Di dalam kabin kelas satu sebuah kapal pesiar yang bertolak dari Alexandria, Mesir, menuju New York, seorang penulis dan pendidik setengah baya yang ringkih bernama Sayyid Qutb Ibrahim Husein al-Syadzili (1906-1966), sedang mengalami krisis iman.
“Haruskah aku pergi ke Amerika Serikat seperti pada umumnya pelajar peraih beasiswa, yang hanya makan dan tidur, atau haruskah aku menjadi istimewa?” pikirnya. “Haruskah aku memegang teguh keyakinan Islamku dan menghadapi pelbagai godaan dosa, ataukah kunikmati saja godaan di sekelilingku?”
Saat itu, November 1948. Amerika Serikat yang kaya, merdeka, dan baru memenangkan perang, berada di balik cakrawala, sedangkan Mesir yang ditinggalkannya sedang halai-balai dan penuh derita.
Dia, yang kita kenal dengan nama Sayyid Qutb saja, belum pernah satu kali pun meninggalkan tanah airnya dan sekarang pun, kepergiannya bukan atas kehendak sendiri.
Bujangan yang tegas ini, bertubuh kurus dan berkulit gelap, dengan dahi lebar dan kumis tebal di bawah hidung. Sorot matanya menyiratkan sifat angkuh dan mudah tersinggung. Dia selalu bersikap formal dengan berpakaian jas warna gelap, lengkap bersama rompinya, tanpa memedulikan mentari Mesir yang terik.
Bagi seorang lelaki yang begitu menjaga harga dirinya, kembali ke ruang kelas pada usia 42 tahun mungkin tampak seperti penghinaan. Walaupun demikian, sebagai seorang anak yang berasal dari desa miskin di wilayah Upper Egypt (Mesir Atas, bagian selatan negara itu yang lebih dekat ke hulu sungai Nil), dia telah berhasil melampaui sasaran sederhana yang ditetapkan sendiri untuk menjadi pegawai negeri yang disegani.
Pelbagai kritik sastra dan sosialnya telah menjadikan dirinya sebagai salah satu penulis termasyhur di Mesir, sekaligus menuai kemarahan Farouk, raja Mesir penggemar kemewahan dan foya-foya yang memerintahkan penangkapannya. Teman-temannya yang berkuasa dan bersimpati pada Qutb pun segera mengatur keberangkatannya.
Saat itu, Qutb (namanya diucapkan dengan “kutub”) memang menduduki posisi yang cukup nyaman sebagai penyelia di Kementerian Pendidikan. Secara politis, dia seorang nasionalis Mesir yang antikomunis, sebuah pandangan umum di kalangan birokrat kelas menengah yang jumlahnya amat banyak.
Gagasan yang kelak akan melahirkan fundamentalisme Islam belum terbentuk dengan sempurna dalam benaknya. Bahkan di kemudian hari, Qutb mengungkapkan bahwa dia bukanlah orang yang sangat religius sebelum memulai perjalanan itu, meskipun dia telah hafal isi Alquran pada usia 10 tahun, dan tulisannya ketika itu mulai mengambil tema yang lebih konservatif.
Sejarawan John Calvert dalam bukunya, Sayyid Qutb and the Origins of Radikal Islamism (Oxford University Press, 2013) menelatah bahwa Qutb, seperti banyak rekannya, menjadi radikal karena pendudukan Inggris dan memandang hina Raja Farouk sebagai kolabolator. Mesir sedang diguncang protes anti-Inggris dan pelbagai faksi politik pemberontak yang bertekad mengusir tentara asing–dan kalau mungkin, sekalian dengan sang raja–ke luar dari Mesir.
Meskipun tidak ada yang istimewa dari penampilan pegawai pemerintah tingkat menengah ini, namun komentarnya yang keras dan blak-blakan membuatnya sangat berbahaya.
Qutb memang tak pernah berhasil mencapai jajaran terdepan sastra Arab kontemporer, sebuah fakta yang terus membuatnya gusar sepanjang karirnya, tetapi dari sudut pandang pemerintah, dia telah menjadi musuh menjengkelkan yang kian berbahaya (lihat KH. Husein Muhammad, Memilih Jomblo: Kisah para Intelektual Muslim yang Berkarya sampai Akhir Hayat, Glosaria Media, 2015: 76-80).
Banyak perilakunya yang kebarat-baratan–pakaiannya, kecintaannya akan musik klasik dan film Hollywood. Qutb pun telah membaca, dalam bentuk terjemahan, karya Darwin dan Einstein, Byron dan Shelley, serta melahap pelbagai sastra Prancis, terutama Victor Hugo.
Namun, bahkan sebelum memulai perjalanannya, dia telah merisaukan gerak maju peradaban Barat sebagai satu kesatuan budaya. Perbedaan antara Kapitalisme dan Marxisme, Kekristenan dan Yahudi, Fasisme, serta Demokrasi tidaklah penting, tinimbang dengan sebuah jurang besar dalam pemikiran Qutb: Islam dan dunia Timur di satu sisi, dengan dunia Barat yang Kristen di sisi lain.
Cinta nan pupus
Laki-laki jomblo di kabin kelas satu itu pernah mengenal cinta romantis, namun kebanyakan hanya sakitnya saja.
Qutb pernah menuangkan kisah hubungannya yang gagal dalam sebuah novel, nyaris tanpa disamarkan. Sejak itu, dia tak lagi berminat pada pernikahan.
Qutb menuturkan, bahwa dirinya tidak dapat menemukan calon istri yang sesuai dengan dirinya: perempuan “tanpa kehormatan” yang membolehkan diri mereka tampil di muka umum, sebuah pandangan yang membuatnya sendirian tanpa penghiburan di usia setengah baya.
Qutb masih punya hubungan dengan perempuan–dia dekat dengan ketiga saudari perempuannya–namun seksualitas adalah ancaman baginya dan dia mengurungkan diri dalam ketidaksetujuannya, memandang seks sebagai musuh utama keselamatan.
Hubungan paling dekat yang pernah dirasakannya adalah dengan ibunya, Fatima, perempuan buta huruf namun saleh, yang telah menyekolahkan puteranya yang pintar ke Kairo.
Ayahnya meninggal pada 1933 saat Qutb berusia 27 tahun. Selama tiga tahun berikutnya, dia mengajar di berbagai posisi pada tingkat provinsi sampai akhirnya dia pindah ke Helwan, kawasan di pinggiran Kairo yang makmur, dan Qutb membawa seluruh keluarganya untuk tinggal bersamanya di sana.
Saat sedang berdoa dalam kabinnya, Sayyid Qutb masih belum yakin akan identitas dirinya. Haruskah dia menjadi “umum” atau “istimewa”? Haruskah dia menolak godaan atau menikmatinya? Haruskah dia berpegang teguh pada keyakinan Islamnya atau menggantikannya dengan Materialisme dan dosa dari dunia Barat?
Seperti semua peziarah, Qutb sedang melakukan dua perjalanan: satu ke luar, ke dunia yang lebih luas, dan satu lagi ke dalam, ke relung jiwanya. “Aku telah memutuskan untuk menjadi seorang muslim sejati!” tekadnya.
Namun sejurus kemudian, dia meragukan tekadnya itu. “Apakah aku sudah jujur, ataukah yang barusan itu hanyalah dorongan sesaat?”
Permenungannya tiba-tiba terusik oleh ketukan di pintu. Di luar kabinnya, berdiri seorang perempuan muda yang digambarkannya sebagai kurus dan tinggi dan “setengah bugil.”
Si perempuan bertanya pada Qutb dalam bahasa Inggris, “Bolehkah aku menjadi tamumu malam ini?”
Qutb menjawab bahwa kamarnya hanya dilengkapi satu tempat tidur. “Satu tempat tidur dapat ditiduri dua orang,” rayu si perempuan bule.
Dengan jijik, dia langsung menutup pintu kamarnya. “Aku mendengarnya terjatuh di lantai kayu di luar dan baru menyadari bahwa perempuan itu sedang mabuk,” kenangnya. “Aku segera berterima kasih kepada Allah swt yang telah mengalahkan godaanku dan memungkinkan aku untuk mempertahankan moralku.”
Inilah gambaran Qutb saat itu–berbudaya, penuh harga diri, tersiksa, merasa benar–yang kejeniusannya akan mengubah Islam, mengancam berbagai rezim di seantero dunia Islam, dan memikat satu generasi pemuda Arab tanpa akar yang sedang mencari makna dan tujuan hidup mereka dan akan menemukannya dalam jihad.
Menurut sejarawan Martyn Frampton dalam karyanya, The Muslim Brotherhood and the West: A History of Enmityand Engagement (The Belknap Press of Harvard University Press, 2018) pada 1953, Qutb bergabung dengan Al-Ikhwan al-Muslimun (Persaudaraan kaum Muslim) dan ditunjuk sebagai direktur juru bicaranya.
Dia sukses cemerlang. Karirnya makin melejit hingga diangkat menjadi anggota Dewan Penasehat Ikhwan. Dari sini dia aktif dalam gerakan sosial politik Mesir. Pikiran-pikirannya terkesan sangat radikal. Qutb menghendaki perubahan sosial yang total. Konsepnya kembali kepada mendirikan masyarakat Islam yang kafah.
Sejarah kemudian menunjukkan bahwa dia terlibat dalam usaha-usaha bagi penggulingan pemerintahan Gamal Abdel Naser. Qutb dibui beberapa kali.
Pada Juli 1955, dia divonis penjara selama lima belas tahun. Di tempat itu dia menghabiskan waktunya untuk menulis. Pelbagai tulisannya yang kemudian dibukukan hampir seluruhnya berisi wacana keislaman dalam perspektif fundamentalis dan radikal.
Sayid Qutb digantung selepas sembahyang subuh pada 29 Agustus 1966. Pemerintah Mesir menolak menyerahkan mayatnya kepada keluarga Qutb, karena takut makamnya akan menjadi tempat berkumpul para pengikutnya.
Ancaman Islamis radikal sepertinya telah berakhir, namun para perintis yang dicari Qutb telah mendengar seruannya.