradisi intelektual yang telah mapan dan karena itu merupakan badan otoritatif, terutama di bidang pengetahuan keislaman.

Kitab kuning tentunya telah lama dikaitkan dengan pendirian intelektual ulama. Menguasai kitab kuning dianggap sebagai prasyarat untuk bisa diakui sebagai ulama (Dhofier, 1984).

Pengalaman seorang tokoh NU, Saifuddin Zuhri, bisa membantu mendedahkan bagaimana kitab kuning memiliki peranan penting dalam menentukan ke-ulama-an seseorang.

Dalam autobiografinya, Zuhri menulis bahwa suatu kali dia mengikuti pengajian khusus bulanan di antara para ulama di kampung halamannya di Sukaraja, Banyumas, Jawa Tengah. Dalam pengajian ini—yang dirancang seperti kelompok diskusi—ulama terkemuka wilayah itu datang dengan kitab kuning. Dihadiri sekitar 70 ulama pesantren dan komunitas Muslim dari wilayah sekitar, pengajian ini menjadi suatu forum tempat laiknya kawah candradimuka bagi ulama-ulama terkemuka berhimpun untuk membaca dan mengkaji kitab kuning.

Empat kitab disebutkan: Tafsir Baidawi (Tafsir al-Baidawi al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tawil) yang berjilid-jilid karya Nasruddin Abi Said Abdullah bin Umar al-Baidawi (w. 1293), Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali (w. 1111), Shahih Bukhari (kumpulan hadist autentik [sahih] karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 870), dan kitab sufi, Kitab al-Hikam karya Ibnu Athaillah al-Iskandari (w. 1309).

Baca juga:  Shulhul Jama'atain: Bantahan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau untuk Sayyid Utsman Batavia (1893)

Melalui pengajian ini, otoritas ulama ditentukan tingkat penguasaan mereka terhadap kitab-kitab itu. Kemampuan membaca maupun mendedahkan setiap kalimat dari halaman-halaman kitab merupakan faktor yang menentukan mereka diakui sebagai ulama. Mereka yang tak bisa membaca kitab-kitab berbahasa Arab disebut “setengah kiai” dan karenanya, tidak diterima untuk ikut serta sebagai peserta aktif dalam pengajian itu (Zuhri).

Pengalaman Saifuddin Zuhri ini menegaskan milieu intelektual kalangan tradisionalis, di mana kitab kuning mempunyai peranan pokok. Dan arti penting ini semakin bertambah saat ulama terlibat dalam rivalitas dan persaingan dengan tokoh-tokoh reformis. Ia merupakan penanda keunggulan wawasan keislaman mereka, berbeda dari kalangan reformis yang pembentukan wawasan keislamannya lebih banyak didasarkan pada buku putih.

Selain itu, istilah kitab kuning digunakan untuk menunjukkan klaim ulama atas keaslian wawasan keislaman mereka. Ulama dinyatakan mempunyai wawasan keislaman yang telah diakui secara luas oleh ulama generasi sebelumnya.

Oleh sebab itu, selain terus menggunakan kitab-kitab yang didaftar oleh van der Berg (1886) pada abad ke-19—sebagai bahan ajar pesantren—para ulama di awal abad ke-20 juga menampilkan kitab sebagai elemen inti dalam mengembangkan wacana tradisionalis. Dan NU memfasilitasi proses ini kala ia mengubah pengajian khusus itu menjadi terlembagakan dalam Bahsul Masail (Burhanudin, 2012: 360).

Bahsul Masail (Lembaga Bahts al-Masail) adalah komisi khusus untuk meneliti persoalan-persoalan keislaman di dalam komunitas NU dan pesantren. Ia dirancang sebagai suatu forum bagi ulama NU untuk melakukan penelitian dan pengkajian mengenai pelbagai persoalan keagamaan yang belum terpecahkan dan aktual, dan untuk mengeluarkan keputusan hukumnya.

Dalam hal ihwal ini, penelitian ulama didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan (istifta, meminta fatwa) yang diajukan oleh anggota NU, pengurus NU, atau yang menyangkut persoalan-persoalan yang tengah berkembang dan diperselisihan di Indonesia.

Baca juga:  Lubabah al-Muta'abbidah dari Yerusalem

Dalam melakukan hal itu, bahsul masail menjalankan salah satu misi NU, yaitu memberi panduan kepada umat Muslim Indonesia untuk melaksanakan ajaran Islam. Bahsul masail memegang peranan yang hampir sama dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah atau Dewan Hisbah Persis. Mereka bertanggung jawab mengeluarkan fatwa berdasarkan istifta dari anggota komunitas mereka dan untuk menanggapi pelbagai persoalan keagamaan yang ada. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa bahsul masail mewakili pandangan sosial-keagamaan ulama dan NU, dan karena itu menegaskan kedudukan tradisionalis mereka dalam Islam Indonesia. Dengan kedudukan sentralnya dalam keputusan hukum, bahsul masail berperan penting dalam pembentukan Islam tradisional.

Lewat bahsul masail, wacana tradisionalis ulama mengalami penguatan, dalam arti bahwa ia kemudian muncul sebagai suatu aliran keagamaan yang mapan dalam Islam Indonesia. Hal ihwal ini dapat diteroka dari fakta bahwa Bahsul Masail tidak hanya bertungkus lumus untuk mengeluarkan fatwa—berdasarkan argumen-argumen keagamaan tradisionalis —tetapi juga menetapkan prosedur hukumnya dan menentukan sumber (kitab-kitab) yang dirujuk.

Arkian, pada titik ini, bahsul masail memperkuat keberadaan kitab-kitab pesantren. Dan ini memuncak saat ulama NU kemudian menyatakan—berdasarkan Musyawarah Nasional Ulama pada 1983 di Situbondo, Jawa Timur—bahwa kitab-kitab yang mereka jadikan rujukan mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi (al-kutub al-mutabarah).

Dengan ini, kitab-kitab yang digunakan di pesantren dan pengajian khusus semakin diakui dan, dengan dukungan kelembagaan bahsul masail, menjadi semakin otoritatif sebagai sumber yang sah dari wawasan Islam tradisional. Keberadaan pelbagai kitab itu semakin sentral dalam Islam tradisional di Indonesia saat ini; ia menjadi sumber kehidupan intelektual para pemuka Muslim tradisionalis yang terus berlanjut dan bahkan semakin meningkat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top